Kamis, 23 Februari 2012

Maka Nikah Resmilah


Maka Nikah Resmilah
Nur Lailah Ahmad, HAKIM PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA
Sumber : KORAN TEMPO, 22 Februari 2012




Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 pada Jumat, 17 Februari, ini telah membuat putusan yang cukup mempunyai implikasi yang luas bagi penerapan hukum di Indonesia, khususnya hukum perkawinan. Dalam amarnya, MK menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Ayat ini harus dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Putusan ini memang memberi harapan yang besar bagi anak-anak di luar pernikahan untuk mendapatkan hak-hak keperdataannya sebagai anak, misalnya hak waris dan hak untuk mendapatkan akta. Tapi, apakah ini merupakan jawaban dari segala masalah anak di luar perkawinan yang selama ini ada dalam masyarakat, atau justru akan menimbulkan masalah baru yang disebabkan oleh adanya putusan MK ini?

Dalam dua hari ini, semenjak putusan MK ini muncul, masyarakat yang kontra terhadap putusan ini umumnya menyatakan hal itu sebagai pelegalan terhadap perzinaan. Bahkan beberapa komentar menyatakan Mahfud Md. sebagai gerombolan pemakmur zina. Mahfud Md. selaku Ketua MK sudah menyampaikan bantahan, dan menyatakan bahwa putusan ini justru dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perzinaan (Detiknews, Senin 20 Februari 2012).

Adapun yang pro menyatakan putusan ini sebagai perlindungan hukum dan ekonomi bagi anak-anak di luar perkawinan. Hal ini didukung oleh pendapat sosiolog dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, yang mengatakan putusan MK ini berperspektif hak anak (www.mahkamahkonstitusi.go.id). Bukan kapasitas saya untuk menilai apakah polemik ini benar atau salah. Sebab, tentu semua mempunyai argumen masing-masing. Saya hanya ingin berbagi catatan, bagaimana implikasi dari dibacakannya putusan ini.

Poligami Liar

Selama ini, kekhawatiran pelaku-pelaku poligami liar adalah pengakuan terhadap anak yang akan dilahirkan dari poligami tersebut. Masih jelas dalam ingatan kita bagaimana Bambang Trihatmodjo begitu berkeras untuk menceraikan istrinya, Halimah. Perceraian itu oleh sementara orang disebabkan oleh desakan Mayangsari, yang dipicu kekhawatiran Mayangsari tentang keabsahan anak mereka, Kirani. Sementara itu, di sisi lain, Halimah sebagai istri yang sah begitu mempertahankan mahligai perkawinan mereka. Semua upaya hukum dilakukan agar perceraian tidak terjadi. Tapi akhirnya Bambang harus mengucapkan ikrar talak baginya.

Andai putusan MK ini dijatuhkan beberapa waktu lalu, mungkin Mayangsari tak perlu ngotot membujuk Bambang Tri menceraikan istrinya. Sebab, mungkin, bagi Mayang, pengakuan dari Bambang dan bukti bahwa Kirana anak mereka sudah cukup kuat. Kirana akan tenang mendapatkan warisan dari harta Bambang. Dan poligami liar Bambang dengan Mayang akan tetap langgeng.

Bukan tidak mungkin, seorang laki-laki akan melakukan poligami liar dengan janji kepada istrinya bahwa kelak anaknya akan diakui sebagai anak biologisnya. Dan tentu, dengan meyakinkan, laki-laki tersebut akan mendalilkan putusan MK ini sebagai penguat bujuk rayunya. Dengan demikian, istri yang dipoligami tidak resmi tersebut akan merasa tenang karena, walau dirinya bukan istri yang sah di mata hukum, anaknya akan mendapat perlindungan hukum dan hak-hak yang sama dengan anak-anak dalam perkawinan yang sah.

Saat ini saja, ketika syarat poligami sudah diperketat, poligami liar begitu menjalar. Bagaimana jika para perempuan yang mau dipoligami liar cukup merasa tenang, karena anak yang akan dilahirkan sudah ada perlindungan hukumnya. Dapat dipastikan poligami liar semakin merebak.

Tuntutan Warisan

Umumnya seorang anak di luar nikah (yang diwakili oleh ibunya) pertama-tama hanya meminta keabsahan statusnya. Tetapi, setelah status didapat, tentu akan diikuti dengan tuntutan-tuntutan lain, terutama tentang warisan. Persoalan yang muncul adalah bagaimana jika bapak biologisnya sudah meninggal dan harta warisan telah dibagi?

Selama ini stigma yang ada di masyarakat adalah bahwa anak-anak yang lahir di luar pernikahan telantar. Bapak biologis lari dari tanggung jawab. Lalu, bagaimana jika terjadi sebaliknya? Seorang laki-laki akan bertanggung jawab, tapi perempuan dengan berbagai alasan tidak mau menikah, sehingga kemudian anak lahir di luar perkawinan. Setelah itu pun, laki-laki dan keluarganya masih ingin bertanggung jawab, tapi yang terjadi justru perseteruan antara ibu dan bapak biologisnya. Perseteruan berujung pada perebutan anak, di mana bapak biologis meminta hak asuh anak tersebut.

Jika memahami keputusan MK di atas, ada kesamaan hak antara bapak dan ibu biologis terhadap anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Hal demikian sejalan dengan yang dikembangkan John Rawls tentang teori keadilan, yang salah satunya adalah prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle). Dengan demikian, tidak mustahil seorang bapak biologis juga dapat menuntut hak asuh atas anak mereka.

Jika ini terjadi, tentu akan menjadi masalah baru bagi pengadilan dalam memutuskan. Mungkinkah hakim akan memakai pertimbangan sebagaimana pertimbangan ketika memutuskan hak asuh anak dalam perkawinan yang sah? Atau, hakim menjadikan perkara hak asuh anak di luar perkawinan sebagai perkara yang spesial, sehingga akan cenderung memakai pertimbangan sosiologis daripada yuridis? Wallahualam. Yang pasti, bersiaplah ibu-ibu yang mempunyai anak di luar perkawinan, kelak bapak biologisnya akan menuntut hak yang sama bagi anaknya.

Masih banyak perkara yang pasti akan muncul dengan lahirnya putusan ini. Tapi, sebagai sebuah terobosan dalam perlindungan hukum kepada anak di luar nikah, putusan ini wajib kita beri apresiasi. Semoga harapan Ketua MK atas putusan ini untuk mencegah perzinaan bisa dicapai. Tapi, betul kata pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati. Lebih baik menikah resmi daripada melahirkan anak di luar perkawinan. 

Maka, menikah resmilah...!
Tapi, sebagai sebuah terobosan dalam perlindungan hukum kepada anak di luar nikah, putusan ini wajib kita beri apresiasi. Semoga harapan Ketua MK atas putusan ini untuk mencegah perzinaan bisa dicapai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar