Kamis, 29 Maret 2012

Kepala Daerah Demo dan Monoloyalitas


Kepala Daerah Demo dan Monoloyalitas
Ropingi el Ishaq, Dosen STAIN Kediri dan mahasiswa S2 Program Pascasarjana
Bidang Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung
SUMBER : JAWA POS, 29 Maret 2012



IDEALNYA, sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, pemerintah daerah adalah subsistem dari pemerintah pusat. Karena itu, pejabat pemerintah daerah harus memiliki sikap yang sama (mendukung kenaikan harga BBM) dengan pemerintah pusat. Dengan demikian, pejabat daerah menjadi tidak patut jika ikut terlibat dalam demonstrasi menolak rencana kenaikan harga BBM (Jawa Pos, 28 Maret 2012).

Fenomena pejabat daerah ikut terlibat dalam demonstrasi tersebut menarik untuk dicermati lebih lanjut. Sebab, dalam konteks organisasi, fenomena tersebut akan dapat mengacaukan struktur dan kinerja organisasi pemerintah sebagai organisasi negara. Itu telah diatur dalam UUD 1945 (pasal 18 tentang pemerintah daerah). Kacaunya organisasi pemerintah akan mengakibatkan pelayanan kepada rakyat menjadi tidak maksimal.

Aparatur pemerintah daerah yang tidak sejalan dengan pemerintah pusat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, iklim demokrasi yang mengusung otonomi daerah seolah memberikan angin kepada pejabat daerah untuk melakukan hal yang berbeda dengan garis kebijakan pemerintah pusat. Pikiran yang berbeda ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman atas aturan perundang-undangan mengenai otonomi daerah. Banyaknya aturan pada tingkat nasional untuk merespons kepentingan berbagai kelompok pada akhirnya memunculkan kebingungan bagi semua pihak, termasuk pejabat daerah. Selain itu, ambisi daerah terkadang melalaikan kepentingan tingkat nasional.

Kedua, demokrasi di negeri ini telah memotong logika dan doktrin monoloyalitas sebagaimana yang pernah diterapkan oleh Orde Baru. Sistem multipartai di era demokrasi saat ini mendorong munculnya pejabat daerah dari basis organisasi politik yang berbeda. Pada konteks ini, monoloyalitas harus ditumbuhkan kembali. Bukan monoloyalitas terhadap partai seperti yang dikembangkan Orde Baru, tetapi monoloyalitas terhadap pelayanan publik. Pejabat pemerintah harus mengutamakan kepentingan publik dalam konteks luas dan jangka panjang. Bukan loyalitas kepada partai atau kepentingan politik lainnya.

Ketiga, komunikasi birokrasi antara daerah dan pusat macet. Macetnya komunikasi birokrasi dilatari oleh perbedaan kepentingan partai pengusung pejabat pemerintah daerah dengan partai penguasa. Pejabat daerah yang ikut dalam demonstrasi menolak kenaikan BBM memang tidak signifikan untuk menjadi sampel dalam indikasi kemacetan komunikasi birokrasi tersebut. Namun, banyak indikasi dalam fenomena lain yang mengarah pada sebuah tesis atau kesimpulan bahwa komunikasi birokrasi pemerintah cenderung terhambat karena banyaknya kepentingan partai yang membonceng eksistensi pejabat daerah.

Dalam bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa pejabat daerah yang diusung oleh partai mendorong para pejabat tersebut berdiri di dua kaki. Satu kaki berdiri di pihak pemerintah karena jabatannya. Kaki yang satunya berdiri di atas kepentingan partai yang mengusungnya. Fenomena ini tampak pada tanggapan yang disampaikan oleh pejabat peserta demo penolakan kenaikan BBM (Jawa Pos, 28 Maret). Berdirinya pejabat pemerintah di dua kaki mengakibatkan komunikasi pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terjadi secara formalistik semata sehingga tidak berjalan secara efektif dan tidak mengerucut pada satu sikap.

Demonstrasi dan Aspirasi

Dalam konteks organisasi, demonstrasi masyarakat untuk menolak rencana kenaikan harga BBM oleh pemerintah pusat harus disikapi arif oleh para pejabat daerah. Sikap simpati dan empati kepada rakyat oleh pejabat daerah tentu harus disalurkan secara tepat dan adil. Apalagi jika pejabat tersebut tidak satu visi dengan pemerintah pusat. Sebab, seorang pejabat daerah tidak hanya mewakili suara partai, tetapi juga mewakili suara pemerintah.

Duduknya kader partai di pemerintahan bukan dimaksudkan untuk sekadar mendukung dan menyuarakan aspirasi rakyat yang telah memilihnya. Tetapi diharapkan dapat merumuskan konsep penyelesaian masalah. Alasan bahwa dirinya sebagai pejabat daerah tidak ikut dalam pengambilan keputusan tingkat nasional adalah bukan alasan yang tepat. Sebab, secara tidak langsung, dia adalah bagian dari pemerintah, bukan di luar sistem.

Kesiapan untuk menerima sanksi apa pun, termasuk dipecat dari jabatannya, akibat dari mendukung demonstrasi, rasanya juga bukan alasan yang kuat. Sikap tersebut justru akan dimaknai sebagai retorika politik pencitraan semata. Sebab, sekali lagi, bukan dukungan yang harus dilakukan, tetapi solusi yang harus ditawarkan. Para pejabat pemerintah (daerah) dituntut mampu bersikap adil, baik sebagai bagian dari pemerintah maupun sebagai pengayom masyarakat yang simpatik dan aspiratif. Untuk itu, dibutuhkan kemampuan berkomunikasi organisasi (birokrasi) yang matang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar