Selasa, 22 November 2011

Melaut Tanpa Presiden


Melaut Tanpa Presiden

M. Riza Damanik, SEKRETARIS JENDERAL KIARA; ANGGOTA SOUTHEAST ASIA FISH FOR JUSTICE
Sumber : KOMPAS, 22 November 2011


Peringatan Hari Perikanan Dunia, 21 November tahun ini, ditandai dengan kian minimnya upaya pemimpin kita melindungi pangan perikanan dan nelayan tradisional. Kematian Eli jadi buktinya.

Ahmad Zailani atau Eli (34), bersama 12 nelayan tradisional asal Deli Serdang, Sumatera Utara, 15 Agustus 2011 ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh Polisi Laut Malaysia. Tuduhannya klasik, memasuki perairan Malaysia dan mencuri ikan. Padahal, para nelayan itu yakin menangkap ikan di perairan Selat Malaka bagian Indonesia.

Namun, belum adanya kesepakatan bilateral Indonesia-Malaysia untuk melindungi hak-hak nelayan tradisional di perairan perbatasan plus ”kegemaran” aparat keamanan Malaysia mengklaim kewilayahan, dan lambannya pemerintah memberikan pendampingan, membuat mereka masuk penjara. Setelah 88 hari dalam penjara tanpa pelayanan kesehatan memadai, Eli meninggal 8 November 2011. Keluarga baru mendapat kabar dua hari setelah kematiannya.

Kabar sedih nelayan tradisional ini bukan yang pertama. September 2010, di Kantor Agensi Penguatkuasa Maritim Malaysia (APMM) Pulau Pinang, saya menemukan sedikitnya 100 berkas penangkapan nelayan Indonesia. Ada 55 dokumen untuk tahun 2009, sisanya tahun 2010.

Di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menemukan 47 nelayan tradisional yang mengaku pernah menjadi korban perompakan dan penganiayaan oleh Polisi Laut Malaysia selama tiga tahun terakhir. Tuduhannya seragam: memasuki perairan Malaysia dan mencuri ikan!

Ironisnya, persoalan nelayan tradisional ASEAN ini tidak masuk pokok bahasan KTT ASEAN 19 di Bali, 17-19 November 2011.

Gagal Lindungi Rakyat

Selain membuat keluarga berduka, kekerasan terhadap nelayan tradisional Indonesia di perbatasan juga kian menunjukkan kurangnya kualitas dan prioritas kepemimpinan negeri ini. Dalam konteks inilah, pemahaman Presiden SBY dan aparatur pemerintahannya tentang pentingnya perlindungan keselamatan nelayan di perbatasan digugat.

Pertama, Presiden SBY harus memahami bahwa selain faktor kultural, nelayan tradisional terpaksa melaut hingga mendekati perbatasan karena kian terbatasnya sumber daya perikanan.

Laporan Status Tingkat Eksploitasi Sumber Daya Ikan di Wilayah Perairan Perikanan Indonesia (Desember, 2010) dari Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan menyebutkan, sejumlah spesies seperti udang, ikan demersal (kurau), dan ikan pelagis kecil di perairan sekitar Pulau Sumatera telah mengalami eksploitasi berlebih.

Sebenarnya UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No 45/2009 tentang Perikanan bisa jadi senjata ampuh SBY mengembalikan produktivitas perairan kita. Caranya dengan menghentikan pencemaran dan penghancuran ekosistem pesisir dan laut. Termasuk di dalamnya mendesak anggota ASEAN: Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar, menghentikan pencurian ikan di laut Indonesia.

Kedua, sebagai negara kepulauan terbesar yang perairannya berbatasan dengan 10 negara tetangga, Indonesia berkepentingan segera menuntaskan perundingan batas wilayah Indonesia di laut, termasuk memastikan terpenuhinya hak-hak nelayan Indonesia di perbatasan. Di sini, posisi SBY sebagai ketua ASEAN berpeluang menjadikannya prioritas. 

Apalagi negara-negara anggota ASEAN, kecuali Kamboja, telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982). Dengan demikian, inisiatif perjanjian bilateral antarsesama negara anggota ASEAN tentang perlindungan perairan dan nelayan tradisional di perbatasan—seperti diisyaratkan Pasal 51 UNCLOS 1982—dapat diselenggarakan.

Negara Masih Abai

Ketiga, pengalaman saya terlibat dalam misi pembebasan 5 nelayan Indonesia di Penang, Malaysia, September 2010 dan mencermati pembebasan 17 nelayan Indonesia, 15 November 2011, membuktikan, campur tangan negara sangat dibutuhkan. Keterbatasan alat navigasi dan pengetahuan nelayan tradisional tentang batas wilayah dan proses hukum membutuhkan pendampingan negara sejak awal.

Semua itu seharusnya menjadi peluang Presiden SBY untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sesuai Pembukaan UUD 1945. Kenyataan bahwa Presiden SBY mengabaikan ketiga peluang tersebut hingga KTT Ke-19 ASEAN berakhir menunjukkan kegagalannya membawa ASEAN menjadi komunitas yang berorientasi, berpusat, dan digerakkan rakyat. Nelayan kita masih melaut tanpa presiden!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar