Sabtu, 31 Desember 2011

Menggugat Setgab


Menggugat Setgab
Yunarto Wijaya, DIREKTUR RISET CHARTA POLITIKA INDONESIA 
Sumber : SINDO, 31 Desember 2011




Perdebatan mengenai efektivitas keberadaan Setgab kembali muncul. Usulan untuk membubarkan Setgab bahkan sudah mulai disuarakan beberapa politisi.

Usulan ini muncul sebagai akumulasi dari makin tajamnya perbedaan sikap anggota Setgab dalam pengambilan keputusan beberapa isu strategis. Perbedaan pendapat sebenarnya sudah muncul pada saat bergulirnya hak angket mafia pajak,RUUK DIY, begitu pula dalam menentukan pilihan terhadap pimpinan KPK baru. Puncaknya tentu saja pada saat pembahasan mengenai RUU Pemilu yang berkaitan dengan masa depan elektoral masing-masing partai.

Keberadaan Setgab bisa dinilai dari dua indikator. Pertama, secara empiris berkaitan dengan keberhasilan upaya pembangunan stabilitas pemerintahan dalam koalisi multipartai. Kedua, secara normatif berkaitan dengan karakter dan sistem kerja dari Setgab yang dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial yang diamanatkan konstitusi.

Dilihat secara empiris, Setgab sudah terbukti gagal tampil sebagai variabel st-abilisator. Gonjang-ganjing politik terus terjadi di antara elite antaranggota Setgab.Sementara itu, hampir tidak ada satu pun keputusan strategis yang dihasilkan melalui wadah ini. Perlu dianalisis juga, apakah keberadaan Setgab sudah mendukung terciptanya tatanan sistem presidensial secara ideal atau hanya menambah beban proses pencarian bentuk sistem pemerintahan yang masih berada pada situasi anomali.

Koalisi Salah Arah

Pembentukan Setgab tidak bisa dilepaskan dari konsep koalisi yang coba dibangun oleh pemerintahan SBY-Boediono.Dengan alasan stabilitas politik, pemerintahan SBY-Boediono membangun koalisi besar dengan enam partai yang menguasai 75,54% kursi di parlemen. Koalisi besar ini diasumsikan dapat menjamin terselenggaranya hubungan yang harmonis antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Asumsi ini terbukti meleset ketika hak angket Century bergulir. Ikatan koalisi seakan menjadi sirna ketika Partai Golkar, PKS, dan PPP memosisikan dirinya berseberangan dengan Partai Demokrat.Tidak lama setelah kejadian itulah ide pembentukan Setgab digulirkan. Keberadaan Setgab dianggap bisa memperbaiki hubungan yang renggang di antara anggota koalisi pascaangket Century.

Berkaca pada situasi ini, pembentukan Setgab bisa dilihat sebagai sebuah bentuk ‘keterpaksaan’ seorang Presiden yang telanjur tersandera oligarki parpol dalam pemerintahannya. Tanpa disadari, pembentukan Setgab malah semakin memperlihatkan besarnya dominasi parpol dalam wilayah eksekutif. Selain itu, perlu diingat juga bahwa eksekutif tidak hanya terbentuk dari gabungan parpol.

Beberapa menteri,bahkan Wakil Presiden,adalah unsur yang juga membentuk pemerintahan yang ada. Kehadiran Setgab ini bisa jadi akan semakin memperkecil ruang gerak mereka dalam mengeluarkan suatu kebijakan. Peran Setgab juga berpotensi mengeliminasi fungsi dari lembaga legislatif.

Setgab bisa dianggap sebagai lembaga ‘ekstraparlemen’ yang memotong proses pengambilan keputusan melalui kompromi politik yang dibuatnya secara informal. DPR hanya akan menjadi lembaga ‘pemberi stempel’ meneruskan apa yang sudah disepakati anggota Setgab dengan kekuatan mayoritas kursi yang dimilikinya.

Membongkar Koalisi Kartel

Berkaca dengan kondisi di atas,agak sulit buat kita memahami pilihan presiden untuk terus mempertahan kan Setgab. Alih-alih ingin membangun situasi politik stabil, Setgab terbukti telah bertransformasi menjadi virus yang merusak tatanan sistem politik itu sendiri. Minimal ada dua pilihan yang bisa diambil yakni membubarkan Setgab atau menata ulang koalisi sesuai karakter sistem yang ada.

Pilihan ekstrem membubarkan Setgab atau koalisi sebenarnya adalah sebuah kewajaran dalam sebuah sistem presidensial. Otoritas presiden yang diberikan melalui pemilihan langsung sebenarnya mengisyaratkan bahwa koalisi dalam sistem presidensial hanya terjadi antara presiden terpilih dan rakyat. Inilah makna dari kekuasaan yang terpisah (divided government) yang menjadi salah satu ciri dari sistem presidensial (Linz,1992).

Dominasi parpol dalam pemerintahan yang terwujud dalam Setgab dan ‘kabinet politik’ berarti menegasikan peran masyarakat sebagai pemegang kontrak sosial dalam pemilu langsung.Pemerintah harus berani mengembalikan kekuasaan rakyat yang selama ini telah dibarter dengan koalisi kartel yang terbukti tidak efektif keberadaannya.

Pilihan kedua adalah dengan cara menata ulang koalisi untuk menghasilkan optimalisasi peran dari masing-masing aktor di eksekutif ataupun legislatif. Dalam pemerintahan yang terpisah,koalisi antarpartai hanya mungkin dilakukan di level legislatif.Koalisi bisa terfokus pada kesepakatan berkaitan dengan ketiga fungsi yang dimiliki parlemen. Sementara di level eksekutif, menteri-menteri parpol harus berkonsentrasi penuh pada tugasnya sebagai pembantu presiden.

‘Koalisi’ di lembaga ini harus diartikan sebagai kepatuhan dari menteri terhadap pakta integritas dan kontrak kerja yang ditandatangani sebagai anggota kabinet. Roda pemerintahan SBYBoediono masih harus berjalan sekitar tiga tahun ke depan.Selama itu pulalah tugas berat akan terus berdatangan. Sebuah tantangan yang hanya mungkin dijalankan oleh seorang presiden yang memiliki otoritas penuh. Otoritas yang hanya bisa dimiliki manakala belenggu ‘demokrasi kartel’ bisa dibongkar secara utuh. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar