Selasa, 28 Februari 2012

Ekonomi-Politik Kenaikan Harga BBM


Ekonomi-Politik Kenaikan Harga BBM
Anggito Abimanyu, DOSEN FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS UGM, YOGYAKARTA
Sumber : REPUBLIKA, 27 Februari 2012



Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bukan merupakan tujuan dari kebijakan energi. Kalau boleh memilih, meskipun kebijakan di tangan mereka, baik birokrat maupun politikus, akan menolak kenaikan harga BBM.

Studi UGM, UI, dan ITB (2011) membuktikan bahwa pilihan kenaikan harga BBM adalah pilihan terakhir bagi para pengambil kebijakan. Di samping berdampak pada sosial-ekonomi, secara politis menaikkan harga BBM adalah tindakan yang hanya akan menurunkan popularitas.

Masalah BBM tidak dipisahkan dari persoalan politik dan hal tersebut sulit untuk dipisahkan. Apalagi, menjelang momentum pesta demokrasi di mana ada kelompok tertentu yang memanfaatkan hal itu. Secara global pun harga minyak mentah sangat dipengaruhi oleh politik, seperti sering terjadi antara kepentingan politik negara penghasil minyak, khususnya di Timur Tengah, dan kepentingan negara adikuasa, khususnya Amerika Serikat.

Negara net importir seperti Indonesia sering tidak berdaya akan kenaikan harga minyak dunia yang bersifat artifisial. Untuk menghilangkan politisasi harga BBM, harga BBM harus disesuaikan secara perlahanlahan dan jika sudah mencapai harga keekonomian lalu dilepaskan mengikuti perkembangannya. Dengan demikian, harga BBM tidak lagi ditentukan dengan keputusan politik di DPR.

BBM hanya akan menjadi urusan DPR jika menggunakan dana subsidi APBN dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Harga produk BBM nonsubsidi, seperti Pertamax, aftur, pelumas, ataupun BBM untuk industri tidak diatur lewat keputusan DPR. Karena itu, jika sudah ada bahan bakar gas (BBG) untuk transportasi tanpa subsidi, sudah lepas dari pembahasan rutin di DPR.

Meskipun masuk di dalam pembahasan DPR, banyak pihak yang menginginkan tidak ada politisasi dalam penetapan kebijakan BBM. Guru Besar Universitas Indonesia Emil Salim meminta politikus bersikap kooperatif dan tidak memperkeruh suasana dengan membuat isu BBM kian memanas.

“Lihat secara jernih, rasionalnya harga minyak dunia naik, subsidi akan membengkak, dan kenaikan harga BBM tidak akan meningkatkan jumlah masyarakat miskin,“ kata Emil Salim, Jumat (24/2). Menurut dia, imbas kenaikan BBM tidak akan berakibat pada penambahan masyarakat miskin karena distribusi bebannya cenderung lebih banyak pada kelas menengah ke atas.

Emil mengimbau masyarakat untuk tidak terjebak kepentingan politis yang menggunakan isu itu untuk kepentingan politik. Yang jelas, menurut pendapatnya, dampak yang akan diterima oleh masyarakat miskin kecil dan bisa ter-cover oleh program peningkatan masyarakat.

Sama halnya yang diungkapkan oleh Ketua Laboratorium Penelitian Pengabdian pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Universitas Padjadjaran, Bandung, Arief Anshory Yusuf, yang mengatakan, kenaikan harga BBM tidak seharusnya digembar-gemborkan ke arah kemiskinan. Yang jelas isu kenaikan BBM subsidi tidak sesensitif dulu saat masih ada minyak tanah yang dikonsumsi oleh sebagai besar masyarakat menengah ke bawah.

Melindungi Golongan Lemah

Guru Besar Ekonomi Lingkungan dari Gothenborg University, Swedia, Prof Thomas Sterner, menyebutkan, kebijakan terkait BBM memang selalu menjadi persoalan di setiap negara, termasuk di negara maju sekalipun.
“Pemberian subsidi adalah hal wajar di semua negara. Kalau memang akan memberi subsidi untuk transportasi publik, bisa dilakukan dengan cara lain, seperti subsidi terhadap kredit kendaraan umum atau insentif tambahan bagi gaji sopir,“ kata Sterner menyampaikan masukan alternatifnya.

Alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM adalah supaya biaya subsidi bisa diberikan tepat sasaran, yakni kepada mereka yang miskin. Alasan yang dikemukakan itu memang begitu rasional dan logis. Logika yang dipakai pemerintah selama ini bahwa yang menikmati harga BBM tersubsidi adalah hanya orang kaya.

Dari waktu ke waktu, memang kebijakan penaikan harga BBM (dalam berbagai bentuknya) sering tidak diimbangi kemudahan bagi orang miskin dan perbaikan fasilitas umum. Ada kecenderungan bahwa dana kompensasi yang ada kurang tepat sasaran karena disalahgunakan untuk kepentingan di luar hal ini.

Itulah yang membuat publik selalu ragu akan penaikan harga BBM bisa mengurangi kaum miskin. Dua hal yang menurut publik, dalam kenyataannya, selalu bertolak belakang dan tak ada buktinya di lapangan secara konkret. Penaikan harga BBM sering tidak diimbangi dengan penghapusan praktik pungli yang melekat dalam diri birokrasi dan pelayanan publik.

Ketidakmampuan pemerintah menghapuskan biaya tinggi (hight cost) itulah yang membuat kebijakan penaikan harga BBM tidak mengubah nasib kaum miskin. Kaum miskin hidupnya semakin tersisih dalam daya tawarnya terhadap kekuatan global yang sekarang ini telah merasuki kekuatan politik dan pasar.

Kenaikan Harga BBM Sebagai Solusi?

Pada 2012 ini pemerintah kembali dihadapkan pada ke naikan harga minyak dunia. Meskipun kenaikan tersebut dipicu karena ketegangan politik sesaat di Timur Tengah, tidak ada seorang pun yang berani memprediksikan berapa lama hal itu akan berlangsung.

Banyak yang menyarankan, seharusnya pada 2011 pemerintah sudah menaikkan harga BBM, khususnya Premium, secara bertahap dan tidak memberatkan. Dengan kenaikan bertahap tersebut, dampaknya tidak terasa. “Hanya dengan cara menaikkan harga BBM, kita bisa memperbaiki perekonomian bangsa dan mengurangi beban pemerintah. Naiknya Rp 2.000 oke, masih dapat dijangkau,“ kata mantan wapres Jusuf Kalla.

Kalla menambahkan, meskipun kebijakan kenaikan harga BBM dianggap tidak populis, pemerintah harus segera mengambil langkah itu untuk mengalihkan anggaran subsidi pada pembangunan infrastruktur nasional. “Bukan soal diterima atau tidak oleh publik, mau baik infrastruktur atau tidak. Kalau subsidi BBM tinggi, tidak mungkin kita bisa perbaiki jalan, pilihannya di situ,“ kata JK.

Kepastian pemerintah untuk menaikkan harga BBM itu disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat sidang kabinet, Rabu (22/2). “Harga BBM mau tidak mau mesti disesuaikan dengan kenaikan yang tepat, kenaikannya dalam nilai tertentu,“ kata Presiden SBY tanpa menjelaskan lebih rinci pelaksanaan kenaikan harga BBM subsidi ini.

Dalam jangka pendek, daya beli masyarakat sudah pasti akan terpukul walau tak terlalu lama. Sebab, pemerintah sudah memberikan kompensasi berupa kenaikan gaji PNS, kenaikan upah tenaga kerja, dan ada bantuan tunai langsung. Butuh waktu sekitar dua-tiga bulan untuk menyesuaikan dengan kenaikan harga BBM. Setelah itu, akan kembali normal.

Pada 2005 dan 2008 kenaikan harga BBM tinggi dilakukan karena melonjaknya harga dunia juga karena keterlambatan pengambilan keputusan yang menimbulkan ketidakpastian dan spekulasi di pasar uang dan harga-harga komoditas primer. Pelajaran yang berharga dari pengalaman tersebut adalah keputusan kenaikan harga BBM tidak boleh terlambat diambil dan diputuskan.

Faktor pertama tidak dapat dihindari karena faktor eksternal. Namun, faktor kedua adalah faktor internal ekonomipolitik yang dapat dikendalikan.
Jadi, urusan jadi tidaknya kenaikan harga BBM bukan hanya persetujuan DPR, melainkan di internal ekonomi-politik pemerintahan sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar