Kamis, 26 Januari 2012

Sengkarut Citra Kepolisian


Sengkarut Citra Kepolisian
Reza Indragiri Amriel, DOSEN PSIKOLOGI FORENSIK UNIVERSITAS BINUS, JAKARTA;
PESERTA COMMUNITY POLICING DEVELOPMENT PROGRAM, JEPANG
Sumber : KORAN TEMPO, 26 Januari 2012

Tekanan bercampur kecaman ke arah institusi Kepolisian RI kian deras. Banyak kalangan beranggapan, wibawa korps Tribrata itu saat ini benar-benar di tebing. Presiden Yudhoyono sendiri, pada pembukaan Rapim Polri (17 Januari 2012), membesarkan hati Polri agar tidak gundah oleh hujatan publik. Persoalannya, bagaimana mungkin Polri tidak berkecil hati dan tidak risau manakala di dalam hujatan masyarakat itu bersimpul berbagai masalah yang lebih karut-marut lagi?

Andai hari ini dilakukan survei kepercayaan publik terhadap Polri, kecil kemungkinan Polri berada pada posisi yang meyakinkan. Bandingkan dengan, antara lain, survei MORI pada 1983-2006, yang menempatkan kepolisian Inggris (selaku lembaga pelayanan publik) pada posisi menengah sebagai lembaga yang dipercaya masyarakat. Juga survei George Mason University pada 2000-an, di mana lembaga kepolisian berada di peringkat tiga dari sepuluh besar.

Jika citra negatif Polri berlarut-larut, keselamatan para personel Polri di lapangan bisa sangat berisiko. Walau cedera atau bahkan kematian merupakan risiko yang melekat erat dengan profesi polisi, cedera maupun tewasnya aparat Polri saat menjalankan tugas--pada dasarnya--adalah juga kematian manusia. Pada tataran itu, nilai mereka setara dengan cedera, apalagi kematian, warga masyarakat yang disebut-sebut menjadi korban kebrutalan polisi. Manakala personel Polri sadar akan meningginya risiko maut saat bertugas, reaksi psikologis berupa turunnya kendali emosi dan perilaku betapapun manusiawi pada gilirannya dapat berisiko pada keselamatan publik.

Dengan reputasi yang melorot, efektivitas kerja Polri menjadi persoalan penting. Situasi memang belum tentu linear, melainkan bisa saja berputar-putar: apakah reputasi yang mempengaruhi kerja Polri, ataukah keandalan yang kurang memadai yang pada gilirannya menentukan citra Polri? Bagaimanapun buruknya citra Polri di mata masyarakat, Polri tetap harus bekerja. Jadi, bukan perbaikan citra yang harus disasar. Pada pembenahan kerja semestinya Polri semata-mata memfokuskan diri.

Persepsi masyarakat terhadap institusi kepolisian sebenarnya tidak ditentukan oleh institusi Polri sendiri. Di samping turut dipengaruhi oleh pemerintah yang tengah berkuasa dan konstelasi politik secara sekaligus, Polri hanya satu dari sekian lembaga penegakan hukum yang ada. Jadi, persepsi publik terhadap Polri, disadari maupun tidak, juga dipengaruhi oleh kerja lembaga-lembaga penegakan hukum selain Polri.

Dapat dinalar, sebaik apa pun kerja Polri, ketika institusi hukum selain Polri menunjukkan performa yang tidak seimbang, maka Polri yang akan paling buruk terkena getahnya. Publik mengarahkan kritik paling tajam utamanya kepada Polri. Ini konsekuensi dari posisi polisi, dibandingkan misalnya jaksa dan hakim, selaku penegak hukum yang berhubungan paling dekat dan paling langsung dengan masyarakat.

Tambahan lagi, peran polisi pun tampak lebih mengemuka dalam situasi menjelang puncak krisis serta pada titik ledakan krisis. Dalam dua episode krisis tersebut, aksi-aksi kekerasan kian berpeluang terjadi. Kendati kekerasan sendiri hingga beberapa segi memang merupakan bagian dari kerja formal polisi dalam rangka menjalankan tugas, situasi krisis akan menempatkan aparat di lapangan pada situasi di mana sekat antara kekerasan dan kebrutalan menjadi sangat tipis.

Peran sedemikian rupa tak ayal akan melekatkan Polri dengan sisi penegakan hukum yang keras. Berbeda dengan jaksa dan hakim, yang “baru” mulai bekerja tatkala puncak krisis sudah berlalu dan sisi keras tadi sudah disaring (diredakan) polisi. Jaksa dan hakim, dengan kata lain, bekerja ketika kejadian pelanggaran hukum ataupun kejahatan telah dikemas ke bentuk lembut.

Kondisi semacam itu, walhasil, menuntut Polri dan jajaran penegak hukum lainnya untuk terus bersinergi. Perombakan seradikal apa pun di tubuh Polri tidak akan benar-benar berefek produktif, baik bagi kerja maupun citra, selama pembenahan tersebut masih berlangsung sektoral atau tidak terintegrasi dengan perombakan pada lembaga-lembaga penegakan hukum lainnya secara simultan.

Penilaian masyarakat terhadap institusi Polri juga tidak sebatas pada hasil kerja. Meningginya ekspektasi publik akan standar kerja dan etika Polri membuat masyarakat tidak lagi menakar keberhasilan kerja Polri berdasarkan statistik kejahatan, misalnya. Bahkan rendahnya angka kejahatan tidak akan banyak mengubah persepsi publik apabila pada masa yang sama dua wujud perpolisian yang memangsa (predatory policing) masih lebih dominan ketimbang perpolisian yang santun dan bersih. Ini kiranya yang menjadi penjelasan mengapa masyarakat begitu antusias mencela kerja Polri di Bima namun dingin saja merespons keberhasilan Polri mengamankan puluhan kilogram ekstasi dari tangan sindikat narkoba.

Jadi, tanpa mengesampingkan penuntasan kasus, justru Polri perlu lebih banyak melakukan koreksi terhadap cara-cara kerja mereka menuntaskan kasus. Terkait cara kerja, saya menekankan bahwa langkah koreksi tidak semestinya bertumpu pada Propam sebagai unit yang berpendekatan penghukuman (punitive). Laiknya pemadam kebakaran, Propam lebih terpusat pada personel yang bermasalah. Sebagai gantinya, unit Polri yang berhubungan dengan pemberdayaan, yakni pembinaan sumber daya manusia serta pendidikan dan pelatihan, sepatutnya dijadikan sebagai ujung tombak bagi aktivitas koreksi tersebut.

Satu elemen yang erat hubungannya dengan pencitraan institusi kepolisian adalah media massa. Lazimnya, masyarakat menjadikan pemberitaan media sebagai referensi atas pandangan-pandangan mereka terhadap Polri. Persoalannya, ada pola tipikal bahwa media lebih menaruh perhatian pada kejadian-kejadian sensasional. Pewartaan media tentang kinerja kepolisian juga cenderung membingkai polisi sebagai pihak yang gagal menjalankan tugas. Pola seperti itu, bisa dipahami, akan membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap kepolisian.

Terlepas dari itu, ternyata media bukan segalanya. Riset menunjukkan, penilaian bukan hanya pandangan publik terhadap kepolisian jauh lebih ditentukan oleh kontak terakhir antara masyarakat dan petugas polisi. Implikasi temuan ini adalah pentingnya polisi membangun relasi seintensif dan sepositif mungkin dengan masyarakat. Semakin banyak dan mutakhir pengalaman masyarakat berhubungan langsung dengan polisi, itulah yang akan mengangkat citra polisi.

Pada saat yang sama, saya mempertanyakan relevansi keberadaan unit humas Polri. Unit semacam ini dapat memunculkan salah kaprah di kalangan personel Polri sendiri, yakni mereka menganggap bahwa kehumasan seolah merupakan domain unit tertentu saja. Atas dasar itu, di masa mendatang, patut dipertimbangkan opsi pembubaran unit humas atau pembatasan lingkup kerja unit tersebut menjadi unit hubungan media (media relations). Pada saat yang sama, kehumasan dikembalikan ke kodratnya sebagai aktivitas yang harus ditekuni, bahkan sukma yang harus dihayati, oleh setiap insan Polri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar