Sabtu, 31 Desember 2011

Radikalisasi Tunas Muda


Radikalisasi Tunas Muda
Hasibullah Satrawi, PENGAMAT POLITIK TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM
PADA MODERATE MUSLIM SOCIETY (MMS) JAKARTA
Sumber : KOMPAS, 31 Desember 2011



Radikalisme masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Alih-alih menemukan solusi komprehensif, jaringan radikalisme mulai menembus kehidupan tunas- tunas muda bangsa yang masih berada di jenjang pendidikan menengah atas.

Pada awal bulan ini penulis diminta mengisi materi Islam Rahmatan Lil’alamin (visi kerahmatan Islam) dalam acara pesantren kilat (di Bogor) yang diadakan oleh Kementerian Agama untuk para aktivis kerohanian Islam (rohis). Ada lebih kurang 200 aktivis rohis secara nasional yang mengikuti acara tersebut, dibagi dalam empat kelas.

Secara umum mereka dapat dikatakan sangat berpotensi radikal. Bahkan, bisa dipastikan ada 2-3 orang dari setiap kelas yang sudah positif terjangkiti ideologi radikal. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari ekspresi ”sinisme” mereka terhadap sejumlah budaya Muslim-Nusantara seperti ziarah kubur, tawassul, dan kemajemukan. Bahkan, ada sebagian pembina rohis (juga hadir dalam acara tersebut) terang-terangan mengakui sejumlah anak didiknya sudah direkrut dan menjadi anggota NII KW 9.

Kabar baiknya (jika boleh dikatakan demikian), mereka yang positif terjangkiti ideologi radikal masih sangat terbatas. Baru 2-3 orang di setiap kelas yang memuat sekitar 50 siswa.

Namun, hal di atas tak dapat sepenuhnya bisa disebut kabar baik mengingat mereka masih berada di jenjang pendidikan menengah atas. Dengan kata lain, kenyataan ini harus tetap diwaspadai karena setidaknya menunjukkan betapa jaringan radikalisme menjalankan aksinya sedemikian sistematis. Tunas-tunas muda seperti aktivis rohis pun mulai dibidik secara serius oleh mereka.

Tentu saja ini hanyalah kesan subyektif penulis. Sangat boleh jadi kesan subyektif di atas salah alias tak sesuai dengan realitas keseharian mereka.

Sebaliknya, jika kesan subyektif tadi benar, tidak ada yang salah pada para tunas muda di atas. Jika harus ada yang disalahkan, mereka adalah ”para ustaz” (biasa disebut mentor dalam istilah mereka) dari luar sekolah yang memberikan pemahaman yang salah kepada siswa-siswi yang ada.

Al Quran dan Sunah

Setidaknya ada dua hal yang bisa menjelaskan pemahaman salah yang telah diberikan kepada siswa-siswi itu. Pertama, semangat kembali ke Al Quran dan sunah. Sebagaimana di kalangan puritan dan kaum radikal, istilah kembali ke Al Quran dan sunah juga jadi semangat keberagamaan sejumlah siswa dalam acara tersebut. Padahal, mereka bahkan tak menguasai bahasa Arab, alih-alih keilmuan Islam yang termaktub dengan bahasa Arab (termasuk Al Quran dan sunah).

Tidak ada satu orang pun dari umat Islam yang tidak mau kembali kepada Al Quran dan sunah mengingat hanya Al Quran dan sunah yang ditinggalkan oleh Nabi kepada umatnya sebagai jalan selamat di dunia dan di akhirat. Namun, kembali kepada Al Quran dan sunah tak semudah yang kerap disampaikan kaum puritan dan radikal.

Kembali kepada Al Quran dan sunah membutuhkan semangat intelektualisme yang tinggi, sebagaimana keteladanan para ulama terdahulu. Kembali kepada Al Quran dan sunah berarti menguasai semua perangkat keilmuan Islam yang telah disampaikan para ulama terdahulu, mulai ilmu bahasa Arab, ilmu hadis, Al Quran, dan lainnya.

Tanpa memperhatikan hal-hal di atas, kembali kepada Al Quran dan sunah akan menjadi istilah benar yang ditujukan salah (kalimatu haqqin yuradu bihal bathil). Terkecuali jika yang dimaksud kembali kepada Al Quran dan sunah adalah kembali kepada Al Quran dan sunah versi terjemahan atau buku panduan Islam yang banyak terdapat di sejumlah kedai buku.

Jika ini yang dimaksud, kembali kepada Al Quran dan sunah jadi sangat mudah dan tak membutuhkan ketentuan-ketentuan ilmiah sebagaimana prasyarat di atas. Konsekuensinya, hal-hal yang tak termaktub dalam Al Quran dan sunah versi terjemahan pun dianggap bidah, khurafat, dan sebagainya.

Teriakan Takbir

Kedua, teriakan takbir (Allahu Akbar) yang sudah jadi tradisi siswa-siswi dalam acara tersebut, termasuk di dalam kelas. Secara normatif tentu tak ada salahnya seseorang mengucapkan takbir, apalagi membacanya sebagai zikir. Namun, segala sesuatu ada tempatnya. Itu sebabnya para ulama melarang membaca asma dan ayat-ayat Allah di tempat membuang kotoran karena dianggap tidak pada tempatnya.

Dalam sejarah Islam, teriakan takbir sebagai yel-yel lazim digunakan di medan perang. Hal ini mengingat medan perang membutuhkan semangat tempur yang berkobar-kobar untuk menghadapi musuh yang nyata di depan mata. Dalam konteks di luar perang, yang dianjurkan oleh para ulama adalah selawat mengingat selawat diyakini punya pengaruh psikologis yang bersifat positif- konstruktif (ngademin). Takbir juga dianjurkan, tetapi dalam kapasitasnya sebagai zikir (dibaca pelan), bukan sebagai yel-yel.

Inilah kesalahan fatal yang kerap dilakukan oleh kaum radikal dan puritan. Di mana-mana mereka meneriakkan takbir (sebagai yel-yel), termasuk di forum-forum sosial dan keilmuan (seperti seminar dan diskusi). Ini pula yang sudah mulai menjadi tradisi baru di kalangan aktivis rohis. Bahkan, mereka secara jujur mengakui hampir di setiap forum (bahkan rapat) dibiasakan meneriakkan takbir sebagai yel-yel pembangkit semangat.

Apakah konteks sosial dan keilmuan sama dengan medan perang yang sudah secara jelas berhadapan dengan musuh yang nyata? Atau mereka memang sengaja dibidik dan dididik oleh kaum radikal untuk menjadi ”tentara perang muda” untuk menghadapi bangsanya sendiri seperti yang dilakukan oleh kaum radikal dan para teroris?

Sejatinya para aktivis rohis adalah potensi bangsa yang sangat besar. Sangat disayangkan jika potensi besar itu harus jatuh ke tangan kaum radikal dan puritan yang anti-NKRI, Pancasila, dan kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar