Senin, 28 November 2011

Media di Arena Politik


Media di Arena Politik

Firman Noor, PENELITI PADA PUSAT PENELITIAN POLITIK LIPI
Sumber : REPUBLIKA, 26 November 2011



Penguasaan media massa dalam dunia politik merupakan persoalan krusial. Keberadaanya sedikit banyak akan terkait erat masalah komunikasi politik yang dalam bentuk konkretnya mencakup persoalan, seperti pembentukan citra, penggiringan opini, counter opinion, hingga dalam bentuk negatifnya adalah kampanye hitam atau pembunuhan karakter (character assassination) lawan politik.

Dalam dunia politik modern, peran penguasaan media merupakan perangkat pemenangan pemilu yang tidak dapat lagi diabaikan. Penggunaan media sebagai 'senjata politik' telah dikembangkan secara lebih modern sejak tiga dekade awal abad ke-20, termasuk oleh gerakan Fasisme di Jerman dan Italia yang sejak awal telah sadar arti penting media komunikasi dalam pembunuhan karakter lawan dan pembangunan citra. Dalam perjalanannya setidaknya di akhir 1980-an, dunia politik khususnya terkait dengan pemenangan pemilu telah menempatkan media massa sebagai suatu icon yang amat menentukan.

Sejak itu, perangkat media telah makin dikembangkan dengan demikian canggih dan memberikan manfaat yang tidak sedikit bagi mereka yang dapat dengan cerdas menggunakannya. Dewasa ini, diyakini bahwa kemenangan Tony Blair, Gerhard Schroeder, dan belakangan Barack Obama bagi sementara orang adalah kemenangan politik citra hasil dukungan dan penguasaan media massa.

Media massa menjadi kebutuhan penting karena pertarungan politik dalam alam demokrasi kontemporer semakin membutuhkan kompetensi memengaruhi lebih banyak lagi manusia dalam waktu yang kerap terbatas dan amat kompetitif. Keunggulan penguasaan media terletak dari kemampuannya yang dapat menjangkau khalayak dengan lebih masif, relatif intens, dan privat.

Media pertelevisian, misalnya, mampu menembus dinding-dinding kamar pemirsanya tanpa halangan. Dengan intensitas 'pengiklanan politik' yang tinggi bukan tidak mungkin pada akhirnya partai atau orang akan memengaruhi pandangan dan pilihan seseorang.

Secara umum, keberhasilan memengaruhi pandangan sendiri jelas sudah merupakan sebuah capaian penting. Hal ini mengingat dalam dunia politik, yang kerap berarti seni meyakinkan orang, berhasil memenangkan persepsi sudah setengah kemenangan.

Dalam konteks Tanah Air, studi kuantitatif Liddle dan Mujani (Mietzner and Aspinall, 2010) menopang arti penting peran media terutama iklan kampanye dalam pemilu. Penelitian mereka menyiratkan bahwa penentuan pilihan politik rakyat saat ini turut dibentuk oleh politik pencitraan dan persepsi politik mereka yang dikembangkan oleh media.

Bukan Jaminan

Namun demikian, penguasaan media tidak selamanya menjamin kesuksesan pemilu. Apalagi, jika menjadi nomor satu adalah patokannya. Kasus Pemilu 2009, misalnya, menunjukkan tidak terlalu meyakinkannya korelasi antara pemakaian media massa khususnya iklan politik dan capaian politik. Menurut catatan AGB Nielsen, Partai Golkar adalah partai terbesar dalam belanja iklan, namun posisinya kalah dari Partai Demokrat sebagai pembelanja iklan politik terbesar kedua.

Sementara itu, kasus Gerindra lebih buruk. Sebagai partai dengan belanja iklan politik terbesar ketiga, Gerindra hanya mendapatkan kursi terbanyak kedelapan, kalah bahkan oleh PPP dan PKB yang tidak terlalu gencar beriklan dan memiliki penguasaan media yang minim. Pada level perorangan, pengalaman seorang pimpinan nomor satu partai yang rajin beriklan dan tokoh partai besar yang bahkan menguasai jaringan media massa juga menunjukkan hasil yang sama.

Hasil di atas, terutama dalam kasus Gerindra, ditangkap dengan baik oleh penelitian tiga lembaga politik P2P-LIPI, CSIS, dan LIP-FISIP UI tahun 2009 mengisyaratakan bahwa pemahaman dan tingkat simpati sesorang tidak berarti linear dengan pilihan yang dijatuhkan. Artinya, media penciptaan perspesi politik, termasuk iklan politik melalui media massa, cukup efektif pada level 'memengaruhi persepsi', namun bukan pada 'jatuhnya pilihan'. Dengan demikian, daya ingat publik terhadap partai atau secara teoritis kerap disebut reification (Randall and Svansand, 2002) merupakan hal yang penting, namun hal ini pada akhirnya tidak harus menentukan pilihan seseorang.

Namun demikian, harus diakui memang ada kelebihan bagi para pemilik media bahwa mereka dapat menekan biaya iklan politik itu. Dan, bahkan mereka dapat dengan lebih leluasa mengembangkan wacana dan menyembunyikan hal-hal yang akan merugikan partainya.

Meski demikian, perlu diingat bahwa masyarakat pembaca politik telah semakin cerdas. Mereka semakin tidak mudah dijejali begitu saja dalam menelan pesan politik. Bahkan, pilihan atau penolakan mereka terhadap sebuah media kerap juga didasari oleh pengetahuan mereka tentang siapa di balik media itu. Hal ini ditambah oleh skeptisisme yang menanjak di kalangan masyarakat dalam melihat janji politik. Intinya, kemampuan memilih dan memilah berita masyarakat dewasa ini dan ke depan semakin besar.

Di sisi lain, media saingan pun tidak akan tinggal diam dan tentu akan rajin pula melakukan pembangunan wacana dan kontrawacana. Dalam situasi seperti ini, upaya memengaruhi opini dan pilihan politik masih merupakan tantangan besar tersendiri bagi partai politik meski dia telah mengamankan atau menguasai sebuah media massa.

Hal yang pasti, belajar dari pengalaman efek iklan politik dan kenyataan bahwa seorang pemiliki media sekali pun tidak dapat menjamin keberhasilan politiknya di hadapan masyarakat, partai politik hendaknya tidak perlu merasa puas dengan telah dikuasainya media. 

Yang Berperan Penting

Perlu diperhatikan pula bahwa proporsi swing voters (pemilih mengambang) dalam pemilu di Indonesia tetap besar. Tidak sedikit pilihan mereka jatuh hanya dalam hitungan bulan, minggu, atau bahkan hari. Dalam situasi di mana ceruk suara dari pemilih mengambang tetap terbuka lebar, dibandingkan para pemilih loyal, kerap kerja-kerja tahunan berpotensi menjadi berantakan terutup dengan perkembangan cepat politik yang terjadi. Di sinilah letak penting dari fleksibilitas konten politik dan cara pendekatan pada khalayak.

Partai atau caleg hendaknya dapat dengan cerdas menangkap atmosfer atau mood masyarakat yang tengah berkembang di tengah masyarakat pada periode waktu menjelang 'hari H', sembari menawarkan solusi dan mengomunikasikannya dengan cara yang menggugah. Oleh karena itu, kemampuan untuk memantau isu-isu potensial dan kapasitas memberikan alternatif memikat juga menjadi penting. Jangan sampai terulang apa yang 'dihargai' oleh khalayak umum saat itu, justru dinafikan atau malah 'diserang habis' hanya karena kekakuan dogmatis atau strategi.

Di sisi lain, perlu tetap diingat kerja-kerja konkret partai dan calon anggota legislatif tetap memainkan peran yang penting. Dalam model pemilihan dewasa ini yang semakin bernuansa distrik, kegesitan individu dalam meyakinkan pemilih secara perorangan justru semakin krusial.

Topangan media sebuah partai mungkin membantu partai secara institusional, namun belum tentu dalam konteks individual. Oleh karena itu, saat ini jelas tidak ada pilihan bagi para caleg untuk segera memanaskan mesin partai dan dirinya untuk segera melakukan kerja konkret menanam 'investasi dukungan'. Dengan kata lain, dalam upaya memenangkan pemilihan penguasaan media jelas amat perlu, tapi jelas harus disokong oleh kecanggihan strategi partai dan kerja keras para kadernya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar