Jumat, 24 Februari 2012

Menegur Sinetron Kita


Menegur Sinetron Kita
Iva Wulandari, ANALIS PUSAKA (PUSAT KAJIAN DAN ADVOKASI) PENDIDIKAN, JOGJAKARTA DAN PEGIAT PENDIDIKAN KARAKTER
Sumber : JAWA POS, 24 Februari 2012



DUNIA penyiaran Indonesia terus berapor merah. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerima ribuan pengaduan tayangan televisi selama periode Januari hingga September 2011. Anggota KPI Muhammad Riyanto memerinci, total pengaduan masyarakat mengenai isi siaran 2.540 kasus, perizinan 112 kasus, dan kelembagaan 22 kasus.

Seperti dilansir dari
www.kpi.go.id, program televisi yang paling banyak mendapat pengaduan masyarakat dan telah ditegur KPI adalah sinetron P y D, sebanyak 156 laporan. Riyanto mengungkapkan bahwa masyarakat melaporkan sinetron ini karena menampilkan kekerasan fisik dan tidak mendidik.

Ezki Suyanto, wakil ketua KPI Pusat menambahkan, RCTI paling banyak mendapat protes terkait dengan hal tersebut. Stasiun televisi itu memang paling banyak menayangkan program sinetron. Sedangkan TV lain adalah Trans TV 300 aduan, SCTV (279), Trans 7 (233), Anteve (225), Indosiar (205), MNC TV (181), Global TV (125), TV One (98), Metro Tv (97), TVRI (14), dan O Channel (10).

Seperti diketahui, ada beberapa kategori tayangan berbasis umur di dunia sensor dan pertelevisian di Indonesia. A (anak), R (remaja), D (dewasa), dan BO (bimbingan orang tua). Kita patut mempertanyakan akurasi lembaga sensor dan penyiaran dalam mengategorikan tayangan. Hampir seluruh sinetron yang tayang saat ini dikategorikan tayangan R/BO. Ini berarti tayangan tersebut dikhususkan bagi penonton kategori remaja dan label BO (bimbingan orang tua).

Ambil saja contoh sinetron Anugerah yang menjadi salah satu program top rating di RCTI. Sinetron ini dikategorikan tayangan berlabel R-BO. Sementara, cerita Anugerah didominasi konflik orang dewasa, konflik rumah tangga, dan perebutan anak. Karakter Nugi (Anugerah) dan Adek yang dimainkan anak-anak prasekolah pun menihilkan sinetron ini layak ditonton anak. Meskipun ada karakter anak-anak di sana, dialog yang disajikan membuat karakter anak ini dipaksakan berpikir dan berdialog secara dewasa. Muatan pendidikan bagi remaja nyaris tidak ada. Pengategorian sinetron ini sebagai R/BO tentu sangat tidak pas. Hal ini sangat berimbas terhadap psikologi penikmat sasarannya, remaja dengan bimbingan orang tua.

Kita juga perlu menyorot karakter yang dibangun dalam cerita-cerita sinetron di Indonesia. Sebagai orang awam, kita tentu dapat mengategorisasikan pemain, protagonis, antagonis, dan netral. Si jahat, si baik, dan si netral. Sangat menarik mengkaji soal ini. Manusia merupakan makhluk yang dinamis. Seseorang yang mempunyai sisi baik, tidak selamanya baik. Begitu pula sebaliknya.

Pada kebanyakan sinetron di Indonesia, perkembangan/perubahan karakter mungkin terjadi dari karakter si jahat yang berubah menjadi baik. Jarang sekali ditemukan karakter utama yang notabene baik, diceritakan bak berkarakter malaikat, dimunculkan dengan sisi-sisi manusiawi yang kadangkala memiliki sisi buruk.

Character development dalam suatu sinetron yang menjadi salah satu bentuk komunikasi kontemporer menjadi poin penting dalam sebuah cerita. Sinetron Indonesia sangat miskin dengan ini. Karakter yang nyaris tidak berubah sepanjang cerita tidak akan banyak memberikan pelajaran hidup bagi penontonnya. Hal ini sangat bertentangan dengan peran sinetron sebagai cermin/potret diri manusia yang dinamis, realitas sosial masyarakat, dan peradaban manusia yang dinamis pula. Tontonan berkembang menjadi "kemustahilan" dan utopia bagi kehidupan nyata sang penonton.

Semakin memprihatinkan, jam tayang sinetron-sinetron tersebut, yakni pukul 18.00-21.00, membuat tayangan ini mudah diakses anak-anak. Komisioner KPI Pusat Azimah Subagijo, saat berdiskusi di Semarang (22/11/2011) menyatakan, televisi menjadi tontonan yang menyita waktu belajar anak-anak. Sebanyak 1,4 juta anak menonton televisi pada pukul 18.00-21.00 WIB yang merupakan waktu belajar anak sekolah. Ironisnya, program yang banyak ditonton anak adalah sinetron dengan rata-rata 50 menit/hari. Jumlah ini lebih banyak daripada tayangan anak yang hanya ditonton 20 menit/hari.

Sarah Gamble dalam The Routledge Companion to Feminism and Postfeminism menyebut budaya mediasi kontemporer tidak lebih dari sekadar daur ulang konstan atas citra-citra yang semula diangkat media. Sinetron, sebagai bagian dari produk budaya populer, seperti dikatakan Gamble, akan mendominasi pengertian penontonnya tentang realitas dan cara penonton mendefinisikan diri mereka sendiri dan dunia sekitar. Sangat memiriskan bila tindak kriminalitas seperti pemerkosaan, pembunuhan, dan "tren" hamil di luar nikah menjadi hal yang berkembang dari tidak biasa dan amoral, menjadi hal yang biasa dan lumrah bagi masyarakat.

Dalam hal ini sinetron mengambil peran penting membentuk konstruk realitas masyarakat. Mencelakakan dan membunuh orang menjadi konflik dominan, terkesan mudah dan biasa untuk dilakukan. Kasus penusukan siswa SD, AMN, 13, kepada temannya yang ditanggapi pelaku dengan tanpa bersalah dan menyatakan lebih baik dia yang membunuh daripada dia yang terbunuh. Bahasanya sinetron banget. Anak mempunyai kecenderungan besar untuk meniru perilaku sosial di sekitarnya, termasuk dari tontonannya.

Sementara tidak semua orang tua benar-benar mendampingi anak-anak mereka. Orang tua cenderung larut dalam tayangan sinetron dan membiarkan anak-anaknya turut larut ke dalam cerita dan menyerap apa yang dilihatnya tanpa filter dari orang tua. Padahal, anak-anak membutuhkan arahan orang tua soal kekerasan.

Jelas sudah, sinetron Indonesia harus bersih-bersih dan berbenah. Sinetron mestinya bisa membangun karakter bangsa, tak sekadar mesin pencetak keuntungan, tapi menghancurkan moralitas. Sementara, KPI teruslah menindak stasiun televisi yang nakal. Jagalah frekuensi milik publik dari pencemaran budaya. 

2 komentar:

  1. perduli dengan KPI isinya cuma orang kolot yang bodoh udah jelas ada rating masih juga di tegur masa rating (D) isinya di sensor karena kekerasan
    anime = anak2, KPI bodoh
    apa salahnya kalau ada sinetron mamah saya suka kalau kalian benci sinetron yah ga usah kalian berhentiin dengan ngadu ke lembaga kolot yang cuma bisa main judge kasian yang suka mama saya sampe 2 udah ga suka nonton tv lg sekarang paling juga berita kalau itu berita ga di close juga sama orang pembenci berita dan mencari kesalahan2 untuk di close
    berfikirlah dewasa dan hargailah perbedaan orang lain

    BalasHapus
  2. dan 1 hal lagi jangan anggap semua orang itu tolol mereka hanya menikmati dan tidak mengikuti jika itu salah, contoh :
    kita berpuasa dan ada acara makan2 apakah kita jadi akan makan hanya karena acara disitu makan2 ?
    contoh 2:
    ayah suka acara rating (d) ibu suka acara rating (R/BO)
    kejadian 1 :
    ayah melaporkan agar sinetron di close karena membuat para istri dan anaknya melihat acara tak terdidik di sinetron (memang istri dan anaknya begitu tololnya sampe ikutan semua yang di sinetron lakukan ? [mereka hanya menonton untuk refreshing bukan di ikuti])
    kejadian 2 :
    Ibu melaporkan agar acara (d) big movie di close karena mengandung unsur kekerasan yang ga baik di tonton anak kecil
    coba cermatin siapa yang salah ini sama saja pengaduan ke 1 pihak yang tidak suka saja dan merugikan pihak lain

    BalasHapus