Selasa, 27 Maret 2012

Gubernur Monyet

Gubernur Monyet
J.J. Rizal, Sejarawan
SUMBER : SINDO, 27 Maret 2012



Gubernur Ali Sadikin punya rupa-rupa gelar. Selain “Bang Ali”, sebutan yang juga sohor adalah “Gubernur Monyet”. Tetapi semua gelar itu dasar pemberiannya sama, timbul dari penghormatan dan upaya masyarakat mengenangkan atas caranya bekerja.

Gelar “Bang Ali” berawal pada tahun-tahun permulaan kepemimpinannya di Jakarta. Dalam suatu acara budaya Betawi pada 1968, gelar itu secara seremonial diberikan oleh pimpinan masyarakat Betawi yang tergabung di Yayasan Muhammad Husni Thamrin. Sedangkan gelar “Gubernur Mo-nyet” sebenarnya bukan resmi sifatnya, istilah orang Betawi adalah poyokan atau sebutan kepada seseorang karena kekhasan atau style pada dirinya.

Lagi pula, gelar ini pun hanya hidup dalam oral history masyarakat Jakarta yang pernah ngalamin atau hidup di zaman Bang Ali. Karena Bang Ali terbilang ganteng, jadi awas jangan bilang bahwa gelar “Gubernur Monyet” itu berasal dari—maaf— penampilan dirinya. Namun, lebih disebabkan betapa tinggi intensitas kata makian monyet dipergunakannya.

Bang Ali di dalambiografinya BangAliDemi Jakarta 1966–1977 mengaku bahwa “dengan staf saya mesti menghardik,mesti membentak, mesti mengumandangkan suara keras,mesti mencambuk mereka untuk bekerja lebih teliti,saksama,telaten, tak bisa santai-santai saja.” Bang Ali mengungkapkan ketika mulai bekerja sebagai gubernur salah satu hal penting yang harus segera diperbaiki adalah birokrasi Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta.

Birokrasi ini merupakan kombinasi dari kemampuan yang rendah dengan rasa tidak punya kebanggaan sebagai abdi masyarakat, dan kesukaan menjilat ketimbang bekerja. Meskipun begitu, Bang Ali tidak melihatnya sebagai sesuatu yang tak bisa diperbaiki dan jalan spartanyang keras disertai penghargaan atas prestasi adalah jawabannya.

Seperti diakui Bang Ali, gaya spartan mendidik stafnya itu menyebar bersamaan dengan konsepnya melakukan dekonsentrasi teritorial dan fungsional dengan membentuk yang tadinya tiga menjadi lima wilayah administratif kota, serta penambahan kecamatan juga kelurahan. Bang Ali secara berkala turun dan berkantor di kelurahan-kelurahan. Saat itulah sering kedapatan Bang Ali meledak manakala menemukan ada stafnya yang tidak becus bekerja.

Tidak sedikit orang yang kena atau hanya sekadar menjadi saksi bagaimana gaya Bang Ali membentak sambil melemparkan kata-kata “sontoloyo”, “goblok”, dan yang paling sering “monyet”. Bahkan, kata-kata itu meluas dan digunakan Bang Ali di tengahtengah masyarakat. Adalah menarik bahwa dalam kekerasan sikapnya Bang Ali tidak sungkan-sungkan meminta maaf dan mengoreksi diri bila alasan kemarahannya ternyata keliru.

Soal ini pernah dikisahkan Arief Budiman ketika dia sebagai mahasiswa, memprotes tindakan penangkapan terhadap pemuda-pemuda berambut gondrong dan kemudian pengguntingan rambut mereka oleh polisi dan militer atas perintah Bang Ali. Arief dipanggil Bang Ali dan dimarahi di depan staf-stafnya karena dianggap mengganggu upaya menertibkan Jakarta.

Tetapi setelah Arief menjelaskan dan dianggap masuk akal, seketika Bang Ali meminta maaf. Bukan saja dengan mahasiswa Bang Ali sedia minta maaf, bahkan pada seorang tukang batu pun dia bersedia selama dia keliru. Seperti diungkapkan Bang Ali, kata-kata makian itu sungguh bukan dimaksudkannya untuk menghina, atau membuat takut, melainkan lebih pada agar “bisa menunjukkan apa yang salah dan mengerti kewajibannya”.

Ketikamemaki itu pula, seperti kata Arief Budiman,“Bang Ali menuntut dirinya bersedia mendengarkan orang lain, berani untuk mengubah sikap kalau dia merasa telah berbuat salah”. Oleh sebab itu, sebutan “Gubernur Monyet” jelas bukan sama sekali lahir dari niat menghina Bang Ali, justru suatu proses bagaimana masyarakat mendokumentasikan ingatan akan suatu masa keras menggebrak, tetapi mengandung dialog serta keberanian untuk mengubah sikap.

Lantas, sama mendukung satu niat menempatkan harkat mereka sebagai pemimpin dan warganya di dalam ruang Kota Jakarta, seraya bersama mengoreksi kesalahan anggapan lama di Jakarta bahwa masyarakat hanya––pinjam istilah Mohammad Husni Tharin–– “kotoran, paling banter dubbeltjes atau sesuatu yang sepele”.

Kalau sejarah Jakarta menurut Susan Blackburn dalam Jakarta A History adalah kisah tentang continuity and change atau perubahan dan kesinambungan, maka ironisnya arogansi pemerintah Batavia yang anggap urusan rakyat itu dubbeltjes kini justru sedang dalam kesinambungan.Jakarta pun jadi tak pas disebut metropolis, melainkan miseropolis alias kota yang minim kemanusiaan.

Pemkot Jakarta gagal mewarisi pemikiran “Gubernur Monyet” agar warga kota merasa— seperti ungkapan orang Jawa—diwongke atau dianggap sebagai manusia. Jakarta seperti tanpa peradaban kota. Orang merasa Jakarta adalah tempat yang tak beradab. Nah, jangan kaget bila kini banyak warga Jakarta menjelang pemilihan gubernur saat membicarakan mereka yang mencalonkan diri malah naik darah dan mulai memaki: monyet!

Ini boleh disebut muncul dari apatisme karena begitu lama mereka harus menyaksikan betapa Jakarta hari ke hari semakin terpuruk.Sementara begitu banyak calon belum apa-apa, ternyata sudah menunjukkan diri sebagai “ahlinya”, bukan hanya satu melainkan semua sudah ketularan virus“ahlinya”itu,malah ditambah pamer janji kecepatannya bekerja, unjuk dirinya sebagai jago eksekusi,dan lain-lain.

Dalam konteks itu, mengenang “Gubernur Monyet” adalah memahami bahwa seseorang dapat menjadi pemimpin yang baik justru bukan karena pengetahuannya, keahliannya lebih banyak daripada orang lain, atau punya pengalaman yang lama dalam kepemimpinan. Dan keberhasilan menemukan pemimpin yang baik adalah satu jalan yang rumit,

tetapi salah satunya ditentukan sekali oleh pertanyaan-pertanyaan kritis tentang adakah dalam latar belakang kedirian si calon suatu sikap yang kuat untuk diberi misi serta mengandung kemungkinan mampu melaksanakannya dalammasabaruJakarta yang lebih kompleks,juga cepat berubah dengan penuh prakarsa,lalu gairah tanpa kenal kompromi. Pendek kata, mengerti apa itu bekerja demi Jakarta kalau perlu dengan tetap melempar kata makian monyet seperti dulu dilakukan Bang Ali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar