Sabtu, 25 Februari 2012

Mengawal Demokrasi, Menggantang Korupsi

Mengawal Demokrasi, Menggantang Korupsi
Nur Kholis Anwar, DIREKTUR CENTER FOR STUDY OF ISLAMIC AND POLITIC
UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
Sumber : SINAR HARAPAN, 25 Februari 2012




Perilaku buruk anggota DPR seperti korupsi dan penyalahgunaan jabatan yang tidak terkendali bisa mengakibatkan institusi tersebut kehilangan legitimasi sebagai wakil rakyat yang bertugas mengawasi jalannya pemerintahan.

Terlebih baru-baru ini Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan ada 2.000 transaksi mencurigakan di kalangan DPR, terutama pada bagian Badan Anggaran.

Meskipun belum terbukti benar atau tidak laporan PPATK tersebut, isu ini menjadi penting ketika sudah dipublikasikan dan diketahui masyarakat umum. DPR sebagai wakil rakyat tentunya mampu mengawal dan mengontrol jalannya pemerintah.

Realitasnya yang terjadi, DPR justru enggan dengan tugas-tugasnya tersebut. Hal yang terjadi malah konspirasi antara kroni-kroninya di lembaga legislatif untuk menggerogoti uang negara.  

Hannah Arend menyebut negara sebagai tempat ekspresi (action) dan komunikasi (communication) ruang publik yang menyimpan rapat-rapat kepentingan individu. Ruang publik, lanjut Arend, hanya bisa terjadi ketika orang-orang mempunyai tujuan dan misi yang sama.

Namun, sebuah ruang tidak lagi dikatakan sebagai ruang publik ketika di antara orang-orang tersebut saling memikirkan kepentingan individu masing-masing. Dengan kata lain, kepentingan individu (ruang privat) mampu meruntuhkan kepentingan publik.

Bagi Arend, jika kepentingan individu itu terus diekspresikan dalam ruang publik, praktik ketidakwarasan atau hal-hal yang merugikan kepentingan umum akan terjadi. Ini karena dominasi kepentingan individu hasilnya tidak lain adalah praktik otoritarianisme. Di Indonesia, praktik semacam ini sangat kentara pada masa kepemimpinan Soeharto hingga sekarang ini.

Para anggota DPR yang merupakan representasi dari misi rakyat, ditutup rapat dengan kepentingan individu masing-masing anggota.  Dalam hal ini, lembaga legislatif merupakan ruang publik yang diciptakan oleh rakyat dan atas kepentingan rakyat.

Sebagai ruang publik, seharusnya legislatif mempunyai fungsi yang sama atas kehendak rakyat, yaitu mengontrol, mengawasi dan mengawal jalannya pemerintahan. Namun, karena dominasi interest kelompok atau individu, lembaga legislatif hanya sebatas formalitas, sedangkan peran nyata untuk menyuarakan hak-hak rakyat tidak tampak sama sekali.

Justru yang tampak malah kepentingan individu yang diwujudkan dalam praktik korupsi secara berjemaah. Dengan kata lain, secara tidak langsung lembaga legislatif tidak bisa lagi dikatakan sebagai lembaga yang mewakili hak-hak rakyat. 

Demokrasi dan Korupsi Demokrasi yang merupakan pengejawantahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat agaknya perlu ditinjau kembali. Ini karena demokrasi yang sedang kita jalankan saat ini tidak sepenuhnya mengekspresikan kehendak publik. 

Demokrasi justru menjadi batu loncatan para politikus untuk mengeruk uang negara.
Demokrasi membuka ruang lebar bagi para koruptor untuk mengeksploitasi sumber-sumber yang tersedia dalam brankas negara yang selalu terkait dengan praktik politik biaya tinggi.  Peran politikus yang kian dominan tampaknya menjadi problem krusial dalam upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.

Terlebih banyak politikus yang kongkalikong dengan perusahaan sehingga memunculkan konspirasi pembunuhan Indonesia melalui mafia-mafia korupsi. Munculnya pemilihan umum dan multipartai sebagai penanda adanya demokrasi, ternyata tidak seindah yang kita bayangkan.

Justru yang terjadi malah sebaliknya, partai menjadi kendaraan kaum pemodal untuk melancarkan tender proyek-proyek gelap. Demokrasi yang pada kelahirannya di Indonesia menginginkan adanya demokratisasi, semuanya nonsense.

 Laode Ida (2008) mengatakan, umumnya parpol dan politikus kita boleh dikatakan nir-ideologi, lebih berorientasi pragmatis ke arah dua subjek yang saling terkait: jabatan atau kekuasaan dan materi.

Saat menjabat sungguh-sungguh dinikmati dengan memanfaatkan segala peluang dan sumber yang tersedia untuk mengakumulasi harta, termasuk mengembalikan berbagai biaya yang telah dihabiskan dalam proses-proses konsentrasi untuk memperoleh jabatan.  
Kecenderungan dan sikap itulah yang kemudian membuat jabatan dan kekuasaan disalahgunakan. Uang negara yang merupakan bagian dari rakyat, dikuras habis tanpa ada batas. Wakil rakyat yang merupakan representasi dari rakyat, ramai-ramai ikut merampok uang negara hingga triliunan rupiah.

Inilah yang kemudian penulis sebut bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk “kapitalis”. Terbukti, dalam hal ini rakyat tidak lebih sebagai tumbal para kapitalis tersebut.  

Jika kita lihat dengan menggunakan kacamata sosiologis, kecenderungan seperti itu sebenarnya membenarkan teori Karl Marx bahwa sesungguhnya negara hanyalah instrumen dari kalangan pemilik modal. Dengan demikian, sulit diharapkan untuk benar-benar peduli pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang sesungguhnya.

Terlebih praktik korupsi sudah menjadi sistem yang melembaga sehingga sulit dibersihkan. Sebaik apa pun KPK bekerja untuk memberantas koruptor di negeri ini, tapi generasi koruptor baru akan terus bermunculan. Inilah saat-saatnya Indonesia mengalami darurat korupsi.

Hampir semua elite birokrasi terjangkit virus korupsi yang secara tidak langsung telah membunuh rakyat dengan perlahan. Namun, para elite itu tidak sadar bahwa ada jutaan rakyat yang mati karena ulah mereka.

Logika kotornya, rakyat tidak lebih sebagai tumbal untuk mengeruk kekuasaan negara. Tidak heran kalau rakyat diabaikan begitu saja oleh pemerintah. Logika semacam ini yang kemudian akan membunuh tidak saja rakyat, tetapi juga negara.

Jika sudah demikian, rakyat Indonesia tidak bisa berharap banyak dengan wakil-wakilnya di DPR yang juga tersandera kasus korupsi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar