Jumat, 24 Februari 2012

Menghamba pada Pasar


Menghamba pada Pasar
Makmur Keliat, PENGAJAR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (FISIP)
UNIVERSITAS INDONESIA (UI)
Sumber : SINDO, 24 Februari 2012


 
Dalam pandangan sekilas, gambaran besar ekonomi makro Indonesia tampak mengesankan. Indikator untuk itu misalnya dapat dilihat dari besaran APBN yang terus meningkat setiap tahun dengan tingkat defisit yang kecil.

Dalam lima tahun terakhir rasio defisit APBN terhadap GDP tidak pernah melewati angka 3%. Rasio ini,menurut Kementerian Keuangan, jauh lebih baik dari negara-negara maju. Di Inggris, Jepang, dan Amerika Serikat misalnya, rasio ini berada di sekitaran angka 10%. Rasio utang terhadap GDP juga membaik. Jika pada 2006 angkanya sekitar 40,4%, pada 2011 menurun menjadi 25,4. Rasio defisit APBN terhadap GDP ini, menurut Kementerian Keuangan, juga jauh lebih baik jika dibandingkan dengan negaranegara berkembang lainnya seperti Argentina (40,7%), Brasil (65,7), dan India (68,2%).

Rasio ini bahkan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Italia (120,3%), Jepang (229,1%), dan Amerika Serikat (99,5%).Indikator lainnya adalah pada besaran cadangan devisa. Data yang dikeluarkan Bank Indonesia memperlihatkan, angka cadangan devisa telah menyentuh angka USD112 miliar. Angka ini disebutkan setara dengan 6,4 bulan impor plus pembayaran utang luar negeri pemerintah. Jika angka-angka di atas dijadikan rujukan, untuk jangka pendek hampir mustahil akan terdapat guncangan krisis keuangan yang berasal dari sisi eksternal seperti yang pernah dialami Indonesia pada 1998.

Terlebih lagi terdapat kecenderungan umum yang menunjukkan nilai tukar rupiah yang terus menguat. Kepercayaan rupiah yang meningkat ini juga tampaknya telah didukung oleh peningkatan status sovereign credit rating Indonesia menjadi Baa3 (stabil) oleh lembaga pemeringkat Moody dan Fitch. Namun, jika dicermati dengan lebih jeli, tidak seluruh gambaran ekonomi makro Indonesia tampak membesarkan hati. Pertama-tama marilah kita melihat struktur ekspor dan impor kita.

Walau secara umum nilai total ekspor lebih besar daripada impor, data-data yang dipublikasi oleh Kementerian Perdagangan juga menunjukkan kecenderungan rata-rata persentase pertumbuhan ekspor Indonesia itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan impor. Dari 2006 hingga 2010 misalnya, rata-rata peningkatan ekspor setiap tahun berada di kisaran angka 9,6%, sedangkan untuk impor berada pada angka 20,43%. Ratarata peningkatan impor terbesar terjadi pada komoditas nonminyak dan gas yaitu pada angka 25,63%.

Pertumbuhan impor yang lebih besar dua kali lipat dibandingkan dengan pertumbuhan impor ini, bahkan pada sektor nonminyak dan gas menjadi tiga kali lipat, menyampaikan pesan bahwa Indonesia menjadi pasar yang sangat menarik bagi para importir.Tidak hanya alat elektronik seperti handphone dan Blackberry, kini beberapa kebutuhan pokok produk pertanian seperti beras, bawang, gula, dan ikan juga memberikan kontribusi bagi peningkatan nilai impor ini. Kecenderungan menguatnya semangat konsumerisme untuk produk-produk luar negeri itu, dalam konsep akademis, sering dirumuskan dalam bahasa yang ”netral”.

Disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sekitar 6% itu lebih banyak digerakkan oleh permintaan pasar domestik yang besar dibandingkan oleh permintaan pasar internasional. Semangat konsumerisme yang besar ini juga ditunjukkan oleh fakta bahwa tingkat tabungan nasional Indonesia sangat tertinggal jauh dibandingkan dengan China. Jika rasio tingkat tabungan nasional kotor China terhadap GDP-nya berada pada angka sekitar 54%, Indonesia berada pada angka 33,78%.

Angka ini tidak sekadar menyatakan bahwa sebagian besar pendapatan masyarakat Indonesia dihabiskan untuk konsumsi. Pada tataran kebijakan strategis, angka ini juga menyampaikan pesan bahwa kita belum bisa menyandarkan diri pada kapasitas tabungan nasional untuk mendanai kebutuhan investasi. Ini juga yang menjelaskan mengapa kebutuhan modal untuk investasi sebagian besar masih bersandar pada modal asing yang diperlihatkan oleh kecenderungan aliran modal dalam neraca pembayaran yang terus menerus positif.

Ditengah-tengah situasi semangat konsumerisme dan kapasitas tabungan nasional yang terbatas itu,kita juga tidak bisa berharap banyak terhadap kemampuan keuangan negara. Walau APBN terus meningkat, peningkatan itu tidak disertai dengan kemampuan penerimaan pajak yang memadai. Seperti kita ketahui,salah satu sumber utama pendanaan APBN berasal dari pajak. Namun, jika kita melihat struktur penerimaan pajak Indonesia, kita belum bisa mengangkat kepala. Lihatlah misalnya laporan country paper tentang Indonesia yang dikeluarkan IMF pada September 2011.

Lembaga yang merancang kebijakan ekonomi Indonesia pascakrisis 1998 ini bahkan mengakui bahwa rasio penerimaan pajak terhadap GDP untuk kurun waktu 2002 hingga 2010, yang berada pada angka kisaran 11,5%, termasuk yang terendah, tidak hanya di antara kelompok G-20, tetapi juga di antara negara-negara berkembang (emerging market). Laporan itu juga menyebutkan bahwa memang telah terdapat upaya-upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak ini. Misalnya pada 2008, rasio itu pernah mencapai angka 13,3%. Namun, kembali menurun menjadi 11,1% pada 2009.

Penyebabnya adalah kebijakan pemotongan pajak perusahaan untuk menarik para investor.Data yang disampaikan IMF ini juga menyebutkan hanya terdapat 5 juta pembayar pajak individual yang terdaftar di Indonesia dan pembayar pajak perusahaan yang terdaftar hanya sekitar 500.000. Itu pula sebabnya APBN masih bersandar pada utang baik melalui penjualan obligasi maupun kepada negara luar dan lembaga internasional.

Angka-angka ini menyampaikan pesan bahwa terdapat keterbatasan bagi negara untuk menjalankan fungsifungsi pelayanannya bagi publik baik itu menyangkut fungsi yang terkait dengan kesejahteraan seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur fisik maupun untuk melaksanakan fungsi keamanan. Kecenderungan apakah ini? Mengapa Indonesia dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dengan ledakan konsumerisme yang luar biasa,namun disertai dengan pajak yang rendah dan terbatasnya kapasitas negara untuk memberikan pelayanan untuk kesejahteraan dan keamanan publik?

Meminjam istilah Paul Bobbit, penulis menyebut ini sebagai gejala dari kuatnya gagasan negara yang menghamba pada pasar (market-state). Ia menyampaikan pesan bahwa kita tengah meninggalkan konsep negara yang mengabdi pada bangsanya (nation-state). Jika landasan bagi bekerjanya negara-bangsa adalah konstitusi politik, dalam negarapasar, konstitusinya adalah modal yang tidak memiliki batasbatas nasional.

Akibatnya untuk menghamba pada pasar itu, fungsi negara itu harus seminimal mungkin, pajak tidak boleh besar, dan biarkan konsumerisme tumbuh sesukanya demi pertumbuhan ekonomi walaupun itu berarti mencederai nilai-nilai dan identitas konstitusi politiknya. Ringkasnya, dalam negara yang mengabdi pada pasar, konstitusi modal telah mengalahkan konstitusi politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar