Rabu, 25 Januari 2012

Format Ulang Upah Buruh


Format Ulang Upah Buruh
Rekson Silaban, KETUA MPO KSBSI
Sumber : KOMPAS, 25 Januari 2012


Intensitas aksi unjuk rasa buruh yang menuntut kenaikan upah minimum meningkat tajam, baik dari skala massa maupun daerah yang terlibat.

Konsolidasi buruh yang semakin kuat ditambah dengan jaringan media sosial membuat cerita sukses kemenangan buruh di satu daerah cepat menyebar dan ditiru daerah lain, bahkan dengan tuntutan kenaikan yang lebih tinggi. Kenaikan upah minimum di DKI Jakarta yang sebelumnya dianggap tertinggi (18,5 persen) kalah dengan kenaikan upah minimum 30 persen di Banten, Sulawesi Utara, Bekasi.

Sekalipun tidak semua negara memiliki konsep upah minimum—seperti Malaysia, Singapura, Jerman—setidaknya ada tiga hal utama dalam menentukan upah.

Pertama, upah minimum sebagai jaring pengaman sosial. Inilah respons pemerintah dalam melindungi buruh agar kebutuhannya yang paling dasar dapat terpenuhi. Dalam hal ini pemerintah menentukan harga minimal sehingga sekaligus juga berperan melindungi buruh dari kemungkinan dieksploitasi majikan. Dalam pendekatan ini, upah minimum terutama untuk melindungi kelompok buruh paling rentan, misalnya buruh tanpa keahlian, pensiunan lanjut usia, informal, dan usaha kecil/mikro.

Kedua, upah minimum yang dipadukan dengan jaminan sosial. Sejumlah negara mengaitkan upah minimum dengan tunjangan keluarga, pensiun, pengangguran, perumahan, kesehatan. Namun, sistem ini sering menimbulkan tekanan fiskal terhadap anggaran negara. Maka, praktik ini umumnya hanya dilakukan oleh negara-negara kesejahteraan (welfare states).

Ketiga, upah minimum bertingkat. Upah minimum dibedakan sesuai klasifikasi usaha. Misalnya, Vietnam membuat upah minimum yang berbeda antara perusahaan domestik dan perusahaan asing. Australia membuat tiga jenis: upah minimum federal, upah minimum pertanian, upah minimum lunak (soft assistance). Negara lain membedakan upah minimum berdasarkan usaha skala kecil/mikro dengan usaha skala besar.

Sumber Masalah

Munculnya konflik upah minimum di Indonesia salah satunya bersumber dari ketidakjelasan varian yang digunakan. Konsep upah minimum yang kita praktikkan saat ini sebenarnya adalah upah minimum jaring pengaman, setidaknya bisa dilihat dari 46 komponen upah minimum seperti tertuang dalam Kepmenaker No 17/2005. Kuantitas dan kualitas bahan makan, sandang, dan perumahan yang disediakan sangat minim.

Upah minimum kita juga hanya ditujukan terhadap buruh lajang yang bekerja di bawah satu tahun. Dengan komponen seperti itu, adalah sebuah kesalahan jika menggunakan upah minimum jaring pengaman untuk menuntut upah hidup layak karena konsepnya memang hanya melindungi buruh rentan.

Meski demikian, karena UU No 13/2003 mengamanatkan upah minimum untuk mencapai hidup layak, kalangan serikat buruh akhirnya menggunakan upah minimum sebagai alat menuntut hidup layak. Persoalannya adalah apakah buruh di Jakarta bisa hidup layak dengan upah Rp 1.529.000? Sesuai hasil survei dewan pengupahan, upah tersebut sudah sama dengan upah hidup layak.

Apakah upah minimum melindungi semua buruh? Tidak! Upah minimum hanya melindungi minoritas buruh. Kenaikan upah minimum tentu saja penting. Sayangnya, cakupan upah minimum hanya untuk melindungi sebagian kecil buruh, yaitu buruh formal saja. Sementara angkatan kerja informal yang berjumlah 67 persen (70 juta orang) tidak memiliki perlindungan upah sama sekali. Dengan kata lain, buruh formal yang minoritas dilindungi, tetapi buruh informal yang mayoritas tidak dipikirkan.

Selain itu, kenaikan upah minimum yang ditetapkan dewan pengupahan dengan metode survei dan pendekatan umum (tanpa memandang skala usaha, produktivitas), pasti menghasilkan rekomendasi upah yang tidak sesuai realitas perusahaan. Ini mendorong pengusaha tidak patuh dalam pembayaran upah dan mempekerjakan sedikit pekerja.

Pengalaman menunjukkan, kenaikan upah yang terlalu tinggi di sektor industri kota akan menghambat perekrutan tenaga kerja di sektor tersebut, tetapi meningkatkan lapangan kerja di sektor pertanian dan informal. Efek kenaikan tajam upah minimum tanpa mengaitkannya dengan produktivitas juga meningkatkan ketidakpatuhan.

Berdasarkan laporan Bank Dunia Juni 2010, ketidakpatuhan pembayaran upah minimum tahun 2007 sudah mencapai 40 persen. Jadi, dari jumlah buruh formal 33 juta, hanya 19 juta buruh yang terlindungi pemerintah, sedangkan 85 juta angkatan kerja lain tidak mendapat perlindungan. Inilah salah satu jawaban, mengapa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi ternyata tidak berdampak pada penurunan angka pengangguran dan kemiskinan rakyat.

Dua Jenis Upah

Tidak ada jalan lain. Pemerintah Indonesia harus segera mereformasi sistem pengupahan sekarang dengan menetapkan dua jenis upah: upah minimum jaring pengaman dan upah hidup layak.

Upah minimum ditujukan untuk melindungi buruh rentan, sementara untuk mencapai hidup layak perlu upah hidup kayak yang besarnya di atas upah minimum. Komponen upah hidup layak bisa ditambah sesuai definisi hidup layak.

Upah minimum direkomendasikan oleh dewan tripartit kabupaten/kota, sementara upah hidup layak dirundingkan secara bipartit di masing-masing perusahaan. Cakupan upah minimum akan lebih tinggi karena semua buruh rentan, termasuk informal, buruh harian lepas, pekerja rumah tangga, buruh tani dan nelayan, dicakup dalam aturan baru ini.

Format upah hidup layak nantinya akan lebih realistis dibandingkan dengan konsep saat ini karena tuntutan buruh akan diselaraskan dengan kondisi perusahaan. Yang lebih penting lagi, format baru ini akan sulit dipolitisasi karena buruh tidak lagi beraksi pada tingkat kabupaten/kota. Buruh pun akan menimbang-nimbang dulu sebelum beraksi karena ada rasa kepemilikan terhadap kelangsungan usaha. Tinggal bagaimana membangun perundingan upah bipartit ini lewat kejujuran dan transparansi keuangan perusahaan.

Yang juga penting diperhatikan adalah adanya korelasi positif antara keberadaan serikat buruh dan perbaikan upah. Sesuai studi Organisasi Buruh Internasional (ILO), upah buruh akan lebih baik ketika buruh memiliki serikat. Riset Bank Dunia mengonfirmasi fakta ini dengan menyebutkan upah buruh akan 18 persen lebih tinggi di perusahaan yang ada serikat buruhnya. Para buruh juga berpeluang lebih besar menerima tunjangan non-upah, seperti uang pesangon, pelatihan, pensiun, dan bonus, jika dibandingkan dengan buruh tanpa serikat.

Semua itu terjadi sebagai akibat adanya perjanjian kerja bersama antara serikat buruh dan majikan. Jadi, keberadaan serikat buruh sangat penting di luar mekanisme perlindungan negara karena lebih efektif dalam melindungi hak-hak buruh. Itu sebabnya di negara yang kebijakannya ramah terhadap buruh (labor friendly policy), konflik buruh sangat rendah, upah lebih baik, dan ketimpangan upah juga rendah.

Terakhir, pemerintah perlu memperbaiki pengawasan ketenagakerjaan, penegakan hukum, mengurangi biaya siluman, dan mencegah sikap antiserikat buruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar