Rabu, 28 Maret 2012

Aspek Pidana Anarkisme Unjuk Rasa


Aspek Pidana Anarkisme Unjuk Rasa
Herie Purwanto, Kasubbag Hukum Polres Pekalongan Kota,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pekalongan (Unikal)
SUMBER : SUARA MERDEKA, 28 Maret 2012



DEMONSTRASI secara masif menentang kenaikan harga BBM pecah di sejumlah kota di Indonesia kendati sebelumnya Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol M Taufik mengingatkan supaya unjuk rasa itu tidak mengganggu kegiatan masyarakat. Menkominfo Tifatul Sembiring pun mengingatkan pengunjuk rasa jangan bertindak anarkis.

Tindakan apa yang dikategorikan anarki dan bagaimana aspek pidananya? Sahkah negara bila menggunakan kekuatan, termasuk senjata, untuk mengeliminasi tindakan anarkis sewaktu mengamankan demo?

Anarki yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kekacauan (di suatu negara), acapkali menjadi bentuk dasar pelegalan tindakan kekerasan oleh penegak hukum. Pengertian anarkis secara umum berarti tindakan yang identik dengan elemen kekerasan (anarki). Logika hukumnya adalah tanpa kekerasan, polisi tak boleh bersikap keras. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pun tidak secara eksplisit menegaskan soal anarkisme. Regulasi itu hanya menyebut HAM yang harus dijunjung tinggi tiap warga dan negara.

Adapun pelanggaran HAM yang dimaksud meliputi penganiayaan yang membuat trauma fisik ataupun psikis, menghilangkan nyawa orang lain secara tidak manusiawi, dan perusakan terhadap harta benda yang merupakan hak milik orang lain. Persoalannya, hukum pidana kita tidak mengenal tindak pidana anarkis. Penanganan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama, diatur pada Pasal 170, yang dapat menjerat pelaku tindak pidana itu, dan regulasi tersebut menjadi payung hukum kuat bagi Polri untuk menanggulangi tindakan anarkis. Ancaman hukuman bagi pelaku tindak pidana ini adalah 5 tahun 6 bulan.

Tindakan Terukur

Bagaimana bila eskalasi demo meningkat, misalnya sudah membakar ban, poster, atau foto pejabat negara, menyetop paksa truk tangki BBM, atau menduduki SPBU menjadi ciri-ciri atau benih tindakan anakis yang lebih besar, seperti melempar batu kepada petugas pengamanan, memblokade jalan, pelabuhan, atau objek vital lainnya. Apakah perbuatan itu dibiarkan?

Tindakan anarkis seharusnya dijerat dengan hukum pidana. Namun penegakan hukum terhadap pelaku anarki masih sebatas penegakan hukum biasa. Apabila menelaah modus, pelaku, korban yang bersifat masif maka seharusnya penegakan hukum yang diberlakukan harus lebih intensif, baik dari sanksi maupun proseduralnya.

Polisi akan mengamankan demo-demo itu sesuai Keputusan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Masyarakat. Namun jika terjadi kekisruhan maka polisi menerapkan Prosedur Ketetapan (Protap) Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindak Anarkis dengan tindakan tegas yang terukur.

Tentu masyarakat dan Polri berharap pengunjuk rasa tetap menjaga ketertiban dan keamanan aksi mereka sesuai dengan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, misalnya tidak membawa atribut aksi berupa binatang dan melibatkan anak di bawah umur. Namun bila yang terjadi sebaliknya, guna mencegah meluasnya anarki, aparat keamanan tidak boleh tinggal diam, hanya tindakan harus tetap terukur, sebagaimana protap.

Tindakan terukur itu berbentuk imbauan yang bersifat persuasif kepada pengunjuk rasa agar bertindak tertib. Bila imbauan diabaikan, pengunjuk rasa akan dihadapi oleh petelon pengendali massa dengan tangan kosong lunak, artinya tindakan petugas masih bersifat preventif. Bila eskalasi meningkat, maka lapis kekuatan pengamanan akan menerjunkan pengendali massa dengan  tangan kosong keras, berturut-turut kemudian menggunakan senjata tumpul, dan penggunaan senjata.
Bagaimanapun situasinya di lapangan, aparat harus mengedepankan nurani, berpikir jernih, dan menganggap pengunjuk rasa itu adalah bagian dari keluarga, bukan musuh. Meskipun berpayung aturan hukum, petugas harus lebih mengedepankan tindakan persuasif dan menjaga jangan sampai jatuh korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar