Rabu, 29 Februari 2012

Opsi Menaikkan Harga BBM


Opsi Menaikkan Harga BBM
Ahan Syahrul Arifin, MAHASISWA PASCASARJANA FE UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : REPUBLIKA, 29 Februari 2012



Kepastian kenaikan BBM disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat sidang kabinet pada 22 Februari 2012. Rencana ini tentu membatalkan rencana pemerintah sebelumnya, yaitu pembatasan BBM subsidi yang diberlakukan di Jawa dan Bali mulai 1 April 2012. Lalu, dilanjutkan pada 2013 dan 2014 yang diperluas ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

Tak dapat dipungkiri, langkah ini merupakan pilihan terbaik melihat kenaikan harga minyak dunia yang sudah mencapai 105,26 dolar AS per barel dan diperkirakan sedang menuju 150 dolar AS per barel. Hal ini diakibatkan penghentian penjualan minyak Iran. Kebijakan menaikkan harga lebih tepat walaupun cenderung menunjukkan kalau pemerintah plin-plan dalam menerapkan kebijakan BBM, mengingat Indonesia sudah menjadi negeri pengimpor minyak dan beratnya beban APBN.

Pastinya, konsekuensi dari kenaikan BBM akan berimbas pada kenaikan harga barang, dilanjutkan dengan menurunnya daya beli masyarakat, tumbuhnya pengangguran, dan meningkatnya kembali kemiskinan. Saat ini, memang angka kemiskinan terlihat semakin menurun, dari 30,02 juta orang atau 12,49 persen pada Maret 2011 menjadi 29,89 juta orang atau 12,36 persen pada September 2011(BPS,2012).

Namun, pemerintah juga tidak bisa melupakan bahwa penduduk yang masuk golongan rentan miskin atau di atas sedikit garis kemiskinan kurang lebih hampir sama dengan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka sesungguhnya sangat rentan kembali miskin bila terjadi gejolak ekonomi.

Nah, efek dari kenaikan BBM inilah yang mestinya penting diperhatikan pemerintah, tidak sekadar dengan menelurkan kebijakan instan seperti BLT.
Pemerintah sangat perlu berupaya untuk meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat hingga insentif buat sopir.

Transportasi dan Subsidi

Kembali pada soal subsidi BBM, sebetulnya yang urgent dilakukan pemerintah dalam jangka pendek adalah membenahi sektor transportasi. Mengapa? Kita selama ini mendapat informasi bahwa besarnya tanggungan APBN terhadap subsidi BBM yang terus membengkak membebani biaya pembangunan.

Data dari sumber APBN menyebutkan, pembatasan setelah tahun anggaran 2011 menunjukkan, volume BBM bersubsidi mengalami pembengkakan anggaran sebesar Rp 30,3 triliun pada 2011. Di mana realisasinya mencapai 41,69 juta kiloliter. Dengan demikian, realisasi konsumsi bahan bakar bersubsidi mencapai 103 persen dari kuota dalam APBN Perubahan 2011 yang ditetapkan pada level 40,36 juta kiloliter. Maka, pada APBN 2012, subsidi BBM dianggarkan Rp 123,6 triliun dengan kuota 40 juta kiloliter.

Pertanyaannya, mengapa beban subsidi terus membengkak? Adakah yang salah dalam skemanya ataukah sistem transportasi publik kita? Inilah yang sebenarnya lebih penting diselesaikan terlebih dahulu.

Pada tahun lalu, fakta penjualan motor tercatat hingga mencapai sekitar delapan juta unit, meningkat pesat dari dari 2010 yang hanya 7,3 juta unit. Bahkan, pada tahun ini, diprediksi penjualan motor akan genap mencapai 8,4 juta unit.
Tren ini akan semakin meningkat bila pemerintah juga gagal dalam menyediakan layanan transportasi berbasis angkutan massal yang memadai. Padahal, selama ini, sekitar 65 persen konsumsi BBM diserap oleh penggunan motor.

Inilah sebenarnya yang menjadi masalah, yakni soal amburadulnya sistem transpotasi kita. Karena itu, dalam jangka pendek pemerintah harus segera membenahi tata kelola transportasi publik. Perlu pengaturan yang jelas terhadap jumlah kendaraan bermotor dan mobil sambil membenahi layanan angkutan massal. Tanpa mengubah tata kelola transportasi, kita akan selalu kesulitan untuk mengatasi melonjaknya penggunaan BBM. 
Berapa pun anggaran subsidi yang dianggarkan, bakal terus membebani belanja negara.

Berpindah ke Gas

Skema jangka panjang pemerintah rasanya perlu mencari solusi bagi ketahanan energi terutama dalam soal perminyakan. Sebagaimana diketahui, produksi minyak Indonesia semakin menurun bahkan kita sudah menjadi impotir minyak. Pada 1998, produksi minyak masih sekitar 1,5 juta barel per hari. Pada 2011, menurut catatan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), produksi minyak nasinonal hanya sebesar 903.441 barel per hari. Angka tersebut berada di bawah angka produksi pada 2010 sebesar 944.898 barel per hari. Jauh semakin menurun dari target produksi 945 ribu barel per hari.

Diprediksi, angkanya akan terus menurun. Sejatinya pemerintah mesti tanggap dan segera merespons persoalan ini. Menggantungkan diri terus pada minyak sebagai bahan bakar terasa akan sangat berat apalagi melihat harga minyak dunia yang sering tidak terkendali. Pembatasan maupun pengalihan sebetulnya merupakan paradigma yang salah kaprah karena kita akan mengandalkan ketahanan energi dari impor.

Karena itulah, sudah saatnya pemerintah serius memanfaatkan gas untuk bahan bakar kendaraan. Mengapa mesti gas? Pertama, tentu untuk mengurangi ketergantungan kita pada impor minyak. Apalagi, harga komoditas minyak selalu tergantung pada faktor geopolitik. Dalam sejarahnya, harga komoditas minyak bisa melonjak hingga 400 persen. Kondisi seperti itu terjadi kala perseteruan Israel dengan negara-negara Arab meletus pada 1973/1974. Saat itu, harga minyak melambung dari tiga dolar AS per barel menjadi 12 dolar AS per barel. Selanjutnya, pada saat Revolusi Iran pada 1979, harga minyak dunia melonjak sekitar 300 persen dari sekitar 12 dolar AS ke 35 dolar AS per barel.

Faktor geopolitik yang sangat berpengaruh terhadap harga minyak tentu akan sangat memberatkan industri-industri di Tanah Air. Sebab, diduga harga minyak bisa kembali melonjak tak terhingga jika konflik Iran dan AS buntu.

Kedua, peralihan ke bahan bakar gas (BBG) menjadi sangat niscaya disebabkan cadangan gas Indonesia yang masih dapat dipergunakan untuk jangka waktu 90 tahun mendatang. Penggunaan BBG diyakini selain lebih murah dan hemat juga ramah lingkungan. Efisien dalam harga dan higienis dalam penggunaan, begitu kira-kira ujaran yang tepat untuk BBG. Pemerintah kiranya perlu untuk berpikir lebih cepat dalam menyusun dan merumuskan termasuk penyiapan SPBG hingga converter kit. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar