Sabtu, 31 Desember 2011

Wajah Manusia Indonesia 2011


Wajah Manusia Indonesia 2011
Al Andang L Binawan, PENGAJAR DI SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA JAKARTA
Sumber : SINAR HARAPAN, 31 Desember 2011


Dalam khazanah moralitas dibedakan antara actus hominis (tindakan atau perbuatan manusia) dan actus humanus (tindakan manusiawi). Keduanya mempunyai persamaan karena bertolak pada tindakan manusia, tetapi juga mempunyai perbedaan yang besar.
Actus hominis mengacu pada manusia sebagai makhluk biologis saja. Contoh actus hominis adalah makan, minum, dan tidur dalam konteks kesehatan dirinya. 

Sementara itu, actus humanus mengacu pada manusia sebagai subjek moral yang mempunyai nurani, kebebasan, serta rasio dan juga dalam konteks manusia sebagai makhluk sosial. Karena itu, makan yang sopan dan baik serta mengingat kepentingan orang lain adalah contoh dari actus humanus.

Actus humanus adalah tindakan-tindakan yang selama ini dipandang sebagai tindakan berbudaya yang khas manusia dengan tidak mengingkari actus hominis. Ini supaya manusia bisa beranjak menjadi makin manusiawi (baca: berbudaya), dan mempunyai actus humanus, dibutuhkan pendidikan dalam proses yang panjang. Dalam hal ini, peran negara sangat menentukan.

Tulisan ini akan mencoba merefleksikan situasi manusia Indonesia 2011 berdasarkan pendekatan ini. Dengan kata lain, dicoba diukur apakah manusia Indonesia sudah cukup berbudaya dan menjadi makin manusiawi. Peran negara akan disoroti terutama menyangkut upaya yang perlu diprioritaskan pada tahun depan.

Indonesia 2011

Meski pada 2011 negara Indonesia telah berusia 66 tahun, saya yakin belum banyak warga yang merasa bangga dengan Indonesia. Benar, Indonesia kembali menjadi juara umum SEA Games 2011, tetapi hal itu tidak mendongkrak kebanggaan. Banyak peristiwa, juga hasil riset dan jajak pendapat, yang menunjukkan masih terseoknya negara ini di tengah modernitas.

Simak misalnya beberapa laporan ini: tentang indeks korupsi (menurut Transparency International), pada 2011 Indonesia menempati peringkat 100 dari 182 negara yang disurvei, tentang indeks perkembangan manusia (human development index) dalam laporan 2011 Indonesia ada di peringkat 124 dari 196 negara. 

Kemudian, tentang kualitas pendidikan, berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011, Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia. Jangan lupa, peringkat kesebelasan Indonesia pada bulan lalu juga “hanya” 140 di antara dari 208 anggota! 

Meski peringkat tidak mengatakan banyak hal tentang situasi nyata, tetapi memberi indikasi bahwa kondisi sosial Indonesia belum sungguh baik. Melihat peringkatnya, bisa dikatakan Indonesia adalah negara medioker di tengah pergaulan masyarakat dunia. Ini pun bisa mengindikasikan manusia Indonesia adalah manusia medioker, manusia setengah-setengah.

Setengah Manusia?

Pada dasarnya setiap manusia itu egosentris, tetapi hal ini penting untuk keselamatan (survival)-nya. Paham tentang manusia sebagai serigala bagi yang lain (homo homini lupus) seperti dikatakan Thomas Hobbes jelas terkait dengan kecenderungan dasar ini. Kecenderungan ini pulalah yang mendasari berbagai actus humanus.

Sebenarnya pula, kecenderungan dasar ini pulalah yang menciptakan dinamika hidup manusia. Jika manusia itu altruis atau tidak egosentris, sulit dibayangkan adanya dinamika politik dan bisnis.

Kecenderungan egosentris ini pun memungkinkan adanya pertandingan-pertandingan olahraga, termasuk sepak bola. Politik dan bisnis yang fair dan semangat sportivitas serta fair-play dalam olahraga adalah pengembangan actus hominis menjadi actus humanus. 
Hanya, egosentrisme yang berlebihan menciptakan segala macam masalah sosial. 
Keserakahan pada dasarnya adalah egosentrisme yang berlebihan itu. Korupsi dalam segala wujudnya adalah contoh paling transparan. Jelas, korupsi tidak bisa dikatakan sebagai actus humanus karena mengingkari kontrol nurani dan hidup bersama.

Menjadi makin jelas bahwa idealnya, egosentrisme manusia perlu dikelola supaya mendatangkan kebaikan, baik itu kebaikan si individu maupun kebaikan orang lain. Inilah yang disebut budaya sebagai actus humanus, yaitu mengelola kecenderungan natural manusia supaya manusia menjadi lebih manusiawi. 

Menatapkan cermin manusia Indonesia tadi pada idealitas ini bisa menggiring pada kesimpulan bahwa manusia Indonesia 2011 belum sungguh manusiawi. Manusia Indonesia 2011 belum sungguh berbudaya.

Kesimpulan ini pun bisa didukung dengan pengamatan singkat atas situasi karut marutnya jalan raya di Jakarta, masih berserakannya sampah di mana-mana, sungai-sungai yang kotor, dan banyaknya kerusakan lingkungan yang lain, serta juga masih terjadinya intoleransi di berbagai tempat.

Hukum Kuncinya

Siapa yang harus bertanggung jawab mengelola kecenderungan manusia itu? Setidaknya ada dua lembaga. Pertama adalah agama, yang kedua adalah negara. Peran agama adalah mengasah nurani dan memberi dorongan spiritual untuk pengelolaan diri dari dalam.

Melihat maraknya hidup beragama di Indonesia sebenarnya peran agama bisa dikatakan cukup. Hanya, menjadi pertanyaan besar mengapa Indonesia terasa jalan di tempat?
Dalam hal inilah perlu ditengok peran negara. Dalam konteks pembentukan budaya manusiawi, pemerintah berperan memberi bantuan eksternal pada manusia atau warganya.

Selain dengan fasilitas, pemerintah menyediakan hukum yang dibuatnya dan ditegakkannya. Di sinilah makna hukum sebagai sarana rekayasa sosial (tools of social engineering) dapat dipahami. Jika ternyata hasilnya manusia yang setengah-setengah, dapatlah dipertanyakan bagaimana hukum ini berfungsi.

Laporan the World Justice Project tentang Rule of Law Index 2011 juga “memotret” Indonesia sebagai negara medioker. Dari kedelapan faktor yang dinilai, sebagian besar mendapat nilai di kisaran 0,50 dan ada di peringkat sekitar 30-an dari 66 negara yang diteliti.

Bahkan, untuk indeks korupsi, Indonesia hanya mendapat 0,46, atau peringkat 47 dari 66. Di antara kedelapan faktor itu, yang peringkatnya paling bagus hanyalah pembatasan kekuasaan negara yang mendapat nilai 0,66 atau peringkat 22 dari 66.

Melihat cermin ini, dan digabungkan dengan cermin-cermin lain di atas, menjadi makin jelas hukum di Indonesia belum sungguh bisa berfungsi semestinya. Hukum Indonesia belum bisa “membentuk” wajah manusia Indonesia yang berbudaya. 

Karena itu, seharusnya, untuk 2012 penegakan hukum perlu mendapat perhatian lebih serius.

Jika tidak, segala macam resolusi, baik yang dilakukan pribadi maupun institusi, betapa bagusnya, hanya akan menjadi resolusi setengah hati, resolusi tanpa tulang, resolusi tanpa penyangga. Jika memang begitu, nanti di akhir 2012 Indonesia tetap saja menjadi negara medioker dan warganya tetap menjadi setengah manusia!

1 komentar:


  1. Saya sangat bersyukur kepada Ibu Fraanca Smith karena telah memberi saya
    pinjaman sebesar Rp900.000.000,00 saya telah berhutang selama
    bertahun-tahun sehingga saya mencari pinjaman dengan sejarah kredit nol dan
    saya telah ke banyak rumah keuangan untuk meminta bantuan namun semua
    menolak saya karena rasio hutang saya yang tinggi dan sejarah kredit rendah
    yang saya cari di internet dan tidak pernah menyerah saya membaca dan
    belajar tentang Franca Smith di salah satu blog saya menghubungi franca
    smith konsultan kredit via email:(francasmithloancompany@gmail.com) dengan
    keyakinan bahwa pinjaman saya diberikan pada awal tahun ini tahun dan
    harapan datang lagi, kemudian saya menyadari bahwa tidak semua perusahaan
    pinjaman di blog benar-benar palsu karena semua hautang finansial saya
    telah diselesaikan, sekarang saya memiliki nilai yang sangat besar dan
    usaha bisnis yang patut ditiru, saya tidak dapat mempertahankan ini untuk
    diri saya jadi saya harus memulai dengan membagikan kesaksian perubahan
    hidup ini yang dapat Anda hubungi Ibu franca Smith via email:(
    francasmithloancompany@gmail.com)

    BalasHapus