Kamis, 23 Februari 2012

Industri Tanpa Akar Budaya

Industri Tanpa Akar Budaya
Roos Diatmoko, ANGGOTA DRN KOMTEK TRANSPORTASI 2005-2011
Sumber : KOMPAS, 23 Februari 2012



Budaya kerap terkait dengan mitos dan adat masyarakat. Budaya menjadi identitas dan artefak manusia. Budaya industri terbentuk dari budaya nasional dan organisasi yang berperan dalam industrialisasi.

Dalam era globalisasi, tidak hanya alih teknologi dan modal, budaya yang masuk pun bisa memengaruhi kebijakan industri.

Prof Mudrajad Kuncoro dalam tulisannya tentang kebangkitan mobil nasional (Kompas, 6/2) mengingatkan empat syarat agar mobnas tidak sekadar impian. Pesannya, jangan sampai Kiat Esemka gagal seperti Timor.

Daftar syarat akan bertambah karena Kiat berawal dari bengkel mobil yang bermitra SMK. Dalam konteks budaya, kendala akan muncul dalam hal tata nilai dan tujuan industri.

Transformasi Budaya

Perubahan dari ekonomi yang berbasis pertanian dan sumber daya alam menuju ekonomi berbasis industri manufaktur butuh transformasi budaya. Lambannya adaptasi perubahan menyebabkan sektor jasa jadi lebih dominan dibandingkan budaya industri. Hasilnya, pertumbuhan pendapatan yang tidak bisa diperdagangkan (non-tradeable) lebih tinggi dibandingkan pendapatan yang bisa diperdagangkan (tradeable) dari manufaktur.

Dalam laporan The Global Innovation 1000 oleh Booz & Company Inc (2011), inovasi tidak cukup didorong dengan besarnya biaya penelitian dan pengembangan. Kemajuan inovasi bisa ditingkatkan melalui sinergi strategi dan budaya.

Hofstede (1991) menyimpulkan adanya budaya terkait perilaku tenaga kerja. Di AS, misalnya, yang menonjol kepentingan individu, sedangkan Jepang mengutamakan kerja kelompok.

Polemik mobnas dan mobil Indonesia mungkin berawal dari persepsi dan kepentingan bisnis berbeda. Dalam diskusi, Ketua Asosiasi Industri Automotif Nusantara menyampaikan perlunya budaya industri melalui program mobnas terkait kemandirian industri otomotif. Selama ini, industri otomotif nasional masih dalam fase lisensi dan agen tunggal pemegang merek fokus pada kemampuan manufaktur. Padahal, pengusaha nasional seharusnya mampu menjadi prinsipal di negeri sendiri dengan merek nasional. Syaratnya, mampu mendesain integrasi teknologi.

Di pihak lain, peningkatan daya saing industri otomotif dibutuhkan. Industri otomotif nasional tumbuh hingga 14,54 persen pada 2011. Otomotif berada di depan industri manufaktur yang tumbuh 6,86 persen. Menjelang tembusnya angka penjualan 1 juta mobil, telah digagas program mobil murah dan ramah lingkungan (low cost and green car/LCGC).

Mobil LCGC ditujukan untuk menyaingi Thailand sehingga pemerintah menyiapkan insentif fiskal mobil LCGC. Investasi mobil LCGC yang akan diluncurkan Oktober 2012 bergantung pada strategi bisnis prinsipal Jepang.

Mobil LCGC direncanakan berjenis MPV, bermesin 1.000-1.200 cc, dengan konsumsi BBM 20-22 km per liter. Mobil LCGC dianggap mobil Indonesia dengan kandungan lokal minimal 80 persen. Muncul pola pikir bahwa program mobil Indonesia lebih membumi dibandingkan mimpi mobnas yang daya saingnya belum jelas. Ada mitos, mobnas sulit tumbuh di negara mana pun tanpa dukungan industri otomotif Jepang dan AS!

Artinya, mobnas sukses kalau mendapat restu prinsipal otomotif Jepang. Contohnya: mobil Proton dan Hyundai berawal dari dukungan Mitsubishi. Luar biasa apabila mitos tadi dijadikan nilai dan keyakinan.

Ubah Pola Pikir

Dalam buku Mind Set, John Naisbitt (2006) membuka rahasia masa depan melalui pola pikir. Naisbitt menyatakan era kini mirip kebun buah. Jika para pemecah masalah masih berpikir soal buah masak yang jatuh dari pohon, para pencari peluang mencari buah ranum untuk dipetik. Jika tidak pernah mencoba, tidak akan ada hasil dan peluang baru.
Ada pepatah China: bukan kaki yang menggerakkan kita, melainkan pikiran kita. Perlu peran pemimpin proaktif yang bisa mengurai polemik mobnas. Sebagai pendiri Astra, dulu William Soeryadjaya mampu meyakinkan Toyota membangun mobil MPV Kijang dengan karakter Indonesia.

Tahun 1977, pangsa pasar didominasi kendaraan niaga minibus versi Jepang. Desain Kijang kotak dengan mesin depan dianggap tidak umum. Mobil keluarga dengan DNA Indonesia sukses dan lahir lebih awal dari Renault Espace, mobil MPV pertama di dunia tahun 1984.

Dalam The Honda Way, Masaaki Sato (2006) menuturkan cara Honda memulai mobnas tanpa dukungan industri AS. Tahun 1965, industri otomotif Jepang maju pesat dengan mobil pribadi. Penjualan sedan naik 5,8 kali dalam lima tahun dan mencapai 3,18 juta unit tahun 1970.

Kembangkan Inovasi

Honda nekat merintis mobil mini ”kei-car” dengan mesin 354 cc berpendingan udara. Terjadilah skandal cacat mutu mobil tipe N360 tersebut. Tanpa patah semangat, Honda meluncurkan Civic hasil kombinasi inovasi bodi dua kotak (hatchback) dan mesin kompak ramah lingkungan CVCC berpendingin air, dan sukses. Honda bahkan memberikan lisensi desain mesin CVCC ini ke GM dan Toyota!

Kisah inovasi Kijang dan Civic bukan sekadar sejarah masa lalu. Dalam buku Nanovation (Freiberg, 2011) dikisahkan Ratan Tata sebagai pemimpin bisnis yang mampu mewujudkan Tata Nano, mobil termurah di dunia seharga 1 lakh (100.000 rupee atau sekitar 2.500 dollar AS).

Visi Ratan Tata berawal dari kepeduliannya atas statistik jumlah sepeda motor dan angka kecelakaan. Nanovation bukan mimpi inovasi mobil murah, melainkan tentang budaya industri peduli rakyat!

Kisah mobil Esemka juga mendasarkan kepedulian tentang tenaga kerja yang akan mencapai 132 juta jiwa pada 2020. Selain pendidikan tenaga terampil, perlu pengembangan industri nasional. Di lain pihak, mobil Tawon dan GEA diposisikan sebagai kendaraan angkutan umum rakyat. Mobil GEA (Gulirkan Energi Alternatif) menggunakan alternatif solusi bahan bakar gas jenis LPG. Berbekal mesin mini seperti Honda, riset bisa bergulir untuk mesin hibrida setara 1.000 cc. Budaya industri pun jadi prinsipal mandiri untuk rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar