Minggu, 19 Maret 2006

Dari Komunikasi Hingga ke Dewan Revolusi


Menarik sekali menonton sebuah drama politik yang belum lama ini ramai dibicarakan orang.  Bermula dari macetnya saluran komunikasi politik sejumlah tokoh bangsa dengan Presiden Yudhoyono, isu kemudian berkembang menjadi “cabut mandat” ketika 19 Desember 2006 lalu Try Sutrisno dan sejumlah tokoh Gerakan Kebangkitan Indonesia Raya (GKIR) lainnya yang getol mengkritik kepemimpinan Presiden Yudhoyono mendatangi DPR untuk menyampaikan pesan peringatan kepada pemerintah tentang memburuknya situasi di semua bidang kehidupan di negeri ini.  Aroma “makar” semakin menyebar ketika  Hariman Siregar, sejumlah jenderal purnawirawan dan para aktivis pendukung reformasi (termasuk penasehat presiden, Sjahrir) turun ke jalan bergabung dalam barisan “Pawai Rakyat Cabut Mandat”. 

Adegan drama politik mencapai puncak yang menegangkan ketika Presiden Yudhoyono mencium adanya gerakan Dewan Revolusi yang diketuai oleh Jenderal (Purn.) Tyasno Sudarto dan bertujuan  menjatuhkan pemerintah. Walaupun masih menyisakan ketegangan, drama politik akhirnya ditutup dengan perasaan ‘plong’ setelah ada klarifikasi dari Tyasno Sudarto bahwa yang ia ketuai adalah Gerakan Revolusi Nurani, dan istilah Dewan Revolusi sebenarnya masih merupakan wacana. Zulkifli, fasilitator dalam dialog Kongres Rakyat Indonesia 7 Januari 2006 lalu yang melahirkan ide Dewan Revolusi, menambahkan bahwa istilah yang lebih tepat sebenarnya bukanlah “Dewan Revolusi”, melainkan “Dewan Penyelamat Revolusi 1945”.


Ketidakpuasan Mantan Atasan yang Berbeda Haluan

Ada beberapa hal yang layak kita simak dari sejumlah adegan yang ditampilkan dalam drama politik tersebut di atas. Pertama, ketidakpuasan dari sebagian mantan atasan Presiden Yudhoyono yang berbeda haluan. Saya katakan berbeda haluan dalam konteks pengertian bahwa, berbeda dengan pendapat Presiden Yudhoyono,  Try Sutrisno dan sejumlah mantan pejabat negara lainnya menghendaki agar UUD 1945 tetap dipertahankan (tidak diubah/ diamandemen) dan pemilihan presiden dilaksanakan melalui sistem perwakilan (tidak secara langsung). Sebagai mantan atasan, semestinya saran dan pendapat mereka diperhatikan, dan mereka tentunya akan lebih suka apabila saran mereka juga dilaksanakan.  Namun jangankan diperhatikan, minta ijin untuk bertemu dengan Presiden Yudhoyono saja ditolak oleh lingkaran dalam istana dengan berbagai macam alasan.  Yang membuat mereka sakit hati, penolakan terhadap ijin bertemu dengan presiden tersebut sudah terjadi berkali-kali. Apakah mantan pejabat terhormat sekelas Try Sutrisno harus juga tunduk pada prosedur protokoler istana dan diperlakukan sama dengan warga biasa lainnya?

Di sisi lain, orang-orang di lingkaran dalam istana nampaknya juga berkepentingan agar Presiden Yudhoyono tidak dipengaruhi atau ditekan oleh para mantan atasannya yang berbeda haluan.  Masalahnya, yang dikehendaki mantan atasan dan berkali-kali   disampaikan kepada presiden tersebut menyangkut hal-hal prinsip seperti kembali ke UUD45 dan penolakan terhadap MOU Aceh yang tidak mungkin bisa mereka penuhi.  Selain itu, menurut mereka, kalau hanya ingin menyampaikan saran atau gagasan untuk menyelesaikan permasalahan memburuknya situasi di semua bidang kehidupan saat ini, bukankah itu bisa disampaikan secara tertulis dalam bentuk makalah atau buku? Biar masyarakat juga ikut menilai apakah gagasan tersebut memang layak untuk dilaksanakan dan apakah mereka juga akan menyetujuinya.  Silakan sampaikan kritik, argumen dan solusi secara terbuka melalui berbagai media.  Semoga, bagi masyarakat, itu akan merupakan  proses pendidikan politik yang sangat berharga.

Ketidakpuasan terhadap Permainan Senayan   

Kedua, ketidakpuasan sebagian masyarakat terhadap mereka yang berada di dalam gerbong politik Senayan yang dinilai telah menyandera lokomotif ekonomi Pemerintah yang sedang diupayakan untuk berjalan.  Hariman Siregar dan sejumlah tokoh LSM lainnya pasti sangat concern (baca: mengkritisi) terhadap permainan “tawar-menawar” senayan.  Sebagai penasehat presiden, Sjahrir pasti pernah merasakan bagaimana sulitnya menjalankan roda ekonomi dengan beban yang sengaja dibuat oleh sebagian politisi senayan. “Tawar-menawar” produk hukum dan kebijakan sudah lama menjadi tradisi di senayan.  Celakanya, pemerintah seringkali merasa tidak berdaya dan terpaksa ikut arus dalam permainan di senayan.  Kalau orang-orang cerdas dan idealis dalam senayan dan pemerintahan (yang notabene jumlahnya sangat banyak) saja selama ini tidak mampu mengubah tradisi “tawar-menawar” di senayan, lalu sekarang apa semestinya yang bisa kita lakukan?

Hariman, Sjahrir dan sejumlah tokoh masyarakat lainnya memilih melakukan tekanan kepada pemerintah dan juga senayan melalui aksi parlemen jalanan.  Tujuan utamanya adalah agar pemerintah dan juga senayan dapat berfungsi sebagai lokomotif pembangunan.  Isu “cabut mandat” sebenarnya hanyalah kiasan yang bertujuan untuk menekan (baca: menakut-nakuti) pemerintah. Mereka bilang, kalau sebagian besar orang senayan dan pejabat pemerintah telah memenuhi ruang di dalam gerbong penumpang, dan hanya sebagian kecil saja dari mereka yang bersedia mengendalikan lokomotif pembangunan kita, lalu dimana harus kita tempatkan nasib sebagian besar rakyat kita?

Satu hal yang perlu kita cermati, kalaupun Hariman dan para pendukung aksi cabut mandat lainnya saat ini telah mencabut mandat  yang dulu pernah mereka berikan kepada Presiden Yudhoyono, saya kira mereka pun kini masih ragu kepada siapa mandat yang telah mereka cabut tersebut nanti akan diberikan.  Untung Hariman dengan tegas telah menyatakan (meralat?) bahwa aksi cabut mandat SBY-Kalla-nya sama sekali tidak dimaksudkan untuk impeachment di senayan.  Dengan demikian, para politisi di senayan tidak lagi harus pusing memikirkan siapa calon penggantinya dan merancang bagaimana skenario politiknya.  Sementara kita yang menonton hanya bisa terheran-heran, memikirkan ulah Hariman.  

Revolusi di Alam Demokrasi

Ketiga, suatu fenomena yang barangkali kedengarannya agak aneh bahwa suara revolusi ternyata masih terdengar bunyinya di tengah hiruk pikuk wacana demokrasi yang hingga kini masih mencari bentuknya yang pas untuk kebutuhan bangsa kita. “Revolusi belum selesai”, kata Zulkifli. Alasannya, karena hingga kini belum ada perubahan yang mendasar dari sistem kolonial ke sistem republik.  Lalu, revolusi macam apa yang harus kita lakukan supaya perubahan mendasar tersebut dapat segera kita wujudkan?  Revolusi Industri di Eropa Barat?  Revolusi Perancis yang identik dengan pemenggalan kepala raja dan para pendukungnya?  Revolusi Nurani-nya Tyas Sudarto yang mempunyai misi mempertahankan UUD45?  Atau barangkali Revolusi 1945 yang merupakan nostalgia bagi para pejuang kemerdekaan kita?

Dalam pengertian politik, kata “revolusi” identik dengan pengambil-alihan kekuasaan secara paksa atau kudeta.  Dalam masa peralihan kekuasaan dari Suharto ke Habibie, “kudeta” berdarah ala G30S-1965 diharamkan tetapi “kudeta” parlemen jalanan diperbolehkan.  Sementara dalam masa transisi dari Gus Dur ke Megawati, “kudeta” justru dilakukan oleh para wakil rakyat di senayan.  Setelah itu, kita sadar dan lalu berseru: “Kudeta No! Demokrasi Yes”.

Revolusi dalam pengertian kudeta jelas merupakan musuh besar  demokrasi.  Namun, ada sejumlah revolusi yang cukup ramah dan dapat diterima di alam demokrasi. Revolusi  teknologi informasi, revolusi biru (nutrisi) ciptaan Saputra, dan revolusi hukum atau revolusi konstitusi adalah beberapa diantaranya.  Pertanyaan saya, revolusi manakah yang sebenarnya kita inginkan?

Yang jelas, sebagaimana telah saya sebut dimuka, Try Sutrisno dan sejumlah mantan pejabat negara lainnya memang tidak menyetujui adanya revolusi konstitusi.  Kecuali barangkali kalau yang dimaksud dengan revolusi konstitusi tersebut adalah menghapus kembali amandemen UUD 1945. Lalu pertanyaan kita, sejauhmana sebenarnya hubungan antara perubahan konstitusi dan kinerja pemerintah yang memburuk di segala bidang saat ini? 

Try Sutrisno dan sejumlah tokoh kita lainnya mengatakan bahwa  selain tatanan kenegaraan yang tidak benar, kepemimpinan nasional kita juga sangat lemah. Menurut saya, ada dua pilihan solusi yang bisa kita lakukan.  Memperkuat kepemimpinan nasional yang ada sekarang ini, atau menggantinya dengan kepemimpinan nasional yang baru.

Masalah pilihan pertama adalah bagaimana cara memperkuat kepemimpinan nasional yang ada sekarang ini?  Apakah dengan cara memberikan kewenangan (kekuasaan) yang lebih besar lagi?  Atau dengan cara memperkuat Tim Dewan Penasehat?  Atau barangkali dengan cara memberikan tekanan (pressure) kepadanya melalui aksi-aksi demo jalanan?

Sedangkan masalah pilihan kedua adalah siapa pemimpin nasional kita saat ini yang layak untuk menggantikan kepemimpinan SBY-Kalla, agar situasi yang memburuk di segala bidang kehidupan saat ini dapat segera diatasi?  Masalah lainnya, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan pemimpin nasional kita yang lemah, yang harus kita perkuat atau kita ganti?  Apakah Presiden Yudhoyono, SBY-Kalla, tim Kabinet Indonesia Bersatu, atau semua pemimpin di lembaga-lembaga negara kita?

Bagi saya, berhasil atau gagalnya suatu negara ditentukan bukan hanya oleh kinerja kepemimpinannya (leadership) tetapi juga oleh kelembagaannya (institution).  Seorang Lee Kuan Yew yang diimpor ke Indonesia untuk dijadikan Presiden R.I. mungkin akan frustrasi kalau sebagian besar anggota kabinetnya dan para pejabat yang melaksanakan kebijakan negara di sebagian besar daerah tidak mau diatur.  Sebaliknya, Presiden Amerika boleh saja seharian tidur atau bahkan sama sekali tidak ada, tetapi kalau wakil presiden dan semua pemimpin di lembaga-lembaga negaranya (dipaksa oleh suatu sistem yang mengaturnya untuk) selalu kompak dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan-kebijakan negara, keberhasilan negara hanyalah masalah waktu.  Tentu saja saat ini kita menghendaki kedua-duanya efektif, kepemimpinan dan juga kelembagaan. 

Transisi menuju demokrasi memang merupakan pilihan ketatanegaraan yang seringkali melelahkan dan menuntut banyak kesabaran.  Seandainya saya tahu bahwa jalan demokrasi yang kita lalui sekarang ini adalah jalan menuju kegagalan dan kehancuran, barangkali saya pun akan lantang berseru, “Berlakukan Dekrit Presiden!”.  Bukankah begitu Bang Buyung?