Sabtu, 24 Desember 2011

Spiritual dan Keadilan Sosial


Spiritual dan Keadilan Sosial
Andreas A Yewangoe, KETUA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)
Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011



Dunia dewasa ini menderita dua jenis kelaparan: spiritualitas dan keadilan sosial. Kelaparan spiritualitas mungkin mengundang pertanyaan karena gairah keberagamaan ada di mana-mana. Sebaliknya kelaparan keadilan sosial lebih dipahami karena penindasan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia masih menjadi menu sehari-hari kita.

Soal keberagamaan memang justru menjadi pangkal persoalan. Ketika gairah dan semarak beragama terasa di mana- mana, ternyata ia minus spiritualitas. Gairah beragama kita hanyalah menyangkut kulit-kulit dan bentuk. Kita lebih mementingkan forma ketimbang isi.

Keberagamaan kita masih sangat mengarah ke dalam diri sendiri. Alhasil, kendati agama diamalkan secara sangat nyata, berbagai tindakan yang bertentangan dengan hakikat agama justru marak.

Di negeri kita, perbuatan korupsi masih mendominasi kehidupan sehari-hari kendati begitu banyak orang menjalankan ritual agama. Pengunjung tempat-tempat ibadah berjubel, tetapi begitu banyak pula perbuatan-perbuatan buruk dipraktikkan.

Praktik ketidakadilan terlihat di mana- mana tanpa usaha sungguh-sungguh mengakhirinya. Penindasan dan pelecehan terhadap hak-hak asasi manusia menjadi menu keseharian. Di negeri kita tak kurang-kurang orang bertobat, hanya saja pertobatan itu bersifat ritualistis.

Makna pertobatan belum diterjemahkan ke dalam kehidupan sosial. Itulah kehidupan beragama tanpa spiritualitas yang selalu mengarah ke dalam, bagi kepuasan diri sendiri. Keberagamaan seperti ini tidak berdampak apa pun bagi kehidupan bersama.

Arahkan ke Luar

Spiritualitas sejati adalah justru ketika kita mengarahkan kehidupan kita ke luar. Ketika kita mendambakan kebaikan bagi semua orang. Ketika kita memedulikan kesejahteraan orang lain. Ketika kita merindukan keadilan bagi siapa pun. Ketika kita menganggap kepentingan orang lain jauh lebih penting daripada kita.

Maka seseorang yang sungguh-sungguh beragama dengan spiritualitas sejati pasti tidak akan segan-segan memperjuangkan keadilan bagi siapa saja. Ada kaitan erat antara spiritualitas dan keadilan sosial sebagaimana ditegaskan para nabi ribuan tahun lalu. Nabi Amos mengalimatkannya dengan sangat keras: ”Aku (yaitu Tuhan) membenci, Aku menghinakan perayaanmu, dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu. Sungguh apabila kamu mempersembahkan kepada-Ku korban bakaran dan korban sajianmu, Aku tidak suka. Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.”

Tidak kurang kerasnya, seorang nabi lain, Yesaya, mengingatkan, ”Untuk apa itu korbanmu yang banyak? Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran berupa domba jantan. Jangan lagi membawa persembahan yang tidak sungguh sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Perayaan-perayaan bulan barumu dan pertemuan-pertemuanmu yang tetap, Aku benci melihatnya. Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan memalingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkan sebab tanganmu penuh dengan darah. Belajarlah berbuat baik; usahakan keadilan, kendalikan orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkan perkara janda-janda.”

Allah bukanlah Tuhan yang gampang disogok dengan persembahan kita. Ia bukan Allah yang mudah disuap dengan pemberian kita. Ia bukan Allah yang bisa dibujuk dengan doa-doa kita. Sangat jelas, keberagamaan tanpa penegakan keadilan adalah kosong. Spiritualitas tanpa memperjuangkan hak-hak mereka yang paling menderita dan disisihkan di dalam masyarakat adalah hampa.

Ketika Natal datang lagi menyapa kita, kita pun diajak merenungkan secara sangat mendalam makna kehausan spiritualitas dan keadilan ini bagi kemanusiaan. Benarkah kita merasakan kehausan itu, atau kita menutup-nutupinya dengan kepuasan beragama semu.

Kembalikan Makna Natal

Jangan-jangan perayaan-perayaan Natal menjadi hampa ketika sekian banyak uang dibelanjakan bagi pesta-pesta mewah. Jangan-jangan kita begitu sibuk dengan berbagai upacara rumit dan melewatkan justru jiwa Natal itu sendiri, yaitu kesederhanaan.
Jangan-jangan kita sekadar mengumandangkan lagu-lagu Natal yang merdu tanpa penghayatan terhadap isi Natal itu sendiri, yaitu ketika Allah justru mengosongkan diri-Nya di dalam peristiwa inkarnasi. Ya, jangan-jangan.…

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dalam Pesan Natal Bersama tahun ini mengambil tema ”Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar (Yesaya 9:1a).”

Di dalam kehausan akan spiritualitas dan keadilan sesungguhnya kita sedang berjalan di dalam kegelapan. Kegelapan mengindikasikan kehilangan arah, tetapi justru di dalam keadaan seperti ini pengharapan diberikan kepada kita.

Ada terang yang besar. Terang itu berasal dari Allah sendiri. Terang yang merangkul kegelapan. Nabi Yesaya menggambarkan Sang Terang itu sebagai seorang putra, lambang pemerintahan ada dalam tangan-Nya dan namanya disebut orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang kekal, Raja Damai.

Umat beriman tidak hanya diminta meneruskan terang dari Allah itu melalui berbagai karya pelayanan mereka kepada masyarakat, melainkan juga melalui hidup dan pergaulan mereka. Ketika umat beriman mengusahakan perwujudan keadilan di dalam masyarakat, sesungguhnya mereka sedang meneruskan Terang itu.

Kenyataannya, ketika kita tidak peduli dengan nasib sesama yang diperlakukan tidak adil, kita tidak hanya gagal meneruskan Terang itu, tetapi juga menghalangi-halangi Terang yang sedang datang. Selamat Natal!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar