Jumat, 24 Februari 2012

Teladan Jurnal Guru Besar


Teladan Jurnal Guru Besar
Laksmi Widajanti, DOSEN BAGIAN GIZI KESMAS FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO
Sumber : SUARA MERDEKA, 24 Februari 2012



SURAT Edaran (SE) Dirjen Dikti Nomor 152/ E/ T/ 2012 perihal kewajiban bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 yang ingin lulus harus memublikasikan karya ilmiah di jurnal seperti menghadirkan mimpi buruk bagi sebagian dari mereka. Menentukan judul skripsi, tesis, atau disertasi saja sulit apalagi jika wajib menulis artikel di jurnal sebagai syarat kelulusan.

Transkrip edaran itu menyebutkan untuk program S-1 harus menerbitkan di jurnal ilmiah, S-2 di jurnal ilmiah nasional terutama yang terakreditasi Dikti, dan untuk S-3 di jurnal internasional. Faktor itulah tampaknya membuat banyak pihak terlihat resisten. Mestinya mahasiswa yang berpuas diri dengan diktat dan bahan fotokopian ’’pantas’’ keberatan, namun faktanya sejumlah dosen melontarkan sikap sama dengan mengatasnamakan mahasiswa.

Adakah suara itu hanya mengatasnamakan mahasiswa mengingat faktanya banyak dosen tidak mampu menulis, termasuk yang sudah meraih jabatan fungsional profesor sekalipun. Atau mahasiswa kita tidak mampu menulis sehingga tidak bisa menyuarakan sikapnya sendiri?
Pertanyaannya adalah ketika ada reaksi terhadap upaya baik agar dari kampus lahir tak hanya calon pekerja tapi juga intelektual kritis, sesuai dengan tujuan pendidikan tinggi untuk melahirkan manusia cerdas dan bernalar, resistensi itu menjadi tanda tanya besar?

Bagaimana mau bernalar jika menulis sesuatu yang sebenarnya sudah banyak diajarkan di bangku kuliah saja tidak bisa? Seharusnya, terkait edaran itu, pengelola perguruan tinggi cepat menyosialisasikannya supaya mahasiswa lebih siap. Termasuk mengingatkan mereka bahwa kebijakan itu konsekuensi, artinya mereka yang masuk ranah akademik harus membuktikan diri melalui tulisan di jurnal atau media lain. Lewat cara itu, kita bisa menilai bahwa yang bersangkutan memang pantas menyandang gelar akademik.

Logika seturutnya, dosen memberi contoh dan mendampingi mahasiswa agar mereka tergerak untuk menulis, melalui keteladanan dosen itu dalam menulis. Semasa saya kuliah, ada profesor sering memberi contoh konkret bagaimana cara menggali ide dan menulis dengan baik. Saya kemudian sangat termotivasi menulis karena menemukan contoh keteladanan dari profesor itu.

Beri Contoh

Surat edaran Dirjen Dikti jangan dimaknai sebagai kewajiban hanya untuk mahasiswa (termasuk dosen yang menempuh S-2 atau S-3) tapi juga bagi tenaga pengajar dan institusi, sekaligus untuk introspeksi sudah melakukan hal itu atau belum. Selama ini ada kecenderungan sebagian dosen memilih numpang nampang pada publikasi mahasiswa bimbingannya, misalnya sebagai penulis II dan seterusnya.

Artinya banyak dosen merasa puas hanya dengan menjadi ’’benalu’’ mahasiswanya, sementara dia tidak berusaha menulis mendasarkan pada hasil kajian dan penelitiannya. Ini sungguh menyedihkan karena hal itu berarti dia tidak mengembangkan ilmunya selain terus menjadi ’’penumpang’’ pada karya ilmiah mahasiswanya. Semestinya dosenlah yang menjadi ’’sopir’’, minimal sesekali.

Dalam konteks itu, ketika ada kewajiban membuat karya ilmiah maka dosenlah yang harus kali pertama merasa terpanggil untuk memberi contoh, terutama yang punya jabatan fungsional profesor. Selama ini ada kecenderungan bila sudah meraih jabatan fungsional akademik itu, seorang profesor  menganggap dirinya ’’pensiun’’, tidak ada upaya meng-up date ilmu, apalagi meneliti.
Lebih parah lagi, ada sejumlah dosen meyakini bahwa pendapat seorang profesor adalah ’’wahyu’’, tidak boleh dikritik, apalagi dibantah. Sikap itu tentu jauh dari nilai-nilai akademik yang terbuka, kritis, dan egaliter mengingat dengan cara itulah sebuah ilmu bisa berkembang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar