Selasa, 28 Februari 2012

Isu Iran dan Harga BBM


Isu Iran dan Harga BBM
Fahmi AP Pane, TENAGA AHLI FRAKSI PPP DPR RI
Sumber : REPUBLIKA, 27 Februari 2012



Perang psikologi dan diplomasi kapal perang (gun boat diplomacy) antara Iran dan sekutunya menghadapi Israel dan seku tunya meningkat. Harga minyak mentahpun meningkat ke posisi tertinggi selama delapan bulan terakhir. Secara bersamaan, menguat pula desakan mengubah UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012. Konsekuensinya boleh jadi adalah peningkatan besar subsidi BBM, pembatasan jumlah konsumsi BBM, kenaikan harga, penambahan utang baru, dan sebagainya.

Goyangnya APBN karena konflik Iran dan Israel adalah ironis karena sejak 2007 Indonesia tidak lagi mengimpor minyak mentah dari Iran. Masalahnya, ketergantungan negeri ini terhadap impor minyak mentah dan BBM masih terlalu besar. Akibatnya, penerimaan negara dari produksi dan ekspor minyak mentah dan BBM tereduksi.

Peluang Perang

Dua jenis BBM yang paling banyak disorot dalam isu pembatasan konsumsi dan atau kenaikan harga, yakni Premium (RON 88) dan solar (ADO) setiap harinya diimpor masing-masing sebanyak 37.600 kiloliter dan 23.800 kiloliter. Pertanyaannya, benarkah retorika kebencian yang terjadi di antara Iran dengan AS, Inggris, Israel, dan sekutunya akan berujung perang sungguhan sehingga APBN 2012 harus diubah atau bahkan dinyatakan darurat?

Untuk menjawabnya, penulis akan memaparkan berbagai manuver militer dan pernyataan politik dari kedua kubu. Peluang perang terbuka karena Iran pernah mengancam akan memblokade Selat Hormuz. Namun, sebenarnya itu reaksi spontan Iran terhadap manuver AS yang melobi Uni Eropa untuk mengembargo minyak Iran. Strategi kunci Iran terkuak. Repotnya, Rusia dan Cina tidak setuju penutupan selat dan mendesak Iran berunding lagi.

Peluang perang juga dimunculkan Israel. Dalam banyak kesempatan, PM Benjamin Netanyahu mendesak AS dan Eropa untuk menyerang Iran karena telah mempersiapkan senjata nuklir.
 
Namun Presiden Obama menyatakan, menyerang Iran berisiko. Ia mengutamakan opsi pendekatan diplomatik (Reuters, 5 Februari).

Adapun Rusia dan Cina sebagai sekutu tradisional Iran dan rezim Assad (Suriah) konsisten menolak opsi militer terhadap Iran, termasuk melalui payung PBB. Sementara, Iran terlihat mulai menjauhi opsi militer dengan menawarkan perundingan kembali dan kesediaan diinspeksi IAEA (Badan PBB untuk Energi Atom).

Soal embargo minyak juga terlihat setengah hati. Uni Eropa memutuskan mengembargo minyak Iran mulai 1 Juli dengan alasan Yunani dan Italia dilanda krisis ekonomi. Iran membalasnya dengan mengancam menyetop pengiriman minyak ke Inggris dan Prancis. Tapi, sejak enam bulan terakhir Inggris tidak mengimpor minyak dari Iran.

Adapun India dan Korea sebagai importir utama minyak Iran menolak mengikuti keputusan Uni Eropa. Bahkan, belakangan Jepang menyatakan belum memutuskan memotong impor minyak dari Iran. Yang paling mungkin adalah serangan udara Israel ke fasilitas nuklir Iran.

Peluang ini membesar jika komunitas Yahudi internasional tidak menginginkan Presiden Obama terpilih kembali. Indikasinya ialah survei Pew yang menemukan 62 persen kaum Republiken berpendapat pemerintahnya harus mendukung serangan Israel. Dan, hanya sepertiga kaum Demokrat berpendapat demikian. Kalau ini terjadi, maka ini seperti kekalahan Presiden Jimmy Carter (Demokrat) yang populer karena perundingan Camp David pada 1978, namun gagal menangani penyanderaan warga AS di Kedubes Teheran sejak 4 November 1979. Uniknya, semua sandera dibebaskan beberapa saat sebelum Presiden Ronald Reagan (Republik) dilantik pada 20 Januari 1981.

Walaupun demikian, kita perlu mencermati apa yang luput diperhatikan saat Wapres Cina Xi Jinping mengunjungi AS. Selain bertemu Obama, dia bersua dengan tokoh-tokoh Yahudi, seperti Henry Kissinger, Madeleine Albright, Zbigniew Brezinski, Sandy Berger, dan lain-lain. Dilaporkan situs Pemerintah Cina (china.org.cn, 14 Februari), Xi disambut hangat oleh para tokoh Grup Bilderberg, Council on Foreign Relations, dan Trilateral Commission, organisasi rahasia yang disebut-sebut `menyutradarai' politik dunia. Sepanjang Cina tidak menyetujui penyerangan Iran dan para tokoh Yahudi Bilderberg merasa nyaman dengan Cina, maka pernyataan Netanyahu hanya menambah daftar perang kata-kata antara Amerika-Israel dan Iran sejak lebih dari 30 tahun lalu.

Karena itu, Indonesia lebih baik fokus pada solusi lebih mendasar ketimbang hanya membicarakan kenaikan harga BBM atau pembatasan volume konsumsi. Misal, perubahan UU Migas, pengutamaan produksi minyak untuk kilang domestik, konversi sebagian BBM kepada gas, pengembangan transportasi publik, dan sebagainya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar