Jumat, 30 Desember 2011

Plato dan Pengadilan Calciopoli


Plato dan Pengadilan Calciopoli
Siti Marwiyah, DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DR SOETOMO SURABAYA
Sumber : SUARA KARYA, 30 Desember 2011



Sejarawan TS Illiot berkata, "Kalau ingin menuai kehidupan yang lebih baik, kemajuan, dan pencerahan, maka belajarlah dari peristiwa masa lalu. Apa yang terjadi di masa lalu, adalah guru yang paling menentukan warna kehidupan masa kini dan masa depan."

Pernyataan itu mengingatkan para penyelenggara negara untuk mau belajar dari sejarah. Kalau mereka betul-betul mau belajar dari sejarah, maka mereka bukan hanya sukses menghadirkan dirinya sebagai pelaku sejarah yang negarawan, tetapi juga akan dicatat di hati rakyat sebagai pejuang dan pahlawan riil karena jasa-jasanya yang dikontribusikan untuk negeri.

Sayangnya, banyak elemen negara, khususnya elemen penegak hukum yang tidak mau belajar dari sejarah. Perjalanan buram jagat penegakan hukum di Indonesia, yang hingga orde reformasi ini masih sarat dengan "borok", merupakan bukti emprik kalau komunitas penegak hukum masih belum menginginkan terwujudnya atau membuminya pencerahan. Mereka masih menyukai terkerangkeng dan terhegemoni oleh sekumpulan petualang politik dan ekonomi (pengusaha) yang dinilai mampu menyenangkan dan menguntungkannya lewat kolaborasi berparadigma penyamanan dan pelanggengan praktik korupsi.

Itulah diantaranya yang diingatkan oleh Guru Besar Indriyanto Seno Adji (17 Oktober 2011), bahwa pemberantasan korupsi menuju ambang kegagalan. Ini ditengarai terjadi karena maraknya intervensi penguasa dan pengusaha. Penegak hukum seperti jaksa, polisi, hakim, bahkan komisi pemberantasan korupsi (KPK), belum sepenuhnya bebas dari intervensi.

Rekaman KPK berdurasi 4,5 jam yang pernah disiarkan MK, setidaknya dapat dijadikan sebagai agenda sejarah yang menunjukkan atau melengkapi tragedi yang menimpa dunia peradilan di negeri ini, atau membenarkan kalau peradilan Indonesia sedang diserang terjangkit tumor ganas, yang penyakit ini bisa menggerogoti dan memasturbasinya sampai mati.

Mereka itu membuat wajah peradilan layaknya sanggar dagelan yang mempertontonkan sepak terjang segelintir orang yang dengan gampangnya melucuti atau menelanjangi hukum sebulat-bulatnya. Supremasi hukum di tangan penegaknya tak ubahnya macan kertas yang "ditenggak" sendiri atau dibuat tidak berdaya menghadapi taring-taring gorila atau kriminal elit ganas yang mencengkeram dan menghegemoninya.

Pengadilan skandal dunia sepakbola professional di Italia (Calciopoli) yang menghukum beberapa klub yang terlibat pengaturan skor pertandingan layak dijadikan pelajaran bersejarah bukan hanya oleh manajer sepakbola semacam PSSI, tetapi juga oleh elit fundamental yang membingkai manajemen peradilan Indonesia mulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, KPK, KY, MK, maupun institusi lain yang mengibarkan bendera hukum.

Pengadilan yang menangani skandal pengaturan skor pertandingan di Italia tersebut tetap tidak bergeming dengan pengaruh publik yang maunya meminta ada "toleransi" dengan klub-klub yang telah berjasa menyumbangkan sebagian besar pemainnya dalam mengantarkan Tim Nasional Italia menjuarai Piala Dunia 2006, suatu gelar bergengsi, yang barangkali bagi negeri (Indonesia) ini hanya sebatas mimpi.

Klub sebesar Juventus maupun AC Milan, yang waktu itu paling banyak menyumbangkan pemainnya di Timnas Italia, tetap terkena hukuman yang tergolong berat. Jasa besar yang sudah diberikan kedua klub ini pada citra negara, tidak membuat pengadilan calciopoli bergeming atau memberikan hak privilitasnya. Tidak ada perlakuan istimewa atau penganaak-emasan pada klub yang terbukti mempermainkan "hukum sepakbola" atau citra hukum di jagad olahraga.

Saat itu, Juventus, yang di dalamnya terdapat sejumlah besar pemain tenar seperti Cammonaresi, Buffon, Del Piero, Fabio Cannavaro, atau Zamrota, harus menerima kenyataan pahit untuk melepas gelar juaranya atau kehilangan mahkota skudetonya, setelah pengadilan Calciopoli mencopotnya dan menggusurnya dari Seri-A menuju Seri-B. Juventus yang merasa dirugikan oleh pengadilan Calciopoli mengajukan upaya hukum berkali-kali, tetapi tetap juga gagal. Akhirnya Juventus terpaksa harus memulai kompetisi di Seri-B dengan kondisi yang porak-poranda, karena sejumlah pemain terasnya telah pindah ke klub lain yang lebih menjanjikan masa depan.

Juventus atau Ac Milan yang berjasa pada negara dan rakyat Italia, sepintas layaknya pepatah yang sering kita suarakan: "air susu dibalas air tuba", suatu jasa besar, prestasi istimewa, dan reputasi di tingkat dunia, ternyata kembali ke negeri sendiri disambut dengan pelecehan dan penghancuran. Apa yang sudah diperjuangkan dengan susah payah demi negara, faktanya bukan penghargaan yang diperoleh, tetapi justru sanksi hukuman menyakitkan. (Zahra, 2011).

Meski begitu, kedua Klub itu tetap sportif, berjiwa besar, atau menerima menjalani sanksi hukum yang diberlakukan kepadanya. Juventus mau menjalani pertandingan di level klas dua yang jauh dari sorotan media. Mengapa klub bermodal besar seperti Juventus mau menerima "dikalahkan" atau disungkurkan oleh pengadilan demikian?

Karena, Pengadilan Calciopoli sudah dipercaya menjadi pengadil yang berasas fair play, jujur, adil, tidak diskriminatif, dan independen, demi tegaknya kedisiplinan, ketertiban, dan keharmonisan sosial dalam dunia sepak bola. Prestasi pengadilan Calciopoli tersebut terletak pada kapabilitas moralnya dalam menjaga independensi, yang kapabilitas ini tidak dimiliki oleh dunia peradilan di negeri ini.

Plato mengingatkan, negara adalah apa yang menjadi perilaku manusianya. Karena itu, kita tidak dapat mengharapkan keadaan negara menjadi lebih baik, jika manusianya tidak lebih baik juga perilakunya. Kita tidak akan bisa mengharapkan citranya sebagai organisasi yang beradab, kalau manusianya suka memilih perilaku tak bermoral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar