Senin, 31 Oktober 2011

Kerancuan Wakil Menteri (1)



Kerancuan Wakil Menteri
Yusril Ihza Mahendra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : SINDO, 31 Oktober 2011




Dua minggu lalu, Presiden SBY telah resmi mengumumkan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Satu hal yang menarik perhatian masyarakat ialah banyaknya wakil menteri yang diangkat dalam kabinet hasil reshuffle ini.

Dari 34 menteri anggota kabinet, setelah reshuffle jumlah wakil menteri kini bertambah dari 6 menjadi 19 orang. Ini berarti jumlah wakil menteri melebihi separuh jumlah menteri. Bagaimanakah kedudukan wakil menteri ini dalam sistem ketatanegaraan kita dan akan makin efektifkah jalannya pemerintahan dengan keberadaan 19 wakil menteri itu? Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengatakan bahwa presiden dibantu oleh menterimenteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 tentang Kementerian Negara menyebutkan bahwa dalam hal beban kerja yang memerlukan penanganan khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu. Penjelasan pasal ini mengatakan bahwa yang dimaksud wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet. Selanjutnya Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 mengatakan bahwa wakil menteri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. Inilah aturan-aturan yang terkait dengan jabatan wakil menteri itu.

Kerancuan

Dalam sejarah kabinet presidensial di negara kita, hanya dalam kabinet RI pertama yang dibentuk tanggal 5 September 1945 yang memiliki wakil menteri. Kabinet pertama itu terdiri atas 12 menteri, 5 menteri negara, dan 2 wakil menteri.Wakil menteri yang ada pada waktu itu hanyalah wakil menteri dalam negeri dan wakil menteri penerangan. Kedudukan dua wakil menteri itu jelas karena namanya dicantumkan dalam daftar anggota kabinet yang dipimpin oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Di era pemerintahan presidensial setelah Dekrit Presiden (1959–1966) dari Presiden Sukarno hingga kabinet pertama yang dibentuk Presiden SBY (KIB I), jabatan wakil menteri tidak ada walau belakangan Presiden SBY mengangkat satu orang wakil menteri, yakni wakil menteri luar negeri. Kalau kedudukan wakil menteri dalam kabinet kita yang pertama (1945) adalah jelas, maka tidak demikian halnya dengan kedudukannya di dalam KIB II Presiden SBY. Penulis pada awalnya mewakili Presiden SBY membahas RUU Kementerian Negara yang inisiatifnya berasal dari DPR.

Namun di tengah jalan, penulis diberhentikan sebagai mensesneg sehingga pembahasan RUU ini diteruskan oleh mensesneg yang baru,Hatta Radjasa,serta Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalata hingga selesai. Dalam RUU Kementerian Negara, jabatan wakil menteri itu tidak ada. Dalam KIB I, Presiden SBY pernah mendiskusikan secara informal kepada penulis tentang perlunya mengangkat wakil menteri pada Kementerian Luar Negeri mengingat menlu sering berada di luar negeri.

Dalam pikiran penulis waktu itu, wakil menteri itu adalah anggota kabinet sebagaimana halnya wakil menteri dalam kabinet pertama RI tahun 1945.Namun,apa yang penulis pikirkan itu ternyata berbeda dengan penjelasan Pasal 70 UU No 39 Tahun 2008 yang penyelesaiannya dilakukan oleh Mensesneg Hatta Radjasa dan Menkumham Andi Mattalata. Norma undang-undang sebenarnya adalah apa yang tertera di dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Fungsi penjelasan undangundang tidaklah lebih dari sekadar menjelaskan saja apa yang dimaksud oleh norma yang diatur di dalam pasal sehingga dimengerti maksudnya.

Penjelasan undangundang tidak boleh memuat norma baru atau norma tersendiri yang tidak diatur di dalam pasal-pasal undangundang tersebut. Ini sebuah kesalahan, baik oleh DPR maupun Presiden,dalam membahas RUU Kementerian Negara tersebut.Pasal 10 UU No 39 Tahun 2008 itu hanya memuat norma bahwa presiden dapat mengangkat wakil menteri. Istilah wakil menteri membawa pengertian pejabat tersebut memang mewakili menteri dalam hal-hal menangani hal-hal khusus di kementerian itu.

Ketika menterinya berhalangan, maka wakil menteri itulah yang mewakili menteri yang bersangkutan hadir dalam rapat-rapat kabinet, DPR, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Karena itu wakil menteri seharusnya adalah anggota kabinet, sebab mereka diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas inisiatif presiden sendiri dan bukan inisiatif atau sekurang-kurangnya atas usul menteri yang bersangkutan. Namun penjelasan Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 itu mengatakan bahwa wakil menteri itu adalah pejabat karier dan bukan anggota kabinet.

Dari sinilah muncul kerancuan kedudukan wakil menteri itu. Kerancuan di atas itu makin bertambah dengan Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 47 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 yang mengatakan bahwa wakil menteri berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. Di satu pihak wakil menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden, tetapi di lain pihak berada di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri.

Sementara wakil menteri itu bukan diusulkan oleh menteri yang bersangkutan, tetapi murni inisiatif presiden. Jadi seorang menteri dapat difait accompli oleh presiden untuk menerima seseorang menjadi wakilnya dan tidak dapat memberhentikan wakil menteri karena dia diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Pasal 70A Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011 menambahkan lagi bahwa hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi wakil menteri diberikan setingkat dengan jabatan struktural eselon Ia. Meskipun mendapat hak keuangan dan fasilitas setingkat eselon Ia, wakil menteri itu bukanlah pejabat eselon Ia.

Wakil menteri bukanlah pejabat struktural birokrasi. Kalau demikian, apa makna bahwa wakil menteri adalah pejabat karier sebagaimana disebutkan dalam Pasal 70 ayat (1) Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011? Pejabat karier adalah pejabat birokrasi, baik sipil maupun TNI dan Polri, yang menduduki jabatan karier secara berjenjang. Jabatan itu diraih seseorang secara berjenjang, berdasarkan kepangkatan dan urutan eselon jabatan.

Untuk menduduki jabatan dalam eselon tertentu, seorang pegawai negeri harus memiliki kepangkatan tertentu, tidak sembarangan.Tidak mungkin pegawai golongan III menjadi pejabat eselon I. Lantas, bagaimana dengan sejumlah akademisi yang kini menjadi wakil menteri, apakah mereka punya kepangkatan yang sesuai untuk itu,kalau jabatan wakil menteri adalah jabatan karier?

Kasus Denny Indrayana

Denny Indrayana misalnya adalah pegawai negeri sipil golongan III/C dengan jabatan fungsional sebagai guru besar di Universitas Gadjah Mada. Denny tidak menduduki jabatan struktural apa pun di Fakultas Hukum UGM, baik ketika diangkat menjadi staf khusus presiden atau apalagi ketika diangkat menjadi wakil menteri.

Jadi, kalau jabatan wakil menteri adalah jabatan karier, maka jenjang karier apakah gerangan yang dimiliki oleh Denny Indrayana sebelum diangkat menjadi wakil menteri? Sebelum Peraturan Presiden No 47 Tahun 2009 diubah dengan Peraturan Presiden No 76 Tahun 2011, dalam Pasal 70 ayat (3) disebutkan bahwa wakil menteri itu haruslah pejabat yang telah menduduki jabatan eselon Ia. Namun ketentuan ini dihapuskan tanpa mengubah ketentuan-ketentuan yang lain.

Guru besar Fakultas Hukum UI Professor Hikamahanto Juwana dan politikus PDIP Firman Jaya Daeli mengatakan perubahan tergesa-gesa terhadap Pasal 70 ayat (3) Peraturan Presiden No 49 Tahun 2009 itu memang sengaja dilakukan untuk memberi jalan bagi diangkatnya Denny Indrayana dan mungkin juga nama yang lain yang sebelumnya tidak memenuhi syarat menjadi wakil menteri. Pendapat kedua tokoh ini tampak ada benarnya. Profesor Hikmahanto malah mengatakan bahwa hukum yang dibuat dengan cara seperti itu tidak semestinya dipatuhi.

Presiden tentu kapan saja berwenang mengubah peraturan presiden.Presiden SBY tampaknya menganut paham bahwa hukum dibuat untuk manusia, bukan manusia dibuat untuk hukum.Jadi kalau ada norma hukum yang menghalangi maksud tertentu, misalnya untuk mengangkat Denny Indrayana jadi wakil menteri,maka hukum itu tentu dapat saja diubah. Begitulah kira-kira pikiran yang ada di benak Presiden SBY.Tidak salah, memang, tetapi terkesan menggelikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar