Sabtu, 31 Desember 2011

Pak Presiden, Mohon Bapak Turun Tangan Langsung!

Pak Presiden, Mohon Bapak Turun Tangan Langsung!
Gomar Gultom, PENDETA HKBP,
SEKRETARIS UMUM PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA
Sumber : SINAR HARAPAN, 31 Desember 2011


Salah satu persoalan serius yang kita hadapi sampai di penghujung 2011 adalah semakin terancamnya kebebasan beragama.

Sepanjang 2011 kita menyaksikan begitu banyaknya kasus-kasus kekerasan atas nama agama dan berbagai bentuk pelarangan beribadah yang dilakukan sekelompok masyarakat yang begitu memprihatinkan, dan itu semua terjadi seolah dibiarkan negara. Negara yang direpresentasikan pemerintah sering ragu menindak kelompok-kelompok yang senang bertindak anarkis atas nama agama.

Yang paling mencolok adalah kasus yang dihadapi jemaat GKI Yasmin, di mana Wali Kota Bogor mencabut IMB gereja yang sudah terbit sebelumnya.

Walau Mahkamah Agung telah mengeluarkan penetapan final yang memenangkan GKI Yasmin dan Ombudsman RI telah mengeluarkan rekomendasi yang memerintahkan wali kota melaksanakan penetapan Makamah Agung tersebut, Wali Kota Bogor tetap pada tekadnya membekukan IMB GKI Yasmin, hanya atas dasar desakan sekelompok masyarakat.

Selama setahun penuh ini kepada kita disuguhkan dua tontonan yang begitu menyesakkan dada. Pertama, pembangkangan hukum oleh pejabat publik setingkat wali kota dan tidak mendapat teguran apa pun dari atasannya, dalam hal ini Mendagri dan presiden.

Kedua, jemaat GKI Yasmin harus terlunta-lunta melaksanakan ibadahnya setiap Minggu, dan berjuang keras di bawah ancaman gerombolan tertentu, sementara aparat negara malah ikut memaksakan ancaman gerombolan tersebut. Kedua hal ini nyata-nyata merupakan pengkhianatan terhadap amanat Pasal 29  UUD 1945. 

Kita juga sangat prihatin dengan terjadinya kecenderungan praktik impunitas terhadap para pelaku kekerasan atas nama agama. Mereka dibiarkan bebas tanpa ditindak secara hukum.

Selain itu kita menyaksikan bias agama dalam pengambilan keputusan di lembaga peradilan, sebagaimana nampak dalam kasus penganiayaan pendeta dan penatua HKBP Ciketing, Bekasi, kasus Temanggung, Jawa Tengah, serta kasus penganiayaan dan pembunuhan jemaah Ahmadiyah, di Cikeusik, Banten. 

Pengadilan Bias

Membandingkan kasus Temanggung dan kasus lain, kasus HKBP Ciketing Bekasi dan kasus Ahmadiyah Cikeusik, maka kita akan mendapatkan gambaran betapa putusan pengadilan sangat tidak adil dan bias agama.

Dalam kasus Ciketing dan Cikeusik, para pelaku penganiayaan (dan pembunuhan) hanya dihukum 5-7 bulan kurungan, sementara dalam kasus Temanggung terdakwa yang terbukti hanya menyebarkan selebaran bernuansa penghinaan agama, divonis maksimal 5 tahun kurungan penjara.

Fenomena ini menggambarkan peradilan kita telah dipengaruhi kepentingan kelompok dengan model penafsiran berdasar agama tertentu, sehingga putusannya tidak memberi keadilan yang sejati bagi masyakarat.

Kita juga makin prihatin dengan penguatan resistensi masyarakat sekitar terhadap pendirian rumah ibadah. Hal itu  tidak hanya terjadi terhadap rumah ibadah Kristen, tapi juga terhadap rumah ibadah umat beragama lain.

Banyak kasus keberatan terhadap pendirian rumah ibadah muncul di beberapa daerah dan dilakukan agama dengan jumlah umat terbanyak di daerah tersebut.

Hal ini ditandai dengan munculnya keberatan dan penolakan untuk mendirikan gereja, pura, dan vihara di daerah-daerah lainnya. Bahkan simbol-simbol budaya yang dianggap tidak sejalan dengan selera penganut agama tertentu pun harus dirobohkan, seperti patung-patung tokoh pewayangan dan patung Buddha.

Fenomena ini tentunya harus mendapatkan penyikapan yang lebih serius, tidak hanya oleh kalangan umat dan tokoh agama, namun yang lebih penting oleh pemerintah. Ini karena jika dibiarkan terus seperti yang sekarang berlangsung, maka akan rawan menimbulkan konflik sosial, dan dengan sendirinya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hukum Dilemahkan

Kenyataan di atas membawa kita pada empat masalah pokok yang sangat mengganggu penataan kebangsaan kita di masa depan. Pertama, hilangnya kepatuhan hukum.
Pembangkangan hukum yang dilakukan aparat negara dan dibiarkan tanpa mendapat teguran dari atasannya merupakan contoh buruk dalam penegakan hukum dan tiadanya kepastian hukum. Entah pendidikan apa yang sedang kita tanamkan kepada generasi muda kita dengan peristiwa semacam ini. 

Kedua,  Indonesia telah bergeser dari rechtstaat atau Negara Hukum sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 menjadi semacam mobokrasi, negara yang diatur para gerombolan (yang marah).

Di berbagai tempat kita menyaksikan sepanjang 2011 ini bagaimana gerombolan yang marah dan mengamuk mengambil alih peran negara memaksakan kehendaknya. 
Dari kasus GKI Yasmin dan beberapa kasus sejenis, kita juga belajar bagaimana penegakan hukum dikalahkan desakan segerombolan anggota masyarakat yang mengedepankan kekuatan.

Ini tentu mengancam eksistensi RI sebagai negara hukum. Anehnya, gerombolan yang memaksakan kehendak ini acap menggunakan tameng hendak menegakkan hukum. Hukum yang mana, tak pernah jelas. 

Ketiga, sulitnya mendirikan rumah ibadah di beberapa lokasi dan kecenderungan memaksakan alternatif berupa relokasi, sebagaimana dengan entengnya selalu ditawarkan pemerintah dalam kasus-kasus penutupan gereja dan pelarangan beribadah, hanya akan menciptakan segregasi masyarakat berdasarkan agama. 

Keempat, preseden relokasi tersebut hanya akan mempersubur keengganan sebagian masyarakat untuk tidak lagi mampu dan sedia hidup berdampingan di tengah realitas keberagaman masyarakat Indonesia.

Hal ini ditopang berbagai penelitian (PPIM-UIN, Setara Institute, dan LaKIP) yang menunjukkan kecenderungan makin mengkhawatirkan, di mana angka-angka hasil penelitian menunjukkan semangat intoleransi makin naik. 

Penelitian yang diselenggarakan Biro Liktom PGI juga menunjukkan hal yang kurang lebih sama.

Masyarakat pada umumnya mengatakan penolakan mereka atas berdirinya rumah ibadah di luar agama Islam adalah bagian dari akidah atau ajaran agamanya. Yang sangat memprihatinkan adalah abainya negara terhadap kecenderungan yang bisa memecah masyarakat dan bangsa Indonesia ini.

Bukan “Policy” Negara

Dengan demikian, pertanyaan yang sangat mengusik, masihkah Indonesia akan bertahan sebagai sebuah bangsa dengan kondisi seperti ini? Itulah pertanyaan yang kini menghantui benak banyak orang kini di penghujung 2011. Tentu, harapan kini ditujukan kepada negara, dalam hal ini pemerintah, yang diharapkan dapat bertindak tegas atas nama konstitusi. 

Menarik menyimak apa yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan pemimpin PGI dan pemimpin gereja-gereja di Papua, 16 Desember 2011, "Apa yang terjadi sekarang itu bukanlah sebuah policy. Saya mencintai pluralisme, dan kebebasan sesuai dengan konstitusi. Terkait dengan GKI Yasmin, putusan hukum yang sudah final tidak boleh diabaikan. Kalau ada masalah dalam menjalankannya, masalah itu yang harus diselesaikan. Saya sudah minta menteri menyelesaikannya, kalau tidak, saya akan turun tangan langsung.” 

Terima kasih, pak presiden! Melihat kenyataan di lapangan kini, sudah waktunya bapak turun tangan langsung, demi keutuhan Republik yang sama-sama kita cintai ini. Bersegeralah, sebelum lebih terlambat lagi. Mayoritas rakyat menunggu dan mendukung tindakan nyata dan tegas bapak dalam hal ini.

Wajah Manusia Indonesia 2011


Wajah Manusia Indonesia 2011
Al Andang L Binawan, PENGAJAR DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA JAKARTA
Sumber : SINAR HARAPAN, 31 Desember 2011


Dalam khazanah moralitas dibedakan antara actus hominis (tindakan atau perbuatan manusia) dan actus humanus (tindakan manusiawi). Keduanya mempunyai persamaan karena bertolak pada tindakan manusia, tetapi juga mempunyai perbedaan yang besar.
Actus hominis mengacu pada manusia sebagai makhluk biologis saja. Contoh actus hominis adalah makan, minum, dan tidur dalam konteks kesehatan dirinya. 

Sementara itu, actus humanus mengacu pada manusia sebagai subjek moral yang mempunyai nurani, kebebasan, serta rasio dan juga dalam konteks manusia sebagai makhluk sosial. Karena itu, makan yang sopan dan baik serta mengingat kepentingan orang lain adalah contoh dari actus humanus.

Actus humanus adalah tindakan-tindakan yang selama ini dipandang sebagai tindakan berbudaya yang khas manusia dengan tidak mengingkari actus hominis. Ini supaya manusia bisa beranjak menjadi makin manusiawi (baca: berbudaya), dan mempunyai actus humanus, dibutuhkan pendidikan dalam proses yang panjang. Dalam hal ini, peran negara sangat menentukan.

Tulisan ini akan mencoba merefleksikan situasi manusia Indonesia 2011 berdasarkan pendekatan ini. Dengan kata lain, dicoba diukur apakah manusia Indonesia sudah cukup berbudaya dan menjadi makin manusiawi. Peran negara akan disoroti terutama menyangkut upaya yang perlu diprioritaskan pada tahun depan.

Indonesia 2011

Meski pada 2011 negara Indonesia telah berusia 66 tahun, saya yakin belum banyak warga yang merasa bangga dengan Indonesia. Benar, Indonesia kembali menjadi juara umum SEA Games 2011, tetapi hal itu tidak mendongkrak kebanggaan. Banyak peristiwa, juga hasil riset dan jajak pendapat, yang menunjukkan masih terseoknya negara ini di tengah modernitas.

Simak misalnya beberapa laporan ini: tentang indeks korupsi (menurut Transparency International), pada 2011 Indonesia menempati peringkat 100 dari 182 negara yang disurvei, tentang indeks perkembangan manusia (human development index) dalam laporan 2011 Indonesia ada di peringkat 124 dari 196 negara. 

Kemudian, tentang kualitas pendidikan, berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011, Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Jangan lupa, peringkat kesebelasan Indonesia pada bulan lalu juga “hanya” 140 di antara dari 208 anggota! 

Meski peringkat tidak mengatakan banyak hal tentang situasi nyata, tetapi memberi indikasi bahwa kondisi sosial Indonesia belum sungguh baik. Melihat peringkatnya, bisa dikatakan Indonesia adalah negara medioker di tengah pergaulan masyarakat dunia. Ini pun bisa mengindikasikan manusia Indonesia adalah manusia medioker, manusia setengah-setengah.

Setengah Manusia?

Pada dasarnya setiap manusia itu egosentris, tetapi hal ini penting untuk keselamatan (survival)-nya. Paham tentang manusia sebagai serigala bagi yang lain (homo homini lupus) seperti dikatakan Thomas Hobbes jelas terkait dengan kecenderungan dasar ini. Kecenderungan ini pulalah yang mendasari berbagai actus humanus.

Sebenarnya pula, kecenderungan dasar ini pulalah yang menciptakan dinamika hidup manusia. Jika manusia itu altruis atau tidak egosentris, sulit dibayangkan adanya dinamika politik dan bisnis.

Kecenderungan egosentris ini pun memungkinkan adanya pertandingan-pertandingan olahraga, termasuk sepak bola. Politik dan bisnis yang fair dan semangat sportivitas serta fair-play dalam olahraga adalah pengembangan actus hominis menjadi actus humanus. 
Hanya, egosentrisme yang berlebihan menciptakan segala macam masalah sosial. 
Keserakahan pada dasarnya adalah egosentrisme yang berlebihan itu. Korupsi dalam segala wujudnya adalah contoh paling transparan. Jelas, korupsi tidak bisa dikatakan sebagai actus humanus karena mengingkari kontrol nurani dan hidup bersama.

Menjadi makin jelas bahwa idealnya, egosentrisme manusia perlu dikelola supaya mendatangkan kebaikan, baik itu kebaikan si individu maupun kebaikan orang lain. Inilah yang disebut budaya sebagai actus humanus, yaitu mengelola kecenderungan natural manusia supaya manusia menjadi lebih manusiawi. 

Menatapkan cermin manusia Indonesia tadi pada idealitas ini bisa menggiring pada kesimpulan bahwa manusia Indonesia 2011 belum sungguh manusiawi. Manusia Indonesia 2011 belum sungguh berbudaya.

Kesimpulan ini pun bisa didukung dengan pengamatan singkat atas situasi karut marutnya jalan raya di Jakarta, masih berserakannya sampah di mana-mana, sungai-sungai yang kotor, dan banyaknya kerusakan lingkungan yang lain, serta juga masih terjadinya intoleransi di berbagai tempat.

Hukum Kuncinya

Siapa yang harus bertanggung jawab mengelola kecenderungan manusia itu? Setidaknya ada dua lembaga. Pertama adalah agama, yang kedua adalah negara. Peran agama adalah mengasah nurani dan memberi dorongan spiritual untuk pengelolaan diri dari dalam.

Melihat maraknya hidup beragama di Indonesia sebenarnya peran agama bisa dikatakan cukup. Hanya, menjadi pertanyaan besar mengapa Indonesia terasa jalan di tempat?
Dalam hal inilah perlu ditengok peran negara. Dalam konteks pembentukan budaya manusiawi, pemerintah berperan memberi bantuan eksternal pada manusia atau warganya.

Selain dengan fasilitas, pemerintah menyediakan hukum yang dibuatnya dan ditegakkannya. Di sinilah makna hukum sebagai sarana rekayasa sosial (tools of social engineering) dapat dipahami. Jika ternyata hasilnya manusia yang setengah-setengah, dapatlah dipertanyakan bagaimana hukum ini berfungsi.

Laporan the World Justice Project tentang Rule of Law Index 2011 juga “memotret” Indonesia sebagai negara medioker. Dari kedelapan faktor yang dinilai, sebagian besar mendapat nilai di kisaran 0,50 dan ada di peringkat sekitar 30-an dari 66 negara yang diteliti.

Bahkan, untuk indeks korupsi, Indonesia hanya mendapat 0,46, atau peringkat 47 dari 66. Di antara kedelapan faktor itu, yang peringkatnya paling bagus hanyalah pembatasan kekuasaan negara yang mendapat nilai 0,66 atau peringkat 22 dari 66.

Melihat cermin ini, dan digabungkan dengan cermin-cermin lain di atas, menjadi makin jelas hukum di Indonesia belum sungguh bisa berfungsi semestinya. Hukum Indonesia belum bisa “membentuk” wajah manusia Indonesia yang berbudaya. 

Karena itu, seharusnya, untuk 2012 penegakan hukum perlu mendapat perhatian lebih serius.

Jika tidak, segala macam resolusi, baik yang dilakukan pribadi maupun institusi, betapa bagusnya, hanya akan menjadi resolusi setengah hati, resolusi tanpa tulang, resolusi tanpa penyangga. Jika memang begitu, nanti di akhir 2012 Indonesia tetap saja menjadi negara medioker dan warganya tetap menjadi setengah manusia!

Saatnya Berbenah di Penghujung Tahun


Saatnya Berbenah di Penghujung Tahun
Said Aqil Siradj, KETUA PB NU
Sumber : REPUBLIKA, 31 Desember 2011


 "Hisablah diri kalian sebelum dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah untuk menghadapi hari penampakan yang agung."
(Umar bin Khattab RA)

Rasanya sudah menjadi tradisi di setiap penghujung tahun masyarakat selalu merayakannya. Di seluruh dunia akan berbinar dan bertaburan cahaya oleh "erupsi" kembang api dan berbagai model perayaan. Seolah ini sudah menjelma sebagai hajatan akbar yang berspektrum internasional. Tak terkecuali di negeri kita, hingga ke pelosok desa akan mudah kita jumpai gegap gempita selebrasi pergantian tahun.

Ya, banyak cara untuk merayakan ritual ini. Orang biasa membeli terompet kertas atau plastik untuk kemudian bersiap-siap meniupnya, jika jarum jam mendekati pukul 24.00 tanggal 31 Desember tahun lama, yang konon juga berarti pukul 00.00 tanggal 1 Januari tahun baru. Orang sangat beragam dalam cara dan acara perayaannya. Yang berjiwa bisnis memanfaatkan momen ini dengan menjual terompet dan produk lainnya. Mereka yang berkantong tebal biasanya menggelar acara-acara khusus menyambut tahun baru di hotel, klub malam, dan tempat mewah lainnya. Bagi mereka yang hidup sederhana, cukup buat acara sendiri dengan sesama teman atau bersama keluarganya.

Mengapa kita begitu hangar bingar merayakan tahun baru? Ada yang dengan sinis menyebut ritual tahunan ini merupakan hasil hegemoni Barat. Padahal, bagi umat Islam sendiri sudah mempunyai kalender Hijriah. Karenanya, mengapa harus turut serta dalam "hura-hura" kalender yang dibuat berdasarkan perhitungan Julius Cesar itu?

Lalu, orang menganggap sikap meniru-niru ini sebagai tasyabbuh. Ada hadis yang menyabdakan, "Barang siapa yang meniru-niru suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut." (HR Abu Dawud). Boleh-boleh saja berpendapat demikian. Akan tetapi, perdebatan tentang hal itu hanya akan menguras energi. Barangkali, lebih baik dan bijak kita kembali pada tuntunan keislaman yang substansial. Tahun baru bukan "ritual sakral" bagi umat Islam, melainkan hanya merupakan "ritual profan" yang bisa dijadikan sebagai momentum untuk peningkatan kesadaran manusia dalam menghadapi dinamika dunia yang terus melesak cepat ini.

Nah, bagi umat Islam, yang perlu diwejangkan adalah jangan sampai terjebak atau ikut-ikutan berhura-hura. Kebanyakan perayaan tahun baru selama ini menjadi ajang hura-hura. Alangkah baiknya, jika harta yang dihamburkan hanya untuk kesenangan itu digunakan untuk membantu mereka yang tengah membutuhkan atau ditimpa musibah. Apalagi, negeri kita tercinta saat ini tengah ditimpa banyak musibah di berbagai daerah, seperti gempa bumi, banjir, tsunami, tanah longsor, dan angin puting beliung. Belum lagi kemiskinan yang masih menjadi sengkarut fakta yang belum jua tuntas penyelesaiannya. Apakah tega kiranya kita sebagai satu bangsa ini lantas melupakan atau tak mau berempati terhadap penderitaan saudara-saudara kita itu? Harta dan kekayaan yang kita miliki jangan sampai mubazir alias digunakan hanya untuk hal-hal yang hanya bisa memberi kenikmatan sekejap saja. Alquran mengingatkan,"Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya." (Al-Isra':27).

Esok Harus Lebih Baik

Sebagian aktivis muslim menanggapi tahun baru Masehi dengan acara yang menurut mereka lebih sejuk. Yaitu, dengan menggelar acara zikir dan istigasah bersama pada malam tahun baru. Ramai-ramai mereka merenungi apa yang telah dilakukan pada hari-hari kemarin dan apa yang mesti direncanakan tahun depan.

Tentu saja, langkah yang demikian itu sangat baik dan dianjurkan. Umar bin Khattab pernah berkata,"Hisablah diri kalian sebelum dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah untuk menghadapi hari penampakan yang agung."

Dalam bermuhasabah ini sesungguhnya kita sedang mengorek-ngorek kedirian kita tentang apa yang sudah selama ini kita lakukan. Kita "membaca" perbuatan apa yang kita lakukan dalam mengisi hidup kita sehari-hari. Para ulama salaf selalu melakukan muhasabah dengan menuliskan apa yang diperbuatnya dalam keseharian menjelang mereka tidur. Ibnu Arabi, seorang sufi besar dari Andalusia, bahkan menuliskan apa saja yang membuatnya lupa kepada Allah dalam hari-harinya. Sehingga, dengan cara demikian bisa menjadi pengingat untuk tidak lagi melupakan Allah dalam kehidupannya, walau sedetik pun. 

Inilah cara terbaik untuk melakukan muhasabah, yakni dilakukan setiap waktu, setiap ia merasa telah melakukan kesalahan sekecil apa pun dan setiap kali ia telah selesai melakukan amal kebajikan. Tak perlu menunggu satu tahun, apalagi menunggu adanya acara muhasabah tahunan.
Dalam Alquran, bukankah Allah sendiri bersumpah dengan waktu? Dalam pepatah Arab dikatakan, waktu adalah pedang. Artinya, jika kita tidak hati-hati menggunakan waktu, kita sendiri yang akan binasa.

Karakteristik waktu adalah selalu bergulir dengan cepat, kerap tak terasa tiba-tiba kita sudah berada di petang hari. Alquran menyatakan,"Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia), melainkan (sebentar saja seperti di suatu waktu) di waktu sore atau pagi hari." (An-Naziat:46).

Waktu juga bersifat mustahil kembali. Kata Hasan al-Basri, "Tiada hari tanpa menyeru, 'Hai, anak Adam, aku adalah makhluk baru dan aku menjadi saksi terhadap amalmu. Maka, berbaik-baiklah denganku sebab jika aku sudah lewat, tak mungkin bisa kembali sampai hari kiamat.'"

Waktu merupakan kehidupan yang sebenarnya. Kata Hasan al-Basri lagi, "Hai anak Adam, sesungguhnya hidup kamu adalah himpunan hari-hari. Setiap hari milikmu itu pergi, berarti pergilah sebagian darimu."Demikianlah, bila kemudian kita gayutkan dengan kenyataan yang terjadi di negeri kita, banyaknya tragedi dan musibah yang kerap menerpa merupakan iktibar untuk menjadikan waktu ke depan dengan penuh kehati-hatian serta mempersiapkan cara yang tepat, efisien, dan lebih bermanfaat bagi hajat hidup rakyat.

Dalam hal ini, bagi para pengambil kebijakan perlu melakukan muraqabah, yakni dengan bersikap lebih cermat dan penuh kesadaran untuk membangun Indonesia masa depan yang lebih baik. Kita perlu selalu optimis dalam membangun negeri ini. Betapa pun banyak rintangan dan musibah yang datang, optimisme sepatutnya terus menyala-nyala. Optimisme ini dibangun dengan cara muhasabah dan muraqabah yang terus menerus sehingga jauh dari sikap keputusasaan.
   
Setiap hari adalah modal keselamatan setiap anak manusia. Tak bijak jika dilewatkan dengan hura-hura. Setiap hari harus dipersiapkan dengan baik. Setiap hari butuh semangat baru untuk hidup baru yang lebih baik. Setiap hari yang berlalu harus dihisab setiap hari. Untuk kemudian memperbaiki kesalahan hari ini agar hari esok lebih baik.

Mendung Membayangi Tahun Bertarung

Mendung Membayangi Tahun Bertarung
Zainal Arifin Mochtar, PENGAJAR ILMU HUKUM DAN DIREKTUR PUSAT KAJIAN ANTI KORUPSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA, YOGYAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 31 Desember 2011


Sesungguhnya, tidaklah terlalu sulit memetakan apa yang terjadi di wilayah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi pada 2011. Sebab, memang tidak banyak perubahan berarti yang diberikan negara ini jika dibanding 2010. Lihat saja prestasi yang dapat ditorehkan di wilayah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Sesungguhnya tidak banyak. Apalagi jika dikonversi dari semangat, iktikad, dan riuhnya ruang publik dengan penegakan hukum, khususnya di wilayah pemberantasan korupsi. Semisal Indeks Persepsi Korupsi pada 2010 yang naik 0,2 poin dari tahun sebelumnya. Pada 2011, kenaikan 0,2 poin juga terjadi. Bandingkan dengan semangat "kuda" yang mengecewakan dengan hasil "ayam".

Kenaikan yang hanya "kecil" ini sulit dipercayai jikalau dibaca bersamaan dengan berbagai pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan memimpin langsung pemberantasan korupsi, pembentukan berbagai satuan tugas dengan kerja-kerja yang dilakukan, unit kerja yang dipakai untuk memonitor secara langsung kerja kabinet negara, dan berbagai janji yang ditorehkan seiring dengan penggantian pemimpin penegakan hukum. Dengan langkah sedikit menyentuh perbaikan terhadap Imigrasi dan Bea Cukai, toh, kita sudah mendapatkan kenaikan poin 0,2 pada 2010. Maka artinya tidak banyak perbedaan dengan yang dilakukan pada 2011.

Miskin perbedaan ini boleh jadi juga diakibatkan oleh minimnya terobosan. Tercatat lembaga dan satuan tugas yang ada tidak banyak memberikan model terobosan yang berarti dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Terobosan yang paling berarti hanya berada di ujung 2011, yakni ketika pemerintah dengan tegas menyatakan pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat. Itu pun dilakukan secara agak teledor dan tidak secara jeli melihat basis aturan yang ada di balik kebijakan baru pengetatan tersebut. Hal yang menggambarkan bahwa kebijakan itu bukanlah by design, tapi terbentuk lebih banyak by accident oleh penentu kebijakan yang memang punya pemihakan yang jelas pada penegakan hukum antikorupsi. Kebijakan yang tidak terencana rapi, tapi terburu-buru karena semata ingin mengejar quick wins.

Selebihnya tidak banyak. Tahun 2011 malah mempertontonkan "meluruhnya" semangat penegakan hukum antikorupsi di balik "desentralisasi" Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah. Yang terjadi, bukannya penegakan hukum secara substantif di daerah, tapi kecurigaan publik terjangkitnya penyakit lama pengadilan umum ke Pengadilan Tipikor. Penyakit yang sangat rentan terhadap berbagai dampak yang ikut mempengaruhi putusan-putusan yang aneh dengan membebaskan pelaku-pelaku korupsi. Apalagi melihat masifitas pembebasan ini, sulit mempercayai bahwa tidak ada penyakit yang sedang hinggap di sistem peradilan dalam mekanisme penegakan hukum antikorupsi.

Dari segi pengungkapan perkara, masih melanjutkan tradisi tahun-tahun sebelumnya, yakni rajin melakukan pengungkapan, tapi gagap melakukan penyelesaian. Belum ada satu pun perkara yang dapat diselesaikan secara baik dengan mengejar semua pelaku, membawa ke dalam proses penegakan hukum, lalu memetakan kasusnya menjadi bagian dari rekomendasi perbaikan sistemik pencegahan peristiwa serupa terjadi di kemudian hari. Alih-alih membongkar perkara, yang terjadi malah pembuntuan penyelesaian perkara.

Maka, jika menggunakan barometer secara sederhana melalui capaian dan terobosan, harus dikatakan jujur jika kita masih berada di era mendung penegakan hukum. Hal yang mendatangkan elegi, semacam nyanyian sunyi bagi terpenuhinya keadilan yang diharapkan.

Momok Tahun 2012

Bahayanya, dengan berbagai catatan yang belum banyak terobosan dan capaian, kita sudah dipaksa memasuki 2012, yang sejujurnya teramat wajib diwaspadai. Seperti praktek selama ini, dua tahun menuju perhelatan akbar "perebutan" kekuasaan di negeri ini selalu diiringi dengan berbagai praktek politik yang sangat manipulatif dan mencoba mempengaruhi berbagai proses yang diharapkan dari penegakan hukum yang seharusnya substantif.

Jangan lupakan praktek banal partai politik yang mulai akan semakin masif mengakumulasi modal menjelang pemilihan umum. Praktek yang tentu saja membahayakan karena tahun-tahun sebelumnya kita masih gagal melakukan penegakan hukum untuk mengejar praktek-praktek buruk perampasan uang negara oleh partai. Belum ada perkara yang selesai dan dapat menjinakkan tradisi banal perampokan uang negara tersebut. Pada saat yang sama, berharap dilakukan perbaikan aturan dasar untuk mencegah praktek perampokan uang negara oleh partai persis "menunggu godot". 

Mereka jauh lebih riuh memperdebatkan soal threshold dibanding keinginan membangun pemilu yang benar-benar bersih, sehingga partai politik tidak "dipaksa" melakukan pembiayaan atas pesta demokrasi yang berbiaya mahal.

Bukan hanya upaya memanen uang negara, kemungkinan besar juga terjadi upaya memanen dukungan publik dengan memanipulasi penegakan hukum. Semua kasus korupsi yang berdimensi atau bersinggungan secara langsung ataupun tidak langsung dengan politik akan mengalami perubahan orientasi penyelesaian hukum menuju penyelesaian politik. Kasus-kasus mega yang berdimensi semakin besar karena partai-partai akbar akan kembali masuk ke agenda partai politik untuk memainkannya demi memperoleh dukungan atau bargaining kekuatan politik. Tanpa bermaksud meramalkan, tapi kasus-kasus semisal Century, mafia pajak, dan mafia anggaran kemungkinan besar hanya akan menjadi penghias media massa serta konsumsi politik tanpa diikuti dengan penyelesaian hukum.

Mudah menduga bahwa kasus-kasus tersebut akan dijadikan alat untuk mendulang suara dukungan, atau malah dijadikan alat tawar-menawar menuju perhelatan politik. Dengan pengedepanan barometer politik, lembaga penegakan hukum akan sulit bergerak dengan cepat dan tepat, karena pada saat yang sama beberapa bagian dari lembaga penegakan hukum punya sangkut-paut dengan kekuasaan politik.

Tentu saja sebuah catatan dibuat dengan maksud. Tiada maksud untuk membangun pesimisme dengan menegasikan semangat untuk optimistis. Tapi penting untuk mengingatkan karena dari sinilah kita akan punya early warning system bahwa kita sudah punya pengalaman pada masa lalu yang seharusnya kita tidak terjebak lagi pada lubang yang sama pada tahun kemudian. Semacam penanda dan pengingat bahwa jika mendung dan akan hujan, selayaknya kita segera menyediakan payung. Semoga ada semangat untuk membuktikan bahwa kita punya semangat baru untuk melakukan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi pada tahun baru ini. Semoga!