Rabu, 23 November 2011

Membuat Sejarah Pembangunan


Membuat Sejarah Pembangunan

Daoed Joesoef, ALUMNUS UNIVERSITE PLURIDISCIPLINAIRES PANTHEON-SORBONNE
Sumber : KOMPAS, 23 November 2011


Pendiri negara-bangsa kita dahulu adalah generasi yang terpanggil untuk membuat ”sejarah kemerdekaan”. Kita sekarang, generasi penerus, seharusnya merasa terpanggil untuk membuat ”sejarah pembangunan”, juga melalui peperangan.

Bagi Von Clausewitz (abad XIX), perang adalah lanjutan dari politik (damai) dengan cara lain. Menurut Vo Nguyen Giap (abad XX), damai (politik) adalah lanjutan dari perang dengan cara lain.

Bagi generasi penerus, wajar menyikapi usaha pembangunan nasional bagai perang. Ini demi memenangi perdamaian sebagai lanjutan dari peperangan yang dilakukan oleh generasi revolusi demi memenangi perang itu sendiri. Bukankah berkat keberhasilan perang mereka dahulu yang berbiaya sangat mahal, yaitu nyawa, kita sekarang mendapat Tanah Air, bumi tempat berpijak.

Namun, ”mendapat” warisan adalah satu hal dan ”memelihara keutuhan” apa yang diwarisi adalah hal lain lagi. Ancaman terhadap warisan ini bisa datang dari luar, dan dari dalam, jika ada sebagian ahli waris yang legitimaris merasa diperlakukan tidak adil atau dilecehkan.

Jika pembangunan nasional dianggap sebagai usaha mengisi kemerdekaan dan diperlakukan sebagai wujud peperangan untuk memenangi perdamaian, konsep ideologis dari pembangunan menjadi faktor penentu bagi keberhasilan pelaksanaannya. Maka sungguh aneh jika para pemimpin kita tidak mau belajar dari sejarah bahwa ideologi pembangunan yang kita pegang selama ini adalah keliru, yaitu pembangunan dalam term pendapatan. Bukankah hasilnya sudah jelas: mula-mula daerah Aceh mau memisahkan diri, kini Papua bergolak, dan masing-masing merupakan daerah ujung NKRI.

Term Pendapatan

Pertumbuhan dalam term pendapatan berasumsi bahwa kenaikan produk nasional bruto (GNP) dan produk domestik bruto (GDP) mencerminkan suatu perbaikan kualitatif berupa perkembangan modernisasi. Ia mengabaikan betapa modernisasi ini tidak membantu kenaikan partisipasi penduduk/suku setempat dalam proses pengambilan keputusan di bidang pembangunan.

Justru partisipasi ini yang mereka tunggu sebagai bukti bahwa mereka diperlakukan sebagai manusia, diwongké, selaku partisipan/subyek pembangunan, bukan penonton/obyek pembangunan. Pendapatan selaku ukuran kuantitatif pembangunan adalah fiksi murni statistik, hanya merupakan means, bukan aims dari pembangunan, peperangan untuk memenangi perdamaian.

Indonesia, baik dalam artian ”bangsa” maupun ”negara”, apalagi ”negara-bangsa”, bukankah suatu fakta. Ia adalah abdi, berupa status nascendi yang permanen. Dari pembawaannya ia selalu im potentia, tidak pernah in actu. Istilah ”Indonesia” bukan menyatakan keadaan, melainkan suatu kemauan, suatu usaha, suatu gerakan transitif ke arah penyempurnaan, sesuai citraan para pemangku kepentingan.

Setiap warga negara dan suku di Indonesia tentu punya citra mengenai INDONESIA, Tanah Air, bumi tempat berpijak, bahkan tentang dunia yang mencakup buminya itu. Namun, citra saja, betapapun jelas-jelas, tidak berkekuatan untuk menggerakkan perubahan sosial, termasuk pembangunan. Suatu citra tentang bumi—mengenai apa saja—menjadi suatu kekuatan penggerak jika dijadikan ideologi: yang menciptakan dalam benak orang/suku bercitra itu suatu peran untuk diri sendiri yang dinilai penting.

Dengan kata lain, suatu ideologi adalah bagian dari citra tentang sesuatu yang dianggap oleh seseorang esensial bagi identitasnya dan bagi citranya mengenai dirinya sendiri, bagi martabatnya. Maka, jika mengenai pembangunan, ideologi ini adalah bagian dari citra orang/suku tentang pembangunan yang dianggap sangat bernilai bagi orang/suku yang bersangkutan dan karena itu dia berpeduli untuk mempertahankannya. Jadi, ideologi pembangunan baru tampil jika orang/suku merasa bahwa peran yang dimainkannya dalam proses pembangunan nasional tidak memberikan kepuasan baginya atau dilecehkan begitu saja selama ini.

Mencari Rumusan Inspiratif

Merumuskan suatu ideologi pembangunan yang inspiratif bagi semua warga/suku Indonesia yang berpembawaan konvergen memang merupakan suatu keniscayaan yang mendesak dewasa ini. Rumusan menjadi perlu untuk menandingi hasrat pembangunan daerah dek kecewa yang berpembawaan divergen, yang memang terpahami, tetapi tentu tidak dapat dibenarkan. Meski begitu, untuk dapat berbuat begitu, suatu ideologi perlu menciptakan suatu drama.

Dengan demikian, karakteristik esensial bagi ideologi dambaan adalah suatu interpretasi tentang sejarah yang cukup dramatis dan meyakinkan hingga setiap warga/suku merasa bisa mengidentifikasikan dirinya di situ dan yang pada gilirannya dapat memberikan kepada warga/suku yang bersangkutan suatu peran yang jelas dan terhormat dalam drama yang dibayangkannya itu.

Drama ini berupa suatu misi suci, mission sacrée, untuk sejarah pembangunan, yang dilakukan bagai perang untuk memenangi perdamaian, yang sudah ternoda oleh aneka kegiatan dek kecewa, yang menjurus ke penyempalan NKRI.

Ideologi pembangunan yang menjanjikan itu adalah yang saya sebut ”pembangunan dalam term ruang sosial”. Berhubung sudah diketengahkan di sana-sini sejak tahun 1970-an, tak akan saya ulangi ide-ide pokoknya. Yang penting untuk diingatkan lagi adalah ia menjunjung tinggi peran manusia dalam pembangunan, melalui pengakuan terhadap his/her inalienable right to happiness.

Amartya Sen berpendapat bahwa happiness relates to the perspective of freedom and capability. Bung Hatta kiranya juga berpikir begitu. Jika demikian ukuran ”kebahagiaan”, menurut hemat saya, adalah sekaligus bisa to have more (lebih kaya) dan to be more (semakin diwongké, dibuat lebih bermartabat).

Lalu ia tidak mengabstrakkan Bumi, Tanah Air, seperti yang dilakukan konsep ideologis dari development in terms of income. Hal ini penting untuk menepis dampak ”globalisasi” yang lebih ganas daripada ”internasionalisasi” yang terjadi sebelumnya. Internasionalisasi mendesak penerimaan suatu dunia tanpa batas dan Western industrialized civilization.
Globalisasi berarti orang-orang dari semua bangsa berpartisipasi secara proaktif dalam kemajuan teknologi-teknologi baru. Hal ini menurut naturnya menjurus ke pertumbuhan techno-nationalism yang berpotensi melemahkan geo-nationalism tradisional yang sarat dengan asas-asas moral, spiritual, dan kultural setempat (Sumpah Pemuda 1928).

Berhubung dalam konteks peningkatan sekuriti Tanah Air perlu diperhatikan pembangunan ”desa pantai” di sepanjang pesisir, permukiman di pulau-pulau terluar, dan wilayah perbatasan, tentu baik sekali jika pelaksanaan pembangunan dalam term ruang sosial didasarkan pula atas strategi ketahanan nasional (hankam).

Sebenarnya yang paling ideal adalah jika dalam berperang memenangi perdamaian bersinergi tiga strategi pokok, yaitu strategi pembangunan nasional (to have more), strategi pembangunan pendidikan dan kebudayaan (to be more), serta strategi pembangunan hankam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar