Rabu, 29 Februari 2012

Diplomasi Sawit



Dinna Wisnu, DIREKTUR PASCASARJANA BIDANG DIPLOMASI, UNIVERSITAS PARAMADINA
Sumber : SINDO, 29 Februari 2012



Kekuatan diplomasi yang belum dimanfaatkan secara optimal oleh Indonesia adalah kelapa sawit. Saat ini Indonesia penyumbang nomor 1 pasokan sawit dunia. Negara lain membutuhkan suplai minyak sawit karena selain harganya lebih terjangkau, pasokannya pun bisa lebih cepat ditingkatkan dengan luas lahan lebih kecil.

Karena itu,diplomasi Indonesia perlu dikembangkan agarnegara lain menerima produk minyak sawit Indonesia,punya kemudahan akses untuk membeli minyak sawit Indonesia, dan punya jaminan kerja sama yang menguntungkan dalam perkebunan- perkebunan sawit asing yang beroperasi di Indonesia. Penerimaan terhadap sawit Indonesia sangat terkait dengan standar ramah lingkungan.

Meski sejumlah negara besar seperti China dan India lebih peduli kuantitas pasokan minyak sawit, kita tidak dapat mengabaikan kebijakan lingkungan terhadap pasar CPO ke Eropa dan Amerika. Pengurangan sekecil apa pun akan memengaruhi harga CPO di pasar dunia dan merugikan kita. Selain itu, industri hilir yang menyerap CPO masih didominasi Eropa dan Amerika, misalnya Unilever, McDonald, Nestle,dan Burger King.

Karena perusahaan-perusahaan tersebut mengikuti kebijakan di kantor pusatnya, tidak mustahil bisa terjadi tuntutan terhadap misalnya McDonald di Indonesia bila ditemukan pelanggaran aturan hukum di sana. Bayangkan berapa ribu restoran siap saji yang sebetulnya tergantung dari kebijakan diplomasi kelapa sawit kita.

Selain itu, sawit punya masa depan cerah sebagai pemasok kebutuhan energi terbarukan: biodiesel. Uni Eropa telah mewajibkan penggunaan 20% biofueldi seluruh Eropa pada tahun 2020.Di atas kertas,sebetulnya minyak nabati Indonesia dapat masuk ke dalam pasar biofuel tersebut, tetapi Eropa tentu memperhatikan kepentingan produksi minyak nabati dalam negeri sendiri. Untuk melindungi kepentingan tersebut, sejumlah kriteria ditetapkan.

Eropa menetapkan, mereka hanya mau membeli minyak sawit yang tesertifikasi ramah lingkungan, yakni sesuai standar RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). AS mengumumkan penolakannya atas minyak sawit yang tidak ramah lingkungan untuk biodiesel. Bagi kita, kriteria itu perlu dipandang sebagai tantangan dan bukan sekadar kebijakan proteksi yang menghambat.

Untuk itu, para diplomat Indonesia perlu lebih mengenal pergulatan para produsen sawit dan aktivis lingkungan hidup di Tanah Air.Komunikasi yang lancar dengan para praktisi sawit merupakan suatu keharusan. Pada saat ini Kementerian Luar Negeri (Kemlu) justru belum masuk dalam lingkar komunikasi dengan produsen sawit. Diplomat juga perlu membina saling pengertian dengan aktivis lingkungan ketimbang menjauhi mereka.

Diplomasi tidak hanya mengandalkan keterampilan negosiasi, tetapi juga pemahaman persoalan secara teliti. Dalam kelapa sawit,beberapa soal yang sering diungkapkan baik oleh perkebunan maupun aktivis lingkungan hidup, antara lain, pertama, pengaturan izin dan lokasi penggunaan lahan untuk sawit. Di mata dunia, rapor Indonesia dalam bidang ini masih merah. Kedua, dalam konteks pasar Eropa dan Amerika,pengelolaan sawit di Indonesia dinilai belum sesuai dengan standar ramah lingkungan.Padahal pada saat yang sama, pasokan sawit perlu diserap oleh pasar.

Jika Eropa dan Amerika menolak pasokan dari Indonesia, perlu dipikirkan pasar lain sambil perkebunan memperbaiki standar pengelolaannya. Para produsen sawit di Indonesia juga mengemukakan, mereka kalah dibandingkan Malaysia, misalnya, dalam hal dukungan pemerintah atas produksi, pemasaran, dan dukungan harga. Ironisnya,Malaysia relatif tergantung pada Indonesia juga karena mereka punya lahan yang cukup besar di Indonesia.

Maka ketika minyak sawit ditekan oleh negaranegara Barat, mereka pun berharap dapat memadu kekuatan untuk menggugat dan menyanggah tudingan tersebut. Di sinilah kepiawaian diplomat Indonesia dibutuhkan.Kelapa sawit adalah tanaman keras yang berusia puluhan tahun. Sawit baru bisa berproduksi setelah ditanam 3–4 tahun.

Artinya, sambil para pengusaha sawit dan kementerian lain berbenah diri,para diplomat perlu punya langkah strategis untuk memajukan kepercayaan dunia atas minyak sawit Indonesia. Keramahan terhadap lingkungan, selain diperjuangkan melalui keikutsertaan dalam sertifikasi RSPO, kini juga sedang dikembangkan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil),yakni sertifikasi wajib dari Pemerintah Indonesia bagi semua perkebunan sawit yang beroperasi di Indonesia.

Selain membuktikan secara ilmiah, diplomat Indonesia perlu mempersiapkan strategi untuk meyakinkan Eropa dan Amerika agar mengakui ISPO. Selain itu, perlu dipikirkan mekanisme swap aga rnegara- negara lain tidak ragu membeli minyak sawit Indonesia. Selain itu, diplomat Indonesia tak bisa lagi menutup mata akan pentingnya menegosiasikan kondisi tenaga kerja dalam perusahaan-perusahaan asing, apalagi yang beroperasi di Tanah Air seperti di kebun sawit.

Saat ini sejumlah perusahaan asing masih selalu berpatokan pada upah minimum belaka. Di sini pemerintah perlu tanggap agar tenaga kerja Indonesia pun bisa menikmati manisnya sawit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar