Senin, 28 November 2011

Ironi Kehidupan di Timika


Ironi Kehidupan di Timika

Jozep Ojong, DOKTER YANG BERTUGAS DI PAPUA SEJAK 1983, KINI MENETAP DI TIMIKA
Sumber : SINAR HARAPAN, 26 November 2011


Ketika seseorang berkata dia tinggal di Timika, yang pertama terlintas di benak penulis adalah Freeport. 

Memang Kota Timika identik dengan Freeport, perusahaan Amerika Serikat yang mengelola tambang tembaga dan emas raksasa kaliber dunia, dan Timika memang timbul karena kehadiran perusahaan tersebut. Produk Domestik Bruto Kabupaten Mimika hampir seluruhnya (96 persen) bergantung dari Freeport.

Kehadiran perusahaan tersebut jelas tampak begitu mendarat di Bandara Internasional Mozes Kilangin, Timika. Sejumlah pesawat dan helikopter berlogo Airfast milik perusahaan itu tampak di landasan, siap menerbangkan para karyawan perusahaan ke berbagai penjuru di Nusantara saat cuti.

Kota tujuan itu bisa Manado, Ambon, Ujung Pandang, Denpasar, Surabaya, Solo, dan Jakarta, maupun sejumlah tujuan di pedalaman Papua, maupun Jayapura dan Biak.

Bandara tersebut dibangun dan dimiliki Freeport lengkap dengan prasarana dan sarana bandara internasional. Pesawat B 737 Garuda, Merpati yang menggunakan mesin jet maupun pesawat baling-baling milik Trigana, Susi Air, MAF, dan AMA, semua bergantung pada pengisian avtur milik Freeport.

Kantor Imigrasi, Kesehatan Pelabuhan, dan berbagai konter penerbangan dibangun Freeport. Di sebelah bandara pun hadir hotel berbintang yang dibangun Freeport.

Keluar dari kompleks bandara akan tampak banyak kendaraan bernomor lambung milik perusahaan, baik jenis LV Toyota, bus penumpang warna oranye, maupun trailer raksasa.
Bila menuju ke Kota Kuala Kencana, kota yang penghuninya para karyawan, kita akan melintasi jalan beraspal kualitas tinggi yang dibangun perusahaan. Dalam perjalanan ke Kuala Kencana akan terlihat kantor-kantor pemerintahan, perumahan DPR, kantor DPR, Gereja Katedral, rumah sakit modern bagi masyarakat, dan tangsi tentara dan polisi, yang sumber dananya tidak lepas dari peran perusahaan.

Praktis hampir seluruh hasil pembangunan di Timika ada kaitannya dengan Freeport. Pelabuhan Pomako, tempat bersandarnya kapal-kapal Pelni dan kapal barang dari Jawa, juga dibangun dengan bantuan dari perusahaan.

Memang Freeport telah hadir sejak 1969 di bumi Mimika, sebab itu logis bahwa berbagai aspek pelayanan umum sejak awal didukung perusahaan, seperti pelayanan kesehatan melalui puskesmas, pendidikan melalui sekolah, pelayanan pemerintah di kantor kecamatan beserta program transmigrasinya, maupun pembangunan gerejanya.

Awal Mula Timika

Awal 1980-an,Timika hanyalah kecamatan kecil dengan kelompok-kelompok permukiman. Orang Papua yang bermigrasi dari pegunungan menetap di Desa Kwamki Lama, sedangkan para pendatang menetap di pusat Kecamatan Timika, tempat mereka membangun rumah, toko, hotel, pasar, sekolah, puskesmas, tempat ibadah, dan sebagainya.

Saat itu tidak ada tata kota dalam membangun Timika. Beberapa kilometer dari kota kecamatan ada beberapa Satuan Permukiman (SP), tempat para transmigran yang didatangkan dari Jawa sejak awal 1980-an menetap, seperti SP1, SP2, SP3, dan SP4.
Waktu itu tidak ada yang menyangka kota kecamatan kecil berpenduduk hanya beberapa ratus orang di kemudian hari bisa menjadi daya tarik bagi puluhan ribu pendatang yang mengadu nasib mencari nafkah.

Saat itu para pendatang dalam memperoleh sepetak tanah ukuran 1.000 m2 hanya perlu bernegosiasi dengan tokoh adat untuk pelepasan hak ulayat tanah adat dengan membayar ala kadarnya, lalu sudah dapat mulai mematok batas tanahnya dan mulai membangun rumahnya.
Itulah uniknya Timika, kota yang timbul dalam kurun waktu singkat dari kota kecamatan berpenduduk sekian ratus pada awal 1980 dan mencapai 100.000 dalam kurun waktu 20 tahun. Gelombang migrasi terjadi beberapa kali.

Gelombang awal migrasi terjadi setelah gejolak kerusuhan di Papua tahun 1977 dengan eksodusnya orang suku Amungme dari pegunungan, kemudian dilanjut dengan para transmigran tahun 1980-an.

Migrasi besar kedua terjadi setelah ditetapkan Kabupaten Administratif Mimika 1996 dengan para pendatang dari Sulawesi, Flores, dan Kepulauan Kei bersama suku-suku Papua pegunungan lain, seperti suku Dani, suku Me, dan suku Damal.

Gelombang migrasi terbesar terjadi pada 2000-an bersamaan terjadi konflik di Ambon, lepasnya Timor Timur, dan pascakrisis moneter, yang sebagian besar datang berasal dari Jawa. Mereka tiba dengan pesawat udara maupun kapal laut. Dengan begitu, di Timika dapat ditemukan berbagai suku yang ada di Indonesia yang membaur dengan orang-orang Papua.
Tidak sampai lima tahun kemudian, seiring perkembangan pesatnya, kabupaten administratif ini ditingkatkan statusnya menjadi kabupaten definitf, jadi usia kabupaten Mimika hasil pemekaran dari Kabupaten Fakfak relatif masih muda dengan Timika sebagai kota utamanya.

Dampak Migrasi

Akibat pertumbuhan penduduk yang beratus-ratus persen, infrastruktur Kecamatan Timika kewalahan. Listrik yang sebelumnya hanya untuk beberapa ratus rumah tidak lagi memadai bagi kebutuhan kota kabupaten, demikian juga jaringan telepon, kunjungan puskesmas membeludak, daya tampung sekolah melebihi kapasitas, dan beban kerja di berbagai kantor pemerintah meningkat pesat.

Dampak pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi yang sebagian besar adalah para pencari kerja akhirnya mengakibatkan tingginya angka pengangguran, karena pada umumnya para pencari kerja ini tidak memiliki keterampilan.

Tukang ojek pun pekerjaan paling mudah selain prostitusi. Penyakit HIV yang sebelumnya tidak dikenal pada tahun sebelum 2000, kini menjadi tertinggi di Papua dan Indonesia.
Masuknya prostitusi diikuti ekses negatif lain, seperti bebasnya peredaran minuman keras, perjudian, dan narkoba. Pencurian makin marak terutama barang perusahaan baik yang berupa bahan makanan, alat-alat perkantoran, mesin-mesin perusahaan, maupun emas.

Di Timika dapat dengan mudah membeli barang-barang yang berasal dari perusahaan dengan harga miring. Hutan pun menjadi lahan uang baik karena tingginya permintaan kayu untuk perumahan. Uang dengan mudah diperoleh bagi yang jeli melihat peluang, berani menempuh segala risiko, dan dapat mengatur hukum.

Akibat tingginya peredaran uang, baik dari makin banyaknya keluarga karyawan yang menetap di Timika maupun dari berbagai bisnis yang timbul dengan kehadiran perusahaan, harga barang-barang menjadi mahal.

Akibat tidak terkejarnya kenaikan biaya hidup, semua bercita-cita menjadi karyawan perusahaan walau hanya sebagai petugas kebersihan. Sebagai ilustrasi, gaji petugas cleaning service di Freeport dapat mencapai Rp 10 juta sebulan.

Bisnis Emas

Sejak awal beroperasinya perusahaan ini, hasil tailing yang mengalir ke laut tidak pernah terpikir untuk didulang, namun dengan datangnya orang dari Jawa, profesi pendulang marak berkembang.

Awalnya, hanya orang Papua yang boleh mendulang, namun seiring dengan makin tingginya pengangguran di Timika, kini para pendatang pun mendulang di sepanjang kali yang mengalirkan sisa pembuangan pabrik Tembagapura yang terletak 100 kilometer ke hulu.

Hasilnya lumayan untuk ukuran penganggur, dapat mencapai 10 gram sehari bagi yang mahir. Pendulang kini menjadi primadona mata pencarian penganggur, dan bisa jadi jumlah pendulang kini sama jumlahnya dengan separuh para karyawan Freeport.

Bisnis toko-toko emas di Timika pun bertebaran untuk menampung emas-emas itu. Perputaran emas di Timika dapat mencapai 10 kg sehari di toko-toko emas bila jumlah pendulang sebanyak itu.

Kini perusahaan ini bukan saja menjadi tempat pemberi kerja bagi mereka yang ahli dan terampil, namun juga bagi mereka yang tidak terampil. Merekalah yang menggerakkan roda kehidupkan Kota Timika dan Kabupaten Mimika.

Timika bagaikan gula yang menjadi daya tarik bagi semut-semut dari seluruh Nusantara. Kini, bisa jadi penduduk Timika sudah melebihi sensus resmi kependudukan yang mencapai 200.000 jiwa.

Sisi Ironis

Namun gemerlapan uang yang beredar di Timika hanya bagai kilauan bagi para pegawai negeri, transmigran, tukang ojek, dan orang Papua yang termarginalkan.

Para petani di permukiman transmigrasi akhirnya tergoda meninggalkan mata pencarian mereka karena hasil perolehan pekerjaan lain lebih menjanjikan. Bidang pertanian dan perkebunan menjadi tidak menarik lagi. Terjadilah kenaikan harga sayur-mayur.

Tingginya biaya kehidupan menyebabkan para PNS juga terpaksa mencari pekerjaan tambahan yang berakibat tidak optimalnya roda pemerintahan. Orang Papua menjadi termarginalkan dan terjadilah potensi gejolak konflik sosial yang menjelaskan mengapa di Timika sering terjadi berbagai konflik kepentingan.

Para pendatang baru yang tidak mempunyai tabungan akan hidup dalam kemiskinan, dan para karyawan tempat-tempat usaha kecil dan toko-toko setempat harus hidup ala kadarnya.
Namun dari segi Pendapatan Asli Daerah untuk Mimika dan Papua, baik dari retribusi, royalti, maupun pajak sangat meningkat pesat. Kabupaten Mimika kini menjadi kabupaten terkaya di Papua.

Kini dengan adanya pemogokan karyawan yang berakibat pada terhentinya produksi tambang praktis segala aspek kehidupan Timika mulai redup, dan ini juga berdampak pada perekonomian di Papua. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar