Rabu, 27 Desember 2006

Mencari Sosok Ibu di Hari Ibu



MENCARI SOSOK IBU DI HARI IBU



Anak saya yang baru akan menginjak usia dewasa pada tanggal 22 Desember lalu bertanya kepada saya, mengapa kalau Hari Ibu ada tetapi Hari Bapak tidak ada? Mendengar pertanyaan anak saya tersebut, saya tersenyum.  Dalam hati saya teringat ketika pertanyaan yang sama juga pernah ada di benak saya  ketika usia saya kurang lebih sama dengan usianya. Lalu, untuk sekadar memuaskan keingintahuan anak saya tersebut, saya memberikan penjelasan sekenanya yang mudah-mudahan dapat diterima oleh anak saya. 

Waktu itu saya jelaskan kepada anak saya bahwa Hari Ibu sengaja diadakan dan diperingati supaya kita sebagai warga Indonesia selalu ingat (jangan melupakan) jasa dan pengorbanan seorang Ibu yang sangat besar, terutama dalam melahirkan, mengasuh dan membesarkan anak-anaknya.  Satu hal yang perlu kita sadari, keberhasilan generasi muda untuk tampil menjadi pemimpin bangsa banyak tergantung pada sejauhmana keberhasilan Ibu dalam membesarkan, mengasuh dan mendidik anak-anaknya.  Mengingat peran Ibu yang demikian penting tersebut, setiap tanggal 22 Desember kita semua diingatkan untuk menghormatinya, mengindahkan pesan dan ucapannya, dan memberikan kado penghargaan kepadanya.

“Lalu, mengapa Hari Bapak tidak diperingati?”, tanya anak saya.  Setelah berhenti sejenak untuk berpikir, lalu saya jelaskan bahwa Hari Bapak tidak perlu diperingati karena memang tidak ada alasan atau kepentingan yang mendesak untuk memperingatinya. Maksud saya, kalau Hari Ibu itu diperingati karena ada kecenderungan masyarakat (termasuk sebagian para Ibu dan paling tidak pada saat itu) untuk melupakan peran Ibu yang sangat penting tersebut.  Sedangkan peran Bapak nampaknya (paling tidak sampai saat ini) sama sekali tidak ada yang mempermasalahkannya, sehingga tidak perlu dibuat Hari Bapak untuk memperingatinya. Mendengar penjelasan saya tersebut, anak saya pun manggut-manggut. 

Saya tidak tahu apakah anak saya dapat menerima sepenuhnya penjelasan saya.  Tetapi yang pasti adalah saya telah berbohong kepadanya karena saya sendiri sebenarnya ragu sejauhmana kebenaran penjelasan yang telah saya sampaikan kepadanya.

Saya memang pernah membaca bahwa pada tahun 1959 Presiden Soekarno menetapkan Hari Ibu sebagai hari nasional.  Tanggal 22 Desember dipilih karena hari itu bertepatan dengan diselenggarakannya Kongres Perempuan pertama pada tahun 1928 di Yogyakarta.  Namun saya tidak tahu persis, dan saya juga tidak terlalu peduli, apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan kaum perempuan pada saat itu.   Satu hal yang saat ini saya peduli adalah sosok Ibu macam apa sebenarnya yang kita butuhkan saat ini?

Ada tiga sosok Ibu yang akan saya tampilkan dalam tulisan ini, dan ketiganya mempunyai peran penting dalam proses pembangunan bangsa yang tidak bisa kita abaikan begitu saja.  Yang pertama adalah sosok Ibu Rumah Tangga yang saya percaya jumlahnya merupakan mayoritas di Indonesia.  Ibu Rumah Tangga sering digambarkan sebagai sosok Ibu yang mempunyai perhatian penuh pada anak-anak dan juga Sang Suami.  Ia mengabdikan hidupnya secara total kepada mereka.  Namun, ada pula sebagian dari kita yang mengkritiknya sebagai manusia yang terlalu “nrimo”.  Sama sekali tak terlintas dalam benaknya untuk beremansipasi, termasuk merambah ke dunia kerja yang selama ini biasa dilakukan oleh kaum lelaki.  Hidupnya bagai burung di dalam sangkar.  Ia sudah merasa dimuliakan apabila ia mampu memberikan keturunan dan hidupnya dijamin aman. Lebih dimuliakan lagi apabila ia bisa hidup dalam “sangkar” yang terbuat dari emas.

Sosok Ibu yang kedua adalah yang biasa kita kenal sebagai Wanita Karir, yakni wanita yang sehari-hari lebih sering menyibukkan diri dalam kegiatan profesi, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Wanita Karir pada umumnya mempunyai latar belakang pendidikan yang relatif lebih terpelajar dibandingkan dengan wanita yang cukup puas dengan predikat sebagai Ibu Rumah Tangga.  Ia juga dikenal sebaga wanita yang selalu berusaha untuk mematahkan mitos dunia kerja milik kaum pria.  Namun, Wanita Karir juga tidak jarang menerima kritik sebagai manusia yang telah melawan kodratnya.  Demi ambisi pribadi ia rela membiarkan suami dan anak-anaknya dilayani dan dijaga oleh Pembantu Rumah Tangga. Dan barangkali yang paling membuat orang geram, demi karir dan jabatan yang akan diperolehnya kadang ia rela menyerahkan mahkota kewanitaannya kepada Boss dan atasannya.

Sosok Ibu berikutnya adalah Perempuan Aktivis. Meskipun ia telah bersuami dan bahkan mempunyai banyak anak, tetapi ia lebih suka menyebut dirinya sebagai Perempuan ketimbang sebagai sosok Ibu.  Sosok Ibu Perempuan Aktivis ini sangat idealis dan kritis.  Ia selalu memposisikan dirinya dekat dengan rakyat melalui kegiatannya yang bertajuk pemberdayaan masyarakat. Sebagian besar waktu hidupnya memang dipersembahkan untuk memperbaiki nasib kaum perempuan yang tertindas dan teraniaya. Namun, sama halnya dengan Ibu Rumah Tangga dan Wanita Karir, Perempuan Aktivis pun tak luput dari sorotan kritik yang bisa membuat wajah mereka memerah menahan marah. 

Sama dengan Wanita Karir, Perempuan Aktivis juga dikritik karena terlalu banyak melakukan kegiatan di luar rumah sehingga seringkali mengganggu keharmonisan hubungan keluarga (suami, isteri dan anak-anak mereka) dalam rumah tangganya sendiri.  Selain itu, tidak jarang kegiatan demonstrasi yang konon mereka lakukan untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan tersebut sebenarnya tidak lebih dari sekadar melaksanakan mandat atau pesan sponsor dari organisasi non-pemerintah internasional (international NGOs) yang telah mengucurkan dananya kepada LSM tempat mereka bekerja. Teriakan perangnya yang ditujukan kepada pemerintah juga sebenarnya tidak lebih dari sekadar sinyal agar pemerintah meresponnya dengan memberikan bantuan proyek pemberdayaan masyarakat dimana ia menjadi bagian di dalamnya.  Atau siapa tahu, kegarangannya menyerang pemerintah akan berbuah tawaran pemerintah untuk menempati posisi terhormat sebagai wakil rakyat atau birokrat.

Karakter ketiga sosok Ibu tersebut di atas memang sengaja saya tampilkan secara hitam-putih, dari sisi positip maupun dari sisi negatipnya. Maksud saya adalah ingin menunjukkan bahwa manapun sosok Ibu yang kita pilih sebagai panutan, mereka semua adalah sosok manusia yang masing-masing memiliki kelebihan dan juga kekurangan.  Kritik yang menunjuk pada sisi negatip dari masing-masing sosok Ibu hendaknya dijadikan acuan bagi sosok Ibu yang bersangkutan untuk memperbaiki kondisi rumah tangga keluarganya menuju kondisi keluarga yang dicita-citakan bersama.

Dalam hal ini saya juga ingin mengingatkan bahwa dalam kenyataan seringkali kita tidak bisa membedakan secara tegas ketiga sosok Ibu tersebut dengan menggunakan kacamata (analisa) hitam-putih.  Sebagai contoh, yang dimaksud sosok Wanita Karir atau juga Perempuan Aktivis bukanlah mereka yang sama sekali tidak pernah melakukan pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga (memasak, mencuci pakaian, membersihkan lantai rumah, dan seterusnya).  Demikian pula halnya dengan sosok Ibu Rumah Tangga, ia bukanlah seorang Ibu yang sama sekali tidak pernah melakukan aktivitas diluar rumah, misalnya dalam kegiatan organisasi PKK atau organisasi keagamaan. Dengan demikian, kaca mata analisa sosok Ibu dalam hal ini hanya dapat digunakan untuk melihat sejauhmana ia lebih banyak memfokuskan perhatian pada pekerjaannya sebagai Ibu Rumah Tangga, Wanita Karir atau Perempuan Aktivis.

Kembali pada pertanyaan saya sebelumnya tentang sosok Ibu macam apa sebenarnya yang kita butuhkan pada saat ini?  Dengan tegas saya ingin menyatakan bahwa di era sekarang ini kita membutuhkan ketiga sosok Ibu yang telah kita bicarakan. Perbedaan pendapat di antara kelompok masyarakat selama ini tentang sosok Ibu yang menurut mereka layak untuk dijadikan panutan lebih sering didasarkan pada stereotipe yang selama ini dianut oleh banyak orang bahwa pengakuan terhadap peran penting sosok Ibu yang satu berarti sama halnya dengan penolakan terhadap peran penting sosok Ibu yang lain.  Hal lain yang pantas disesalkan, pendapat tentang sosok Ibu yang layak dijadikan panutan seringkali didasarkan pada ajaran atau kepercayaan yang diwariskan secara turun-temurun, dan bukan didasarkan pada sejauhmana etos kerja yang telah diperlihatkan, dan juga sejauhmana pengabdian yang telah diberikan, kepada keluarga dan juga kepada masyarakat.  Akibat dari ego kita yang berlebihan tersebut, polemik jender pun acapkali berkembang menjadi liar, tanpa ditopang argumen-argumen yang cukup mengakar.

Mengapa ketiga sosok Ibu tersebut kita butuhkan? Pertanyaan ini mengingatkan saya pada suatu diskusi tentang masalah ekonomi bahwa kemakmuran atau kemajuan ekonomi suatu bangsa hanya bisa dicapai dengan cara meningkatkan produktivitas ekonominya secara nasional.    Lalu, apa hubungannya ketiga sosok Ibu tersebut dengan masalah produktivitas nasional? 

Seorang Ibu (apalagi kalau anak-anaknya sudah cukup besar dan sudah mandiri) masih mempunyai sisa waktu yang cukup banyak setelah menyelesaikan pekerjaannya sebagai Ibu Rumah Tangga.  Ia bisa berdagang di dalam atau di luar rumah untuk menambah penghasilan suami yang barangkali kurang mencukupi.  Ia juga masih mempunyai sisa waktu untuk belajar memasak, merajut, merangkai bunga, dan lain-lainnya pada kegiatan PKK yang diselenggarakan tidak jauh dari rumahnya.  Saya percaya sepenuhnya bahwa kegiatan-kegiatan positip yang dilakukan di luar waktu untuk mengurus suami dan anak-anaknya tersebut sangat bermanfaat baginya dan bagi keluarganya.

Lalu, mengapa kita juga membutuhkan sosok Ibu Wanita Karir?  Seorang ibu yang dalam kolom pekerjaan di KTPnya tertulis sebagai PNS dan bukan sebagai Ibu Rumah Tangga tentu punya alasan lain lagi mengapa ia bekerja sebagai pegawai negeri, padahal suaminya juga telah bekerja dan kebetulan sama sebagai pegawai negeri.  Seorang Ibu Guru PNS pernah mengatakan kepada saya bahwa ia bekerja sebagai guru karena penghasilan suaminya kurang mencukupi kebutuhan keluarganya. Selain itu, sebagai Guru ia juga bisa belajar dari pengalamannya mengajar selama ini untuk diterapkan kepada anak-anaknya, dan juga kepada siswa-siswanya yang lain tahun ajaran berikutnya.   Sebagian pekerjaan rumahnya seperti mencuci dan menyeterika pakaian dikerjakan oleh pembantu rumah tangga yang ia gaji secara bulanan.  Dengan demikian, pilihan profesinya sebagai seorang Guru PNS telah memberikan banyak manfaat kepada dirinya, keluarganya, siswa-siswanya, dan juga kepada pembantu rumah tangganya.

Alasan yang kurang lebih sama juga berlaku terhadap pertanyaan mengapa kita juga membutuhkan sosok Ibu Perempuan Aktivis.  Pada intinya mereka masih mempunyai sisa waktu yang cukup banyak, di luar kegiatan internal rumahtangganya, yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya, keluarganya dan juga masyarakat.

Kembali lagi pada pertanyaan saya tentang sosok Ibu macam apa sebenarnya yang kita butuhkan saat ini. Setelah memperhatikan peran penting ketiga sosok Ibu tersebut diatas, saya berkesimpulan bahwa kita membutuhkan sosok Ibu yang mampu membuktikan bahwa semua kritik dan sorotan negatip yang ditujukan kepadanya adalah salah.  Kita membutuhkan sosok Ibu Rumah Tangga yang mampu bekerja di dalam dan juga di luar “sangkar”. Kita juga membutuhkan sosok Ibu Wanita Karir yang tidak menelantarkan anak-anak dan suaminya, dan tidak pula menggadaikan kehormatannya kepada atasannya. Dan kita juga membutuhkan sosok Ibu Perempuan Aktivis yang berdemonstrasi karena sesuai dengan tuntutan hati nurani. Bukan karena dibayar oleh organisasi LSM yang mensponsorinya, dan bukan pula karena ingin mendapatkan tempat terhormat sebagai birokrat atau wakil rakyat.

Siapakah mereka?  Barangkali mereka adalah mirip dengan sosok-sosok Ibu “Bhinneka Tunggal Ika” yang fotonya pernah dipajang di halaman depan majalah Tempo beberapa waktu lalu. Yang pasti, mereka bukanlah perempuan biasa. Perempuan yang dengan ikhlas dan sepenuh hati selalu menyumbangkan ide dan tenaganya untuk keharmonisan dan kesejahteraan keluarganya, untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat, dan untuk kemakmuran dan kemajuan bangsanya. ●