Rabu, 23 November 2011

Amerika dan Sekutu Islamis


Amerika dan Sekutu Islamis

Brahma Chellaney, GURU BESAR STUDI STRATEGI PADA CENTER FOR POLICY RESEARCH DI NEW DELHI
Sumber : KORAN TEMPO, 23 November 2011



Menyusul tewasnya Muammar el-Qadhafi, pemerintah sementara Libya mengumumkan telah“ dibebaskannya” negeri itu dan akan diterapkannya sistem pemerintahan berdasarkan syariah (hukum Islam) menggantikan kediktatoran sekuler yang diterapkan Qadhafi selama 42 tahun di Libya. Digantikannya satu bentuk otoriterianisme dengan bentuk otoriterianisme lainnya tampaknya merupakan imbalan yang kejam setelah selama tujuh bulan NATO melancarkan serangan udara di Libya atas nama demokrasi.

Sebenarnya, negara-negara Barat yang mewujudkan perubahan rezim di Libya tidak banyak berupaya mencegah penguasa yang baru itu membentuk teokrasi di negeri itu. Tapi inilah harga yang harus dibayar Barat sebagai imbalan atas hak khusus yang mereka peroleh untuk memilih pemimpin baru negeri itu. Sebenarnya, baju Islami yang dikenakan para pemimpin baru itu membantu melindungi kredibilitas mereka. Jika tidak, mereka mungkin akan dianggap sebagai boneka negara-negara asing.

Karena alasan yang sama, Barat juga telah membiarkan para penguasa negara-negara
kaya minyak di kawasan ini beraliansi dengan kelompok-kelompok agama yang radikal. Misalnya, dinasti Saudi yang dekaden dan dibantu Amerika Serikat itu tidak hanya menerapkan Islam Wahabi—sumber fundamentalisme modern Islam—tapi juga mengekspor bentuk keyakinan tidak terkendali yang lambat-laun mematikan tradisi
Islam yang lebih liberal. Ketika Putra Mahkota Saudi itu meninggal baru-baru ini, merika berdiam diri, sementara keluarga penguasa negeri itu menunjuk tokoh Islamisnya yang paling reaksioner sebagai ahli waris takhta kerajaan yang baru.

Begitu intrinsiknya raja-raja Arab ini bagi kepentingan Amerika sehingga Washington
tidak berhasil menghentikan rajaraja yang tertutup itu mendukung kelompok-kelompok muslim ekstremis di negeri-negeri lain. Dari Afrika sampai Asia Selatan dan Tenggara, petrodollar Arab telah memainkan peran utama dalam mengobarkan fundamentalisme militan Islam yang menjadikan Barat, Israel, dan India sebagai musuh-musuh kepentingan Amerika dalam mempertahankan rezim-rezim kaya minyak yang mudah dipengaruhi ini mengalahkan segalanya.

Dengan bantuan Barat, raja-raja minyak ini, bahkan yang paling kejam di antara mereka, berhasil melewati gelombang kebangkitan Musim Bunga Arab nyaris tanpa
cedera. Bagi AS, negara-negara yang bergabung dalam Dewan Kerja Sama Teluk
—Arab Saudi,Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, dan Oman—merupakan negara-negara yang penting juga karena alasan geostrategis. Setelah menarik mundur pasukan-pasukannya dari Irak, AS tengah mempertimbangkan Kuwait sebagai titik sentral militer yang baru dalam memperluas kehadiran militernya di kawasan Teluk Persia dan membangun “arsitektur keamanan”pimpinan AS yang akan mengintegrasikan unsur-unsur patroli laut dan udaranya di kawasan ini.

Perubahan rezim dengan bantuan NATO di Libya, yang memiliki cadangan minyak jenis light sweet terbesar di dunia yang digandrungi kilang-kilang minyak di Eropa, bukan soal mengusung era baru demokrasi liberal. Libya yang baru “dibebaskan” ini menghadapi masa-masa yang tidak menentu. Satu-satunya unsur yang pasti adalah bahwa para penguasa baru negeri itu bakal terus merasa berutang budi kepada mereka yang telah membantu menempatkan mereka pada tampuk kekuasaan. Senator AS John McCain sudah mengumumkan bahwa penguasa baru Libya ini “bersedia mengembalikan kepada kita dan sekutu-sekutu kita”semua ongkos yang dikeluarkan
untuk mewujudkan perubahan rezim itu.

Hubungan Amerika yang mencemaskan dengan para penguasa dan kelompok Islamis
ini mulai dikukuhkan pada 1980-an ketika pemerintahan Reagan menggunakan Islam sebagai alat ideologis untuk mendorong perlawanan bersenjata melawan tentara pendudukan Soviet di Afganistan. Pada 1985, dalam suatu upacara di Gedung Putih yang dihadiri beberapa orang pemimpin mujahidin—pejuang-pejuang jihad yang kelak berkembang menjadi Taliban dan Al-Qaidah—Reagan menoleh ke arah para tamunya dan berkata, “Tuan-tuan, ini merupakan cerminan moral dari bapak-bapak pendiri merika.”

Namun pelajaran yang bisa ditarik dariperjuangan anti-Soviet di Afganistan sudah dilupakan, termasuk pentingnya fokus pada tujuan jangka panjang, bukan pada kemenangan jangka pendek. Upaya pemerintah Obama sekarang untuk mengadakan perdamaian dengan Taliban, misalnya, tidak menghiraukan pengalaman Amerika sendiri akibat mengikuti kepentingan sesaat.

Pelajaran lainnya yang juga tidak dihiraukan adalah pentingnya kehati-hatian dalam melatih pejuang-pejuang Islamis dan mengucurkan senjata-senjata yang mematikan kepada mereka guna membantu menggulingkan suatu rezim. Di Libya, upaya menempatkan berbagai kelompok pemberontak ke bawah kendali pemerintah bakal terbukti sulit, dan berpotensi menciptakan suatu benteng jihadis di pintu masuk Eropa selatan.

Eksponen-eksponen kebijakan AS berargumentasi bahwa dalam peperangan kadang-
kadang memang perlu memilih mana yang lebih baik dari dua pilihan yang buruk. Sekutu-sekutu yang kurang berkenan di hati—dari milisi Islamis sampai rezim yang membiayai fundamentalisme Islam militan di luar negeri—mungkin harga tak terhindarkan yang harus dibayar demi kepentingan yang lebih besar.

Paradoksnya, kebiasaan AS menopang penguasa-penguasa Islamis yang mudah dikendalikan di Timur Tengah sering mengakibatkan sentimen anti-AS yang kuat serta dukungan kepada kekuatan-kekuatan yang “murni”Islamis.Ketika diadakan pemilihan umum, kelompok-kelompok Islamis yang otonom inilah yang merebut kemenangan, seperti yang terjadi di Gaza dan Tunisia.

Upaya melawan terorisme Islamis hanya bisa berhasil jika negara-negara tidak memperkuat bentuk-bentuk fundamentalisme Islamis yang menganjurkan kekerasan
atas nama agama. Sayangnya, dengan pelajaran dari masa lalu yang tidak dihiraukan
AS ini, sekali lagi kelompok-kelompok ekstremis ini siap memberi pukulan.
HAK CIPTA: PROJECT SYNDICATE, 2011.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar