Selasa, 29 November 2011

Olahraga dan Olah Negara

Olahraga dan Olah Negara

Yudi Latif, PEMIKIR KEAGAMAAN DAN KENEGARAAN
Sumber : KOMPAS, 29 November 2011


Vincet amor patriae (kecintaan kepada tanah air itulah yang membuat menang). Walau jalan menuju SEA Games diwarnai aneka skandal dan salah urus, daya juang para atlet bisa mengatasi keterbatasan dan kekacauan. Di ujung jalan, seperti menggemakan bait lagu yang dikobarkan para penyanyi kita, ”Indonesia Bisa”, menjadi juara.

Olahraga memperlihatkan karakter yang dibutuhkan untuk olah negara. Dalam kobaran cinta seperti dalam olahraga yang mengatasnamakan bangsa, jiwa amatir yang siap berkorban demi patria mengalahkan kalkulasi untung-rugi sehingga atlet profesional ternama pun rela bertanding dengan imbalan di bawah standar. Dalam olahraga, atlet sejati lebih mendahulukan kesiapan berjuang ketimbang mengedepankan hasil. Jennifer Capriati, mantan petenis Amerika Serikat, mengekspresikan karakter olahragawan sejati ini, ”I don’t care about being number 1, but I’m ready and willing to give battle, and that’s what sport is all about.”

Kesiapan berkorban dan kesungguhan berjuang demi mengharumkan bangsa menjadikan atlet sejati sebagai pahlawan. Keberhasilan para atlet Indonesia menjuarai SEA Games membantu menaikkan moral bangsa yang lama mengalami demoralisasi setelah menuai keterpurukan di berbagai segi. Tatkala kita kehilangan harapan akan perkembangan bangsa ini, masih ada orang-orang yang berdiri terakhir di persimpangan dengan mengibarkan panji kebesaran bangsa, seperti para atlet itu.

Masalahnya, meminjam ungkapan Brutus dalam drama William Shakespeare, Julius Caesar, ”How many times shall Caesar bleed in sport”, berapa banyak cucuran keringat, darah, dan air mata yang ditumpahkan para atlet dalam olahraga, untuk dapat menularkan jiwa amatir ke dalam olah negara? Berapa banyak atlet sejati yang harus berlaga agar para aspiran politik menyadari pentingnya mengedepankan keseriusan berjuang ketimbang jalan pintas kemenangan?

Sungguh tragis, Indonesia sedang mengalami fase penjungkirbalikan nilai dalam olah negara. Harry Truman menyatakan, ”Politik—politik luhur—adalah pelayanan publik. Tak ada kehidupan atau pekerjaan di mana manusia dapat menemukan peluang yang lebih besar untuk melayani komunitas atau negaranya selain dalam politik yang baik.”

Namun, dalam membumikan politik yang luhur, yang diperlukan adalah pembiakan negarawan, bukan politikus. Negarawan adalah pekerja politik yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada negara. Politikus adalah pekerja politik yang menempatkan negara dalam pelayanan kepada dirinya.

Nyatanya, Indonesia mengalami surplus politikus dan defisit negarawan. Kebanyakan penyelenggara negara kita tidak hidup untuk politik, tetapi hidup dari politik. Kehirauannya adalah apa yang dapat diambil dari negara, bukan apa yang dapat diberikan untuk negara. 

Akibatnya, Indonesia kehilangan basis legitimasinya sebagai ”negara-pelayan” yang bersumber pada empat jenis responsibilitas: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, dan kedamaian-keadilan. Pemenuhan keempat basis legitimasi negara-pelayan tersebut merupakan pertaruhan atas kebahagiaan warga negara. Para pendiri bangsa secara visioner memosisikannya sebagai tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945.

Pelayanan atlet kepada bangsanya berbanding terbalik dengan pelayanan aparatur negara. Kontras dengan keberhasilan atlet meraih prestasi, para penyelenggara negara, khususnya yang berkaitan dengan SEA Games, justru terpuruk. Kontras dengan jiwa pengorbanan dan kejuangan para atlet, para penyelenggara negara yang terkait dengan itu justru menggelorakan jiwa koruptif. Kontras dengan jalan kemenangan atlet yang memerlukan perjuangan panjang, jalan kemenangan politisi kita justru banyak yang menempuh jalan pintas.

Cinta atlet kepada sesuatu di luar dirinya menggelorakan rasa keagungan kepada bangsanya. Cinta politisi kepada diri dan keluarganya mengempiskan kebesaran bangsanya. Ketika atlet berpesta, mereka menularkan semangat patriotisme dan solidaritas kebangsaan. Ketika politisi berpesta, mereka menularkan glorifikasi semangat feodalistis yang mengukuhkan kesenjangan dengan rakyatnya.

Sektor olahraga sering kali dilukiskan sebagai cermin proses modernisasi bangsa. Kondisi perkembangan politik dan ekonomi suatu bangsa bisa direfleksikan oleh perkembangan olahraganya. Namun, fitur Indonesia tampaknya merupakan deviasi dari itu. Prestasi olahraga diharapkan bisa memberikan rangsangan positif bagi perkembangan politik dan ekonomi. Ketika dunia politik tidak berhasil melahirkan pahlawan, dunia olahraga memberi kompensasi dengan melahirkan pahlawan-pahlawan alternatif yang diperlukan untuk menumbuhkan harapan.

Etos kejuangan atlet kita dalam menjuarai SEA Games harus kita tularkan ke dalam etos kejuangan menjuarai tata kelola negara. Walau dirundung aneka hambatan, antusiasme dan patriotisme terbukti membawa banyak perbedaan. Gemakan terus semboyan Bung Hatta: ”Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang kusimpan dalam dadaku.”

Bagaimanapun juga, dengan mengutip seungkai sajak René de Clerq, ”Hanya ada satu tanah air yang bernama Tanah Airku. Ia makmur karena usaha, dan usaha itu adalah usahaku.” ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar