Selasa, 27 Desember 2011

Misteri Politik Kaum Menengah Negeri Ini


Misteri Politik Kaum Menengah Negeri Ini
Bestian Nainggolan, DIVISI LITBANG KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011


Di tengah situasi politik yang masih saja menyimpan ketidakpuasan, sosok dan peran kelas menengah di negeri ini amat dinantikan. Persoalannya, apakah mereka layak diharapkan menjadi barisan terdepan penjaga demokrasi di negeri ini?

Mempersoalkan eksistensi kelas menengah di negeri ini seolah menjadi suatu pertanyaan klasik lantaran kerap muncul tanpa berkesudahan. Di manakah kelas menengah kita? Menariknya, keberadaan sosok kaum menengah ini selalu diperdebatkan pada saat tingginya kekhawatiran akan keterpurukan politik bangsa berlanjut.

Di negeri jiran, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina, bahkan kawasan Asia Timur 
pun eksistensi kelas menengah menjadi bahan kajian. Kaum menengah dinilai istimewa lantaran anggapan nilai strategis yang disandang kelompok ini. Semua bermula dari acuan sejarah munculnya istilah kelas menengah. Kemunculan mereka tidak lepas dari revolusi industri di negara-negara Barat. Waktu itu, industrialisasi melahirkan nilai-nilai entrepreneurship yang kian gencar memacu pola kehidupan masyarakat di sana.

Akibatnya, timbul sekelompok kalangan yang menyandang beberapa kelebihan, antara lain kekuatan dan kemandirian ekonomi, berpendidikan, dan profesional. Berbekal kelebihan semacam itu, tak heran jika salah satu peran mereka adalah kemampuan mengendalikan kesewenang-wenangan kalangan atas alias pemilik modal terhadap buruh.

Selain itu, mereka juga mampu berperan sebagai jembatan dalam konflik yang terjadi antara kelas atas dan bawah. Keistimewaan semacam ini pula yang menjadikan dasar kerinduan banyak kalangan terhadap peran kaum menengah terhadap problematika politik bangsa seperti saat ini.

Kontradiksi

Sayangnya, guratan kesan pesimistis ditujukan kepada kalangan menengah. Tahun 1997, misalnya, sebelum reformasi politik, survei yang dilakukan Litbang Kompas bersama Academia Sinica Taiwan mengurai berbagai kontradiksi kelas menengah di negeri ini. Di satu sisi, kalangan yang disebut sebagai anak kandung kemajuan ekonomi ini tampil sebagai kalangan yang bersikap kritis terhadap situasi yang dihadapinya, termasuk persoalan yang mengungkung negara ini. Namun, di sisi lain, kecenderungan bersikap mendua dan cenderung konservatif terlihat tatkala mereka dihadapkan pada aksi ataupun aktivitas sosial dan politik.

Sekalipun demikian, tekanan situasi sanggup mengubah segalanya. Reformasi politik pada Mei 1998 pun bergulir. Salah satu ulasannya terkait dengan Revolusi Mei 1998 dalam buku Self-Originated Being (2011), Dedy N Hidayat mengurai keberadaan kalangan menengah yang semula diremehkan dari sisi jumlah dan sikapnya yang mendua ini pada satu titik justru menjadi garda terdepan perubahan tersebut.

Mereka yang sebelumnya masih lebih menunjukkan perhatian besar pada pertumbuhan ekonomi, dan seiring dengan itu cenderung konservatif dalam menampilkan sikap politik, sontak berubah menjadi kalangan paling progresif dalam sikap dan aksi politik. Menurut dia, fakta demikian menjungkirbalikkan analisis struktural yang cenderung memandang kurang signifikannya peran kelas menengah.

Saat ini, kecenderungan memandang pesimistis terhadap keberadaan ataupun peran kelas menengah pun mulai tampak. Hasil jajak pendapat seminggu terakhir ini, misalnya, menunjukkan bahwa karakteristik kelompok menegah yang relatif tidak berubah dari masa-masa sebelumnya.

Di satu sisi, kalangan yang secara langsung menyebutkan dirinya sebagai ”kelas menengah” ini memiliki perhatian yang tergolong sangat tinggi terhadap persoalan di negeri ini. Sebagai gambaran, bagian terbesar dari kalangan ini mengamati terus-menerus hampir setiap hari—baik membaca maupun menonton—berbagai pemberitaan terkait dengan persoalan politik, sosial, ataupun ekonomi. Tidak hanya berhenti sampai di situ, sebagian besar dari mereka pun berupaya mendiskusikan berbagai persoalan yang diamatinya dengan orang lain, baik kepada sesama anggota keluarga, lingkungan tempat tinggal, maupun rekan sekerja.

Akan tetapi, perhatian kalangan ini terhadap persoalan bangsa tampaknya hanya sebatas itu. Ketika diperluas hingga penyingkapan tinggi-rendahnya derajat partisipasi mereka dalam berbagai aksi sosial maupun politik, justru sebaliknya yang terjadi. Tampak benar kecenderungan untuk menjauh dari berbagai kegiatan kolektif ataupun aksi-aksi konkret sebagai bentuk perhatian terhadap pemecahan persoalan bangsa. Hasil jajak pendapat ini, misalnya, mengungkapkan betapa rendahnya keterlibatan mereka dalam kegiatan keorganisasian sosial hingga politik yang berurusan dengan upaya perbaikan kondisi bangsa.

Demikian pula terkait dengan beragam aksi yang terkait persoalan sosial politik, dari sekadar aksi protes hingga bentuk yang lebih sistematis, seperti upaya mengajak kalangan lain untuk memboikot ataupun memprotes suatu kebijakan, tidak menjadi suatu pilihan ekspresi bersikap mereka.

Kalaupun mereka tampak terlibat, lebih menonjol keterlibatan tersebut pada persoalan-persoalan yang secara langsung berdampak terhadap diri mereka, seperti keterlibatan dalam pemecahan persoalan keamanan lingkungan tempat tinggal.

Ujung Tombak

Hasil jajak pendapat ini, sebagaimana survei kelas menengah terdahulu, dapat saja 
menguak berbagai kontradiksi politik kaum menengah. Demikian pula berbagai kontradiksi tersebut dapat saja dipandang secara pesimistis, terutama terkait dengan harapan yang bergantung pada pundak mereka sebagai ujung tombak demokratisasi di negeri ini.

Akan tetapi, tidak pula selamanya sikap yang seolah pasif ini bersifat kekal. Dalam beberapa kasus, perhatian kalangan menengah dapat saja berubah dari sekadar perhatian pasif menjadi keterlibatan aktif. Merujuk pada upaya kriminalisasi pimpinan KPK beberapa waktu lalu, misalnya, munculnya gerakan dukungan terhadap eksistensi KPK mengindikasikan kelas menengah yang tidak selamanya apatis sekalipun sejauh ini tidak terhindarkan pula bahwa apa yang diekspresikan masih bercorak insidental dan kurang sistematis.

Terlebih, hadirnya teknologi komunikasi dalam wujud jaringan sosial media kian memungkinkan pengekspresian sikap hingga aksi publik ke dalam bentuk-bentuk yang konkret.

Namun, saat ini, di tengah menguatnya ketidakpuasan publik sepanjang tahun 2011, berharap kelas menengah mampu menjadi ujung tombak demokrasi tampaknya masih menjadi sebuah misteri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar