Selasa, 24 Januari 2012

Kritik Syiah Sudah Proporsional


Kritik Syiah Sudah Proporsional
(Tanggapan untuk Haidar Bagir)
Mohammad Baharun, KETUA KOMISI HUKUM MUI PUSAT GURU BESAR SOSIOLOGI AGAMA
Sumber : REPUBLIKA, 24 Januari 2012


Setiap kasus mungkin ada hikmah di baliknya, termasuk kasus Sampang kira nya bisa membuka mata dan memberi peluang interaksi positif untuk tujuan menjernihkan masalah. Rupanya berbagai pernyataan yang merespons perkara Sampang cukup banyak dan beragam. Barangkali, ini merupakan indikasi besarnya perhatian umat terhadap persoalan agama.

Kritik-kritik yang ditujukan dan ataupun respons yang ada selama ini saya kira sudah cukup proporsional, termasuk yang telah memberikan pernyataan dan opini dalam konteks ini adalah al-Akh Haidar Bagir yang menjawab artikel Insists (Republika, 20 Januari 2011) tentang tawaran solusi damai. Saudara Bagir yang termasuk paling rajin menerbitkan buku-buku Syiah telah memaparkan “tiga kelemahan“ versi beliau-yang sesungguhnya dalam konteks ini perlu dilengkapi agar tidak menimbulkan asumsi yang keliru.

Pertama, soal generalisasi. Kajian tentang Syiah Itsna Asyariah (Syiah 12) tidak digeneralisasi sebab kepustakaannya paling banyak dan mudah didekati ketimbang Syiah yang lain, seperti Ismailiyah, Kaisaniyah, dan Qurabiyah. Kitab-kitab rujukan Syiah Itsna Asyariah atau Ja'fariah adalah kitab Empat (al-Kutub al-Arba'ah, yaitu: Al-Kafi, Man La Yahdhuruhul Faqih, Tahdzib al-Ahkam, dan Al-Istibshar), dan paling otoritatif adalah Al-Kafi yang di dalamnya ada bab “Al-Hujjah“ berisi argumen penting tentang pokok-pokok agama (Ushul alDien).

Misalnya, teks Al-Kafi ketika menyebut kitabullah mengatakan bahwa “Alquran yang diturunkan Jibril kepada Nabi Muhammad itu 17 ribu ayat. (Al-Kafi, I/634).“

Karena itu, Abu Ja'far bersabda bahwa “Siapa yang mengaku mengumpulkan seluruh isi Alquran sebagaimana diturunkan, maka ia pembohong. Tidak ada yang menghimpun dan menghafalnya seperti apa yang diturunkan oleh Allah kecuali Ali bin Abi Thalib dan para imam sesudahnya.“ (AlKafi, I/228). Inilah yang tersurat di dalam teks hadis Syiah Itsna Asyariah.

Karena itu, jika ada pendapat lain (tersirat) yang menerima Mushaf Usman sebagaimana disebutkan al-Akh Haidar, tentu antagonistis dengan realitas ini.
Apalagi Usman pun tidak luput dari diskualifikasi mayoritas Syiah sehingga timbul pertanyaan, bagaimana mungkin mushafnya diterima, tetapi yang menghimpunnya dicerca.

Sementara itu, perlu diketahui bahwa Al-Kafi yang disusun oleh Imam al-Kulayni (wafat 329 H) ini telah banyak mendapat pujipujian dari para imam dan pembesar ulama Syiah sendiri. Misalkan, an-Nury yang yakin bahwa Al-Kafi sudah dikoreksi Imam Mahdi (An-Nury malah mengarang kitab berjudul Fashl al-Khitab fi Itsbati Tahrifi Kitab Rabb al-Arbab, yang meyakinkan Alquran mengalami `tahrif besarbesaran'. Dan, ini sejalan dengan ulama ahli hadis Syiah lainnya, seperti al-Kufi, al-A'yasyi, dan an-Nu'many).

Di samping itu, an-Najashi menyebut al-Kulayni sebagai “orang paling tepercaya“ (authaq al-Nas), sedangkan Syekh al-Mufid menyebut karyanya sebagai “kitab paling agung“ dan al-Astabaradi mengatakan bahwa “belum ada sebuah kitab yang ditulis dalam Islam yang dapat menyamai AlKafi. Majalah Waris No 14/Th IV/Muharram-Safar 1419 H, hlm 13 (yang diterbitkan Kedubes Iran di Jakarta) menyebut hadis-hadis al-Kulayni ini telah “diakui lawan dan kawan“.

Berdasarkan sumber dari Syiah sendiri, ini bermula dari keyakinan yang berbeda dengan mayoritas mengenai Alquran terse ` but, bukan sekali-kali karena generalisasi, apalagi bermaksud untuk menukil pandangan yang ganjil (syadz) sebagaimana dikemukakan.

Kedua, pandangan yang mengambil contoh adanya khazanah yang mengatakan bahwa terdapat pernyataan Alquran tidak lengkap bukanlah pandangan Sunni. Rasanya mungkin saja ada riwayat yang menulis seperti itu, tetapi tidak mewakili pandangan jumhur (mayoritas ulama). Apalagi, kebiasaan segelintir penulis Syiah ada yang suka menyamar (dalam kemasan taqiyah) sebagai Sunni sehingga khazanah ini digunakan sebagai rujukan yang kemudian dengan lantang dikatakan “Hadza min Ahlis Sunnah....“ (Ini dari ahlusunah).

Perlu ada verifikasi (tarjih) atas data-data yang menyimpang itu secara serius, terutama dari para mufasir yang otoritatif agar kemudian tak ada dusta setelah itu.

Ketiga, soal Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang sering dikatakan 80 tahun atau ada yang menyebutkan 70 tahun, bahkan 100 tahun dikecam di atas mimbar. Taruhlah riwayat ini benar (hadis Nabi saja dipalsukan, apalagi riwayat sesudah beliau SAW wafat).

Tetapi, mengapa harus dikaitkan dengan ahlusunah?  Bukankah sejak awal yang mengecam Ali bin Abi Thalib itu kaum Khawarij, bahkan sampai mem bunuhnya? Malah, sesudahnya pun mereka tetap saja mencerca Ali dan keluarganya. Jelas bahwa perbuatan buruk itu tidak pernah menjadi kesepakatan ahlusunah waljamaah (aswaja). Karakter aswaja tak pernah berubah dalam menghormati dan mengagungkan Ahl Bayt Rasulullah SAW, tetapi tentu saja tanpa ghuluw dan pengultusan.

Keempat, saya menghormati `fatwa' Ayatullah Ali Khomenei yang melarang penghinaan terhadap Sunni. Namun, apakah Khomeini tahu yang terjadi di lapangan; di mana para tamatan Qum yang pulang ke Tanah Air menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan syiasisasi yang lantas menyebabkan Sunni cemas?  Juga, apakah sudah tahu masih terus berlangsungnya penistaan terhadap para pemuka sahabat dan kedua istri Nabi SAW (`Aisyah dan Hafshah), pelecehan terhadap hadis-hadis Bukhari dalam kemasan “kajian ilmiah sejarah“ sebagai pembenar?  Selain itu, ada penguasaan masjid yang kemudian azan Maghribnya diundur sampai gelap malam. Ada pula pengambilalihan madrasah, kemudian diganti asasnya dari aswaja. Inilah hakikatnya yang menjadi pemicu ketegangan antara Sunni-Syiah selama ini yang perlu dipahami dengan penuh kearifan.

Menurut saya, ketegangan Sunni-Syiah ini harus segera dicari solusinya untuk tujuan Indonesia yang damai. Hemat saya, metode yang terbaik adalah kita mencari akar permasalahannya terlebih dahulu sembari melakukan pencegahan.

Penulis setuju dengan pernyataan Prof DR Mahfud MD tatkala merspons kasus Sampang: adili pelaku kekerasan, tetapi juga adili yang melakukan penistaan/penodaan agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar