Senin, 22 Juni 2009

Jafung Bendahara : Solusi untuk atasi Korupsi?

Kelihatannya aneh, tetapi setidaknya itulah yang hingga kini saya pahami tentang mengapa Bendahara ditetapkan sebagai pejabat fungsional (pasal 10 UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara).  Konon supaya Bendahara bisa mandiri, tidak dapat ditekan oleh kepala Satker selaku KPA, maka ia harus dijafungkan.  Bukankah jafung (jabatan fungsional) bersifat mandiri?

Kalau benar demikian logika yang mendasari perumusan pasal 10 UU No.1/2004, maka hal tersebut mungkin patut disesalkan.  Karena yang dimaksud “mandiri” dalam konteks pengertian jafung adalah mandiri dalam arti bahwa pelaksanaan tugasnya dilakukan secara mandiri, bukan secara tim (PP 16/1994).  Maksudnya supaya produk perorangannya bisa/mudah dihitung sehingga angka kreditnya bisa/mudah ditetapkan. Jadi pengertian “mandiri” dalam konteks jafung tidak sama dengan pengertian “mandiri” dalam konteks bahwa ia mempunyai kekuasaan yang otonom yang tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.  Sekarang, coba perhatikan kewenangan dan pelaksanaan tugas jafung-jafung yang ada di sekitar kita.  Apakah mereka “mandiri”, dalam arti mempunyai kekuasaan yang otonom yang tidak bisa diintervensi oleh pejabat struktural atasannya?

Mengapa pejabat/pelaksana yang menangani pengadaan barang dan jasa di Satker tidak dijafungkan, bukankah mereka juga bisa ditekan oleh atasannya selaku KPA sehingga memberikan peluang terjadinya praktek korupsi?  Nampaknya yang menjadi topik permasalahan adalah pembagian kewenangan antara K/L selaku PA dan Depkeu selaku BUN.  Apakah Bendahara  bertanggungjawab pada K/L (KPA) atau Depkeu (KBUN)?  Sebagaimana kita ketahui, Bendahara saat ini mengerjakan tugas kebendaharaan (comptable), namun berbeda dengan tugas kebendaharaan BUN/KBUN karena uang (persediaan) yang dikelola oleh Bendahara belum membebani anggaran dan harus dipertanggungjawabkan oleh Satker (KPA/Bendahara?) kepada BUN/KBUN.  Nampaknya untuk menyelesaikan perbedaan pendapat tentang peran dan kedudukan Bendahara tersebut diputuskan untuk mengambil “jalan-tengah” (win-win solution?).  Sebagaimana kita ketahui, dalam UU No. 1/2004 disebutkan bahwa Pejabat Perbendaharaan terdiri dari Pengguna Anggaran (/Barang), Bendahara Umum Negara/Daerah, dan Bendahara (Penerimaan/Pengeluaran).  Artinya, Bendahara bukan merupakan bagian (anak) dari Pengguna Anggaran ataupun bagian (anak) dari BUN/D.

Lain halnya dengan pejabat/pegawai pengadaan barang/jasa dimana nampaknya kita semua sepakat bahwa mereka melakukan pekerjaan teknis/administratif yang merupakan kewenangan K/L (KPB/Kuasa Pengguna Barang).          

Terkait dengan perkembangan penerapan Treasury Single Account (TSA), bukan tidak mungkin dalam waktu tidak lama lagi akan terjadi pergeseran peran dan pekerjaan Bendahara di Satker.  Mungkin pekerjaan utamanya akan bergeser ke arah penatausahaan dan pembukuan (akuntansi) cash-flow di Satker, atau mungkin mirip dengan pekerjaan state/public accountant di Perancis.  Lalu, bagaimana dengan riwayat UUDP/UYHD/UP yang dulu pernah menjadi bagian dari karya monumental DJA (lama)?



Rabu, 15 April 2009

JFPP dan Pengelola Perbendaharaan yang Profesional

Banyak cara untuk menciptakan pegawai yang profesional di bidang perbendaharaan. Tulisan ini akan mencoba mengupas sejauhmana JFPP (Jabatan Fungsional Pengelola Perbendaharaan) akan mampu menjadi sarana yang efektif dalam rangka menciptakan pegawai pengelola perbendaharaan yang profesional.  Sebelum melakukan analisis, kita perlu mengetahui terlebih dahulu (1) apa itu JFPP dan (2) bagaimana ciri-ciri pengelola perbendaharaan yang profesional. Selanjutnya, kita akan melihat sejauhmana ciri dan persyaratan untuk menjadi pegawai pengelola perbendaharaan yang professional tersebut dapat dipenuhi oleh JFPP. Sebagai pembanding, kita juga akan melihat sejauhmana peran jabatan struktural dalam upaya meningkatkan profesionalitas kerja di bidang perbendaharaan.      

Apa itu JFPP?

Sebagaimana tersebut dalam dokumen Naskah Akademis JFPP, pembentukan JFPP dimaksudkan sebagai wadah pengembangan profesi dalam bentuk jabatan fungsional yang bertujuan untuk (1) untuk meningkatkan profesionalisme, motivasi, serta efektivitas dan efisiensi kerja dalam pelaksanaan tugas perbendaharaan, dan (2) menjadikan “manajemen keuangan pemerintah” sebagai spesialisasi.  JFPP diharapkan dapat memberikan “kesempatan karier yang lebih luas dan pasti melalui prestasi kerja yang diukur berdasarkan tingkat kompetensi, pengetahuan, dan pengalaman di bidang perbendaharaan”. Kegiatan-kegiatan JFPP meliputi fungsi ”pelaksanaan anggaran” (penyusunan, revisi, dan penarikan pagu DIPA), pengelolaan kas, pengelolaan utang, pengelolaan piutang, pengelolaan barang (aset kekayaan), dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran (akuntansi dan laporan keuangan). Sedangkan ruang lingkup kegiatannya meliputi instansi-instansi di pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Barang maupun sebagai Kuasa BUN/D. 

Untuk diketahui bahwa hingga saat ini JFPP, dalam pengertian sebuah jabatan fungsional di bidang perbendaharaan dengan cakupan kegiatan sebagaimana tersebut di atas, belum berhasil dibentuk. Berdasarkan hasil survei pembentukan JFPP, yang dilakukan oleh tim teknis yang melibatkan pegawai Kementerian PAN dan BKN, menunjukkan bahwa ruang lingkup kegiatan perbendaharaan yang mempunyai peluang paling besar untuk dibentuk jabatan fungsional adalah fungsi pelaksanaan anggaran dan fungsi akuntansi dan laporan keuangan pada instansi pemerintah pusat.  Berdasarkan hasil survei ulang pembentukan JFPP pada kedua fungsi tersebut yang dilakukan pada pertengahan akhir tahun 2007 menunjukkan bahwa ternyata hanya fungsi akuntansi dan laporan keuangan pada instansi Ditjen Perbendaharaan (selanjutnya disebut sebagai jabatan fungsional Analis Laporan Keuangan) yang telah layak dan memenuhi syarat untuk dibentuk jabatan fungsional. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan pengertian JFPP tidak harus jabatan fungsional yang meliputi keenam fungsi sebagaimana konsep awal JFPP, melainkan dapat hanya meliputi satu fungsi perbendaharaan secara parsial seperti halnya jabatan fungsional Analis Laporan Keuangan.   
  
Untuk mengenal lebih jauh apa itu JFPP, kita perlu mengetahui ide dan konsep jabatan fungsional yang mulai diaplikasikan di Indonesia sekitar tahun 1980-an dan konon hanya diadopsi (oleh PNS) di Indonesia. Undang-undang kepegawaian yang berlaku di Indonesia (UU No.8/1974 sebagaimana telah diubah dengan UU No.43/1999) menyebutkan bahwa tersedia dua jenis pilihan karier bagi seorang PNS, jenjang karier jabatan struktural dan jenjang karier jabatan fungsional.  Perbedaan antara kedua jenis jabatan karier tersebut dapat dilihat antara lain  pada (1) sifat pekerjaan, (2) pembagian tugas, (3) jenjang jabatan, dan (4) penilaian kinerjanya.  
  
Dilihat dari sifat pekerjaannya, mereka yang menduduki jabatan struktural mempunyai tanggungjawab yang sifatnya kolektif/tim dan lebih berorientasi pada kepentingan tim/organisasi. Sementara itu mereka yang menduduki jabatan fungsional mempunyai tanggungjawab pekerjaan yang lebih bersifat individual (mandiri) dan lebih berorientasi pada penyelesaian pekerjaan perorangan. Pegawai dalam jabatan struktural dapat dikelompokkan kedalam pegawai yang menduduki jabatan eselon (manajerial) dan pegawai pelaksana. Kalau pembagian tugas para pelaksana pada jabatan struktural biasanya ditetapkan secara fleksibel tergantung pada kebutuhan unit kerja yang bersangkutan dan jumlah tenaga kerja yang tersedia, maka pembagian tugas/kegiatan untuk para pegawai dalam jabatan fungsional ditetapkan secara vertikal berdasarkan jenjang jabatannya, dimana masing-masing kegiatan tersebut mempunyai bobot nilai kredit yang telah ditetapkan dalam suatu peraturan Menteri PAN.  
         
Berbeda dengan jenjang jabatan dalam jabatan struktural yang terdiri dari jabatan Pelaksana, Eselon V, Eselon IV, Eselon III, Eselon II dan Eselon I, jenjang jabatan dalam jabatan fungsional saat ini dapat dikelompokkan ke dalam jenjang jabatan tingkat Terampil (Pelaksana Pemula, Pelaksana, Pelaksana Lanjutan dan Penyelia) dan jenjang jabatan tingkat Ahli (Pertama, Muda, Madya dan Utama). Dalam jabatan struktural hanya mereka yang menduduki jabatan Eselon (VA sd IA) yang berhak mendapatkan tunjangan jabatan struktural yang jumlahnya ditetapkan sama untuk jenjang jabatan Eselon yang sama (lihat PP No. 26 Tahun 2007, terlampir). Sedangkan dalam jabatan fungsional semua pegawai berhak mendapatkan tunjangan jabatan fungsional yang jumlahnya bisa berbeda untuk masing-masing jenjang jabatan tergantung pada jenis jabatan fungsionalnya. Sebagai contoh, tunjangan jabatan fungsional bagi mereka yang berada pada jenjang Ahli Madya (golongan ruang IV/a sd IV/c) pada saat ini (Desember 2008) untuk Peneliti Rp. 1.200.000, Auditor Rp. 900.000, dan Penghulu Rp. 500.000.      

Perbedaan lainnya antara jabatan struktural dan jabatan fungsional dapat dilihat dari sisi penilaian kinerjanya. Sebagaimana kita ketahui, kinerja utama seorang pejabat fungsional dapat dilihat dari nilai akumulasi angka kredit yang telah berhasil dikumpulkannya. Seorang pejabat fungsional dapat diangkat ke jenjang jabatan setingkat lebih tinggi apabila, antara lain, ia telah mendapatkan jumlah angka kredit minimal yang dipersyaratkan untuk jenjang jabatan tersebut. Untuk kenaikan ke jenjang jabatan tingkat Ahli, selain harus mendapatkan jumlah angka kredit minimal yang dibutuhkan mereka juga harus mempunyai sertifikat lulus pendidikan strata satu (S1). 

Harus diakui bahwa penilaian kinerja dengan menggunakan angka kredit tersebut pada prinsipnya lebih baik dari penilaian kinerja yang hanya menggunakan DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) yang hingga saat ini pada umumnya masih digunakan sebagai acuan dalam penilaian kinerja para pejabat struktural. Meskipun demikian, penilaian kinerja berdasarkan angka kredit tersebut memiliki kelemahan karena ia hanya menekankan pada aspek “aktivitas melaksanakan kegiatan (yang memiliki bobot nilai angka kredit)” dan mengabaikan (tidak memasukkan) unsur “kualitas pekerjaan” dalam penilaian kinerjanya. Selain itu, ia juga mengabaikan unsur “pencapaian target kinerja (organisasi)” dalam penilaian kinerjanya. Akibatnya, bukan tidak mungkin terjadi kinerja (nilai angka kredit) pejabat fungsional secara perorangan sangat baik tetapi tidak memberikan kontribusi secara berarti pada peningkatan kinerja organisasi.

Kelemahan lain yang sering dijumpai pada penilaian kinerja berdasarkan angka kredit adalah tingkat ketergantungannya yang sangat tinggi pada “stok pekerjaan” yang tersedia pada unit kerja dimana pejabat fungsional tersebut bekerja. Mereka yang ditugaskan pada unit kerja yang beban pekerjaannya sangat rendah, misalnya pada unit pelayanan yang berlokasi di daerah terpencil, pada umumnya merasa dirugikan karena mereka seringkali mengalami kesulitan untuk mengumpulkan jumlah angka kredit yang dibutuhkan untuk kenaikan pangkat normal (4 tahun) sebagaimana yang bisa dinikmati oleh mereka yang berada pada jenjang karir struktural. Sebaliknya, mereka yang ditugaskan pada unit kerja yang beban pekerjaannya sangat tinggi, misalnya pada unit kerja di kantor pusat, juga merasa dirugikan karena kebijakan instansi mereka (misal pembatasan kenaikan pangkat minimal 3 tahun) kadang menghalangi mereka untuk mendapatkan kenaikan pangkat yang lebih cepat (misal 2 tahun) walaupun persyaratan jumlah angka kredit yang dibutuhkan sebenarnya telah dipenuhi.

Dalam sebuah pertemuan dengan sejumlah pegawai BPPK Depkeu beberapa waktu lalu, saya mendapatkan informasi tentang beberapa pejabat fungsional Widyaiswara tingkat Ahli Utama pada instansi BPPK Depkeu yang diberhentikan dari jabatan fungsional karena gagal mengumpulkan jumlah angka kredit minimal yang dibutuhkan untuk dapat bertahan dalam jabatan fungsional Widyaiswara.  Konon, menurut seorang pegawai BPPK Depkeu, kegagalan mereka untuk mengumpukan jumlah angka kredit yang dibutuhkan tersebut disebabkan oleh kelemahan sistem penilaian kinerja Widyaiswara yang ditetapkan oleh Menteri PAN yang tidak memberikan nilai angka kredit kepada Widyaiswara Ahli Utama yang melakukan kegiatan-kegiatan porsi Widyaiswara Ahli Muda dan porsi Widyaiswara untuk jenjang-jenjang dibawahnya.  Dengan kata lain, instansi BPPK Depkeu membutuhkan tenaga mereka dan menugaskan mereka untuk mengajar para mahasiswa program diploma 2/3, tetapi sistem penilaian kinerja Widyaiswara yang ditetapkan oleh Menteri PAN nampaknya tidak cukup “luwes” untuk mengakui kegiatan mereka tersebut sebagai prestasi kerja.  

Sebenarnya Kementerian PAN telah mengetahui beberapa kelemahan penilaian kinerja berdasarkan angka kredit sebagaimana yang telah disampaikan tersebut di atas. Sudah sejak lama Kementerian PAN berusaha menyusun konsep penilaian kinerja PNS yang baru, termasuk mencoba penggunaan Balanced Scorecard untuk keperluan manajemen kinerja di lingkungan PNS. Untuk diketahui bahwa beberapa negara maju, termasuk Korea Selatan, telah berhasil menerapkan penggunaan Balanced Scorecard di lingkungan PNS. Di Indonesia, KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) juga telah berhasil menggunakan Balanced Scorecard.  Meskipun demikian, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa apa yang berhasil dilaksanakan oleh KPK belum tentu berhasil dilaksanakan oleh instansi pemerintah lainnya.

Setelah mengetahui apa itu JFPP dan gambaran umum tentang jabatan fungsional, termasuk perbedaannya dibandingkan dengan jabatan struktural, sekarang mari kita lihat apa ciri-ciri utama pegawai yang profesional dan sejauhmana jabatan fungsional (JFPP) atau jabatan struktural dapat merupakan sarana yang efektif untuk mewujudkan pengelola perbendaharaan yang profesional.

Pengelola Perbendaharaan yang Profesional
        
Dari beberapa sumber referensi yang bisa diperoleh melalui internet, kita bisa mendapatkan informasi bahwa ciri-ciri utama pegawai yang profesional adalah (1) ahli atau kompeten dalam bidang tugasnya, (2) berorientasi pada pencapaian/peningkatan kinerja untuk kepentingan stakeholders (organisasi dan/atau masyarakat) yang dilayani, dan (3) berpedoman pada kode etik profesi yang antara lain mengatur tentang apa yang harus mereka lakukan dan apa yang tidak boleh mereka lakukan. Dengan kata lain, untuk menjadi seorang pegawai pengelola perbendaharaan yang profesional ia harus mampu memperlihatkan/membuktikan kompetensinya di bidang perbendaharaan, komitmennya terhadap pencapaian kinerja di bidang perbendaharaan, dan kepatuhannya  pada  kode etik profesi yang berlaku bagi pengelola perbendaharaan.

Satu hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa sesungguhnya tuntutan kerja secara profesional tersebut berlaku bagi semua PNS, baik mereka yang berada pada jabatan fungsional maupun mereka yang berada pada jabatan struktural.  Oleh karena itu, ketiga ciri utama pegawai yang profesional tersebut di atas harus dimiliki oleh kedua kelompok PNS tersebut.    

Kompetensi (Keterampilan dan Keahlian)

Sebagaimana telah disebutkan dimuka bahwa tingkat profesionalisme kerja seorang pegawai dapat dilihat, antara lain, dari sejauhmana tingkat kompetensinya. Kompetensi dapat dibedakan antara kompetensi keras (hard competency) dan kompetensi lunak (soft competency). Kompetensi keras pada umumnya dibutuhkan pada pekerjaan atau jabatan yang bersifat teknis dan relatif mudah dipelajari, baik pada lembaga pendidikan formal (misal, manajemen kas) maupun non-formal (misal, kursus bahasa asing). Sedangkan kompetensi lunak pada umumnya dibutuhkan pada pekerjaan atau jabatan yang lebih tinggi dalam manajemen/organisasi (misal, jabatan manajerial dan jabatan staf ahli) dan biasanya dipelajari melalui program pendidikan dan pelatihan (misal, diklat kepemimpinan dan diklat berbasis kompetensi), workshop dan seminar.

Berdasarkan peta kompetensi pegawai yang dibutuhkan oleh organisasi sebagaimana diuraikan tersebut di atas, kompetensi lunak yang bersifat manajerial merupakan domain yang harus dimiliki oleh setiap pegawai yang menduduki jabatan eselon pada jabatan struktural. Kompetensi lunak yang bersifat non-manajerial (misal: kemampuan visioning, inovasi dan analisis penyelesaian masalah) sangat diperlukan oleh para pejabat eselon/struktural pada level atas (eselon III keatas) dan para staf ahli yang sebagian mungkin merupakan pejabat fungsional. Mengacu pada tiga kelompok kompetensi (Thinking, Working dan Relating) yang terdapat dalam kamus kompetensi Departemen Keuangan (terlampir), nampaknya kelompok kompetensi Working dan Relating lebih banyak dibutuhkan oleh para pejabat eselon/struktural dan kelompok kompetensi Thinking pada umumnya lebih dibutuhkan oleh staf ahli atau pejabat fungsional tingkat ahli.  Sedangkan kompetensi keras pada umumnya dibutuhkan oleh setiap pegawai, baik yang berada pada jabatan struktural maupun yang berada pada jabatan fungsional, sesuai dengan bidang tugasnya (misal: pengelolaan kas dan pembuatan program aplikasi).  
     
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi yang bersifat spesialisasi (individual) maupun yang bersifat manajerial (kolaborasi tim), masing-masing diperlukan untuk peningkatan kinerja dan pengembangan organisasi. Kompetensi yang bersifat spesialisasi diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam bentuk pengetahuan yang mendalam, analisis penyelesaian masalah, dan pemikiran ke arah perubahan. Sedangkan kompetensi yang bersifat manajerial diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam bentuk pemanfaatan SDM dan networking, termasuk kerjasama dengan para staf ahli yang mempunyai keahlian spesifik, untuk keperluan peningkatan kinerja dan pengembangan organisasi.  Hal lain yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa keberhasilan program pengembangan kompetensi (peningkatan profesionalitas) sama sekali tidak tergantung pada apakah program pengembangan kompetensi tersebut ditujukan kepada pejabat fungsional atau pejabat struktural, melainkan tergantung pada sejauhmana program tersebut mampu mengidentifikasi peta permasalahan kompetensi pegawai pada unit kerja tersebut dan sejauhmana ia mampu memberikan solusi yang efektif untuk mengatasi permasalahan kompetensi tersebut.

Orientasi pada Pencapaian dan Peningkatan Kinerja

Ciri utama pegawai profesional berikutnya adalah berorientasi pada pencapaian dan peningkatan kinerja untuk kepentingan organisasi dan masyarakat yang dilayaninya. Dalam beberapa kasus sikap yang berorientasi pada peningkatan kinerja tersebut lebih merupakan sifat bawaan dari pegawai yang bersangkutan. Namun sejalan dengan perkembangan manajemen SDM modern, pembentukan sikap pegawai yang berorientasi pada kinerja tersebut dapat dikondisikan atau dikembangkan melalui pengaturan manajemen kinerja yang dilengkapi, antara lain, dengan sistem penilaian kinerja yang obyektif, sistem pengawasan pegawai yang efektif, dan pelaksanaan mekanisme reward and punishment yang konsisten.

Sebagaimana telah disebutkan dimuka bahwa salah satu keunggulan jabatan fungsional dibandingkan dengan jabatan struktural pada umumnya adalah tersedianya sistem penilaian kinerja berupa angka kredit yang digunakan sebagai acuan prestasi kerja dan sekaligus juga sebagai bahan pertimbangan untuk kenaikan pangkat/jabatan bagi pejabat fungsional. Penilaian kinerja berdasarkan angka kredit tersebut mampu memberikan motivasi kepada para pejabat fungsional untuk meningkatkan aktivitas kerjanya dalam rangka penyelesaian tugas. Bandingkan, misalnya, dengan para pegawai/pelaksana dalam jabatan struktural yang pada umumnya hanya mengandalkan penilaian kinerja berdasarkan DP3, yang setiap empat tahun sekali dinaikkan pangkatnya, dan yang secara sinis seringkali diplesetkan sebagai menganut azas PGPS (Pintar Goblok Penghasilan Sama).     
Meskipun demikian, sebagaimana telah disebutkan dimuka, terdapat beberapa kelemahan pada sistem penilaian kinerja berdasarkan angka kredit yang berlaku pada jabatan fungsional, antara lain adalah (1) mengabaikan aspek kualitas pekerjaan (produk kegiatan), (2) tidak mengkaitkannya dengan pencapaian target kinerja organisasi, dan (3) aturan penilaian kinerjanya (kegiatan dan bobot angka kreditnya) ditetapkan oleh atau terlalu tergantung pada Kementerian PAN.  Sebagaimana telah kita ketahui, belakangan ini terdapat kecenderungan yang semakin meningkat untuk mengadopsi penggunaan Balanced Scorecard untuk keperluan manajemen kinerja di instansi pemerintah. Penggunaan Balanced Scorecard secara cerdas dalam manajemen kinerja organisasi memberikan peluang kepada kita untuk menutup beberapa kelemahan penilaian kinerja angka kredit pada jabatan fungsional sebagaimana tersebut di atas. Hal lain yang perlu dicatat di sini adalah bahwa peran kepemimpinan yang kuat dalam mendukung kerjasama tim dan kolaborasi dengan kelompok lain, yang notabene berlaku dalam konteks jabatan struktural, sangat menentukan keberhasilan pencapaian dan peningkatan kinerja pegawai/organisasi.    
      
Menjunjung Tinggi Kode Etik Profesi

Pegawai yang profesional tidak cukup harus ahli dan berorientasi pada kinerja, tetapi ia juga harus berintegritas (jujur, bermoral baik). Untuk menjaga integritas/moralitas para pegawai maka dibuatlah kode etik pegawai, yakni pedoman untuk mengatur sikap dan perilaku pegawai (apa yang harus mereka lakukan dan apa yang tidak boleh mereka lakukan) dalam melaksanakan tugasnya. Apabila pegawai tersebut merupakan anggota suatu profesi maka ia harus menjunjung tinggi kode etik profesi tersebut.  Pertanyaannya, sejauhmana lembaga atau mekanisme kerja dalam jabatan fungsional dan jabatan struktural dapat  menjamin integritas para pegawai?
  
Sebagian di antara kita mungkin berpendapat bahwa integritas atau moral merupakan sifat bawaan masing-masing individu yang sulit untuk diubah. Pendapat tersebut tidak sepenuhnya salah. Meskipun demikian, banyak fakta memperlihatkan kepada kita bahwa integritas seorang pegawai dapat diubah melalui, atau dipengaruhi oleh, perpaduan antara program peningkatan remunerasi, sistem manajemen (pengawasan dan pembinaan) SDM yang efektif, dan penerapan law enforcement yang konsisten.  Faktor kepemimpinan juga mempunyai peran yang cukup penting dalam proses pembentukan integritas pegawai. Pemimpin yang tidak jujur (berintegritas rendah)  cenderung akan mempersulit upaya perbaikan integritas para pegawai yang berada dibawah kepemimpinannya.      

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa integritas pegawai, atau bahkan profesionalitas pegawai, tidak ditentukan oleh apakah pegawai tersebut berada dalam jabatan fungsional atau dalam jabatan struktural. Rhenald Kasali pernah mengatakan bahwa pada lembaga yang manajemennya kuat, orang-orang jahat dapat diperbaiki menjadi baik. Sebaliknya pada lembaga yang manajemennya lemah, orang-orang baik dapat berubah menjadi jahat (Kompas, 8 Oktober 2007). Saya sendiri yakin bahwa apa yang dikatakan oleh Rhenald Khasali  tersebut tidak hanya berlaku dalam konteks baik atau buruknya integritas pegawai, tetapi juga berlaku dalam konteks baik atau buruknya profesionalitas pegawai. 

Jumat, 16 Januari 2009

Jafung "Bendahara", Kemandirian, dan Profesionalitas

Masih ingat “Drama Anggaran Pendidikan 20 persen” yang selama beberapa tahun telah memposisikan pemerintah dan DPR sebagai lembaga negara yang “melanggar UUD 1945”?  Drama anggaran pendidikan tersebut berakhir setelah pada tanggal 20 Februari 2008 lalu Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memasukkan komponen gaji pendidik ke dalam kategori anggaran pendidikan yang harus dialokasikan, minimal 20 persen dari APBN, sehingga langkah pemerintah untuk memenuhi anggaran pendidikan sesuai dengan ketentuan UUD 1945 menjadi lebih mudah.
   
Meskipun dalam konteks yang berbeda, ketentuan dalam pasal 10 (Bendahara adalah Pejabat Fungsional) dan pasal 70 (Jafung Bendahara dibentuk selambat-lambatnya setahun sejak UU diberlakukan) UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara juga telah memposisikan Depkeu (baca: DJPBN) sebagai instansi yang “tidak melaksanakan amanat UU No.1/2004”.  Membentuk Jafung Bendahara untuk memenuhi amanat UU tersebut kini ibarat menegakkan sebuah benang basah. Mengapa demikian? Karena Menpan selaku regulator Jafung telah sekian kali menyatakan bahwa Bendahara tidak memenuhi syarat sebagai Jafung. Konon alasannya karena kegiatan Bendahara tidak dapat dikelompokkan secara berjenjang yang diperlukan untuk kebutuhan jenjang karier Bendahara. Ringkasnya, Bendahara dinilai tidak layak untuk dijadikan sebagai jabatan karier. Sementara itu Jafung Pengelola Perbendaharaan (JFPP) yang dimaksudkan sebagai pengganti Jafung Bendahara pun sampai saat ini masih belum berhasil dibentuk dan bahkan mempunyai peluang yang sangat kecil untuk berhasil dibentuk.
  
Pertanyaan yang cukup menarik adalah mengapa para pembuat UU No.1/2004 berpendapat bahwa Jafung Bendahara perlu dibentuk dan mengapa kemudian para pejabat di lingkungan DJPBN sepakat untuk membentuk JFPP sebagai pengganti Jafung Bendahara?
  
Saya kira amanat pembentukan Jafung Bendahara dalam UU No.1/2004 tidak dapat dipisahkan dari (1) bentuk apresiasi kita terhadap pentingnya peran Bendahara dalam pengelolaan uang negara dan (2) upaya pembentukan Jafung Bendahara yang pada saat itu (2003-2004) sedang dilakukan oleh Depkeu (BAKUN). 
   
Sebagaimana kita ketahui UU No.1/2004 menyatakan bahwa Bendahara wajib menolak perintah bayar dari Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (yang notabene secara struktural merupakan atasan Bendahara) apabila persyaratan yang diperlukan tidak dipenuhi (pasal 21 ayat 4). Selain itu, Bendahara bertanggungjawab secara fungsional kepada Kuasa BUN atas uang negara yang dikelolanya (pasal 53 ayat 1) dan Bendahara Pengeluaran bertanggungjawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakannya (pasal 21 ayat 5). Ketentuan UU No.1/2004 terkait dengan fungsi Bendahara tersebut mengisyaratkan tentang (1) perlunya dijaga independensi Bendahara terhadap kemungkinan intervensi dari Kuasa Pengguna Anggaran yang mengarah pada praktek KKN, (2) perlunya diberikan imbalan/insentif kepada Bendahara agar ia dapat bekerja secara profesional (tidak tergoda oleh praktek KKN dan mampu bertanggungjawab secara pribadi atas pembayaran yang dilakukannya) dan (3) perlunya pembinaan secara fungsional (oleh Kuasa BUN) terhadap Bendahara.

Apresiasi terhadap peran Bendahara yang terkait dengan tuntutan kemandirian, insentif (reward) dan profesionalitas tersebut sebenarnya sejalan dengan ide tentang pembentukan Jafung Bendahara. Kegiatan pembinaan terhadap Bendahara yang sesuai tupoksi organisasi pada saat ini dilaksanakan oleh Direktorat Pengelolaan Kas Negara sebenarnya juga sejalan dengan dan termasuk dalam program kerja pembentukan Jafung Bendahara yang waktu itu periode pembahasannya dengan Menpan bersamaan waktunya dengan periode pembahasan UU No.1/2004.  Barangkali titik temu ide antara mereka yang menyusun UU No.1/2004 dan mereka yang membentuk Jafung Bendahara itulah yang telah mendorong ditetapkannya pembentukan Jafung Bendahara di dalam UU No.1/2004. Sementara itu penetapan Jafung Bendahara di dalam UU, termasuk target waktu pembentukannya, juga dimaksudkan untuk mendesak dan meyakinkan Menpan agar menyetujui pembentukan Jafung Bendahara. Pertanyaannya, mengapa proses pembentukan Jafung Bendahara akhirnya dihentikan dan diganti dengan pembentukan JFPP?
   
Sebenarnya lebih tepat dikatakan bahwa Jafung Bendahara gagal dibentuk karena nilai angka kredit hasil ujipetik Jafung Bendahara yang dilaksanakan di sejumlah lokasi tidak memenuhi syarat yang diperlukan untuk pembentukan sebuah Jafung.  Konon menurut hasil evaluasi Menpan hal tersebut terjadi karena Bendahara tidak mempunyai jenjang kegiatan yang cukup memadai yang diperlukan dalam pembentukan suatu Jafung.  Lalu, apakah pembentukan JFPP dapat memenuhi amanat yang tersurat dalam pasal 10 UU No.1/2004 tentang Jafung Bendahara?
   
Satu hal yang perlu diketahui bahwa meskipun Jafung Bendahara tidak berhasil dibentuk tetapi Bendahara bisa menjadi Pejabat Fungsional apabila JFPP berhasil dibentuk karena Bendahara merupakan bagian dari JFPP. Dengan kata lain, peluang untuk memenuhi amanat UU No.1/2004 masih terbuka walaupun istilah Jafung Bendahara pada pasal 70 dan penjelasan pasal 10 UU No.1/2004 perlu diralat atau ditafsirkan menjadi Jafung Pengelola Perbendaharaan (JFPP). Kenyataan bahwa pembentukan JFPP masih menggunakan pasal 10 UU No.1/2004 sebagai dasar hukum, sebagaimana dapat dilihat pada naskah akademis JFPP, membuktikan bahwa pembentukan JFPP memang merupakan kelanjutan dari pembentukan Jafung Bendahara dan dalam rangka memenuhi amanat pasal 10 UU No.1/2004. 
  
Ada alasan lain mengapa pada saat itu para pejabat DJPBN menyetujui pembentukan JFPP.  Pertama, masalah kurang mencukupinya jenjang kegiatan dalam pembentukan Jafung Bendahara diharapkan tidak akan terjadi lagi dalam proses pembentukan JFPP.  Untuk diketahui bahwa ruang lingkup bidang tugas JFPP sangat luas, meliputi fungsi pelaksanaan anggaran, pengelolaan kas, pengelolaan piutang, pengelolaan utang dan risiko, pengelolaan kekayaan negara, dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran.  Dari sisi jenjang keahliannya, terdapat kegiatan-kegiatan JFPP dari mulai kelompok jenjang Terampil yang pada umumnya berada di Satker (Kuasa Pengguna Anggaran) dan KPPN (Kuasa BUN) sampai dengan kelompok jenjang Ahli yang pada umumnya berada di Kantor Pusat DJPBN.
 
Kedua, Bendahara bukan merupakan satu-satunya pegawai di Satker yang harus bekerja secara profesional dan perlu mendapatkan insentif yang memadai untuk memelihara profesionalitasnya. Para pegawai lainnya yang tupoksinya terkait dengan pengelolaan keuangan negara seperti Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen juga harus bekerja secara profesional dan berhak untuk mendapatkan insentif sesuai dengan bobot pertanggungjawabannya. Kesadaran terhadap peran penting kerjasama antar semua unsur yang terlibat dalam pengelolaan uang negara di Satker, dari mulai perencanaan/penyusunan anggaran sampai dengan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran, nampaknya telah “menempatkan kembali peran dan posisi Bendahara secara lebih proporsional”. Apresiasi terhadap peran penting pejabat perbendaharaan di Satker (K/L) tersebut dapat kita lihat antara lain dalam ketentuan tentang pemberian honor kepada mereka yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (PMK No. 64/PMK.02/2008 tentang Standar Biaya Umum TA 2009).  Pertanyaan menarik berikutnya adalah apakah untuk menjadi profesional maka mereka harus mendapatkan insentif (reward) atau remunerasi yang memadai?
  
Dalam dunia olahraga kita semua tahu bahwa yang dimaksud olahragawan profesional, berbeda dengan yang amatir, adalah mereka yang berkompetisi dalam pertandingan/turnamen olahraga demi untuk mendapatkan uang. Tetapi adalah suatu hal yang menyesatkan apabila dalam suatu organisasi pemerintah, atau bahkan juga swasta, kita definisikan seorang pegawai yang profesional adalah mereka yang berorientasi (hanya) pada uang.  Dari beberapa sumber referensi yang bisa diperoleh melalui internet, kita mendapatkan informasi bahwa ciri-ciri utama pegawai yang profesional adalah (1) ahli atau kompeten dalam bidang tugasnya, (2) berorientasi pada pencapaian kinerja untuk kepentingan stakeholders (organisasi dan/atau masyarakat) yang dilayani, dan (3) berpedoman pada suatu kode etik profesi yang antara lain mengatur tentang apa yang harus mereka lakukan dan apa yang tidak boleh mereka lakukan.   
  
Tentu seorang pegawai yang profesional berhak untuk mendapatkan imbalan/remunerasi (reward) atas jasa yang telah mereka berikan. Meskipun berapa persisnya remunerasi yang layak diterima oleh seorang pegawai profesional masih bisa diperdebatkan, kita semua tentu sepakat bahwa semakin profesional ia melaksanakan pekerjaannya maka semakin tinggi pula remunerasi yang seharusnya ia terima. Kalau kita sepakat dengan ciri-ciri utama profesionalitas sebagaimana disebutkan dimuka, maka untuk menetapkan grading remunerasi/penghasilan seorang pegawai kita harus mampu mengukur atau menilai sejauhmana kompetensi, kinerja dan integritas (moralitas) pegawai yang bersangkutan.
  
Tingkat remunerasi yang memadai memang diperlukan agar seorang pegawai dapat bekerja secara profesional. Meskipun demikian, pengalaman perbaikan remunerasi di lingkungan pegawai Departemen Keuangan sejak bulan September 2007 lalu memperlihatkan kepada kita bahwa sama sekali tidak ada jaminan para pejabat/pegawai  yang telah menerima tingkat remunerasi yang cukup tinggi akan bekerja secara profesional. Sebagai contoh adalah kasus suap hasil inspeksi mendadak KPK di Kantor Pelayanan Umum Tanjung Priok pada tanggal 30 Mei 2008 lalu, hasil kajian lapangan KPK di 33 KPPN yang dilakukan sejak 1 Februari 2008 hingga 16 Mei 2008 (Media Indonesia, 1 Desember 2008), dan kasus beberapa pejabat eselon II Departemen Keuangan yang tidak profesional (terancam penalti didemosikan) yang dilindungi oleh Dirjennya sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati beberapa waktu lalu (Kompas, 18 Oktober 2008). Untuk menjadi seorang pegawai yang profesional, sebagaimana telah disebutkan dimuka, ia dituntut untuk mampu memperlihatkan kompetensinya, komitmen terhadap pencapaian kinerjanya, dan kepatuhan terhadap kode etik profesinya.     
   
Pertanyaan kita selanjutnya, apakah pembentukan JFPP merupakan sarana yang efektif untuk meningkatkan profesionalitas para pengelola perbendaharaan di negara kita?