Jumat, 30 Maret 2012

Ketertiban Demi Persatuan

Ketertiban Demi Persatuan
Toeti Prahas Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 30 Maret 2012



Ketidakefisienan menjaga ketertiban layanan timbal balik antara pemerintah dan rakyat turut mengakibatkan sulitnya membangun kebersamaan demi persatuan."

JARGON yang pernah populer di masa perjuangan fisik dulu, `bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh', kedengaran sederhana. Namun, bila kita memaknainya dengan benar, betapa penting jargon itu bagi kehidupan bersama suatu masyarakat. Misalnya, betapa besar kecemasan kita sekarang melihat maraknya kegaduhan dengan ekses negatif yang merugikan rakyat banyak. Pertanyaan yang mengusik, apa yang kita cari hingga rela mengorbankan kebersamaan? Di masa perjuangan dulu kita rela berkorban demi kesejahteraan bersama. Sekarang cita-cita itu dikhawatirkan sirna. Individualisme diasumsikan merajalela.

Bagaimana kita memaknai demonstrasi mahasiswa yang tak kunjung reda entah sampai kapan. Apa pun jadinya dengan keputusan pemerintah menaikkan harga BBM, awam mengantisipasinya dengan sikap waswas. Bila naik, dapat dipastikan jumlah kaum miskin akan bertambah, mungkin jutaan atau bisa jadi belasan juta orang, yang tentu akan membebani penghidupan masyarakat umum. Bila harga BBM tidak dinaikkan, APBN akan berantakan dan pada gilirannya kita akan kehilangan kepercayaan luar negeri sebagai mitra bisnis dan politik. Pengaturan perekonomian akan terganggu. Itu garis besar yang kita tahu. Menurut pemerintah bila harga BBM naik ibaratnya maju kena, mundur kena. Mana pilihan terbaik?

Menjaga Kepentingan Siapa?

Demo besar-besaran yang terjadi sekarang mengingatkan kita akan peristiwa yang pernah terjadi sebelum Pak Harto lengser. Tentang demo 1997 itu, mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher dalam buku Statecraft (2002) berkomentar, “Singkatnya bantuan IMF lebih bersifat politis daripada operasi finansial. Khususnya IMF mendesak kenaikan besar harga BBM dan bahan pangan pada saat taraf hidup orang-orang kebanyakan di Indonesia sangat merosot akibat devaluasi. Perubahan-perubahan yang diadakan sebagian tentunya memang mereka inginkan. Namun, bila diberlakukan dalam keadaan seperti itu, sangat merusak, dan bukan hanya mendestabilisasi pemerintahan, tetapi juga seluruh negara.“

Situasi di masa Orde Baru yang dikenal otoriter itu tentu beda dengan yang terjadi di masa reformasi. Tetapi, mengapa demo mahasiswa membeludak seperti sekarang? Tanggapan sebagian di antara mereka: Mereka kehilangan rasa percaya kepada pemerintahan dan sebagian pejabatnya.

Ada kecurigaan, jangan-jangan subsidi yang dicabut itu nantinya akan mereka korupsi lagi. Inilah reaksi yang umum terdapat di kalangan mahasiswa yang berpikiran murni, yang kecewa atas berteletelenya penyelesaian masalah korupsi. Terlalu banyak kepentingan yang mencampuri, termasuk partai-partai politik yang sedianya menjadi perantara antara rakyat dan pemerintah. Mereka malahan terkesan menutup-nutupi. DPR, yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat, dianggap memihak kepada yang dicurigai.

Bedah Editorial Media Indonesia Rabu lalu membidik inti persoalan dengan tepat, mengapa pembahasan RAPBN-P 2012 dilakukan tanpa public hearing, yang berarti mengabaikan aspirasi yang mungkin dimiliki rakyat; padahal rakyat pemegang kedaulatan negara.

Sosialisasi dan Transparansi

Menurut paham konservatif, kalangan elitelah yang memiliki hak dan tanggung jawab untuk memelihara ketertiban masyarakat dan mengintegrasikan berbagai bagian dalam sistem masyarakat ke dalam kesatuan yang harmonis. Itu keinginan dan keyakinan mereka. Namun, kalangan elite tidak hanya memiliki kekuasaan terbesar dan sumber-sumber lain yang perlu untuk membangun kepemimpinan; mereka juga diharapkan diberkahi dengan kebijaksanaan dan keluhuran moral.

Akan tetapi, pemerintahan negara yang ditentukan elite semata, bagaimana pun bagusnya, tentu tidak sesuai dengan asas demokrasi. Dalam alam demokrasi, rakyat banyak juga mengandalkan peran DPR sebagai wakil dan pengayom kepentingan mereka. Ternyata itu tidak mudah diwujudkan. Terutama karena pendidikan dan tingkat sosial yang heterogen. Begitu rupa sehingga suara rakyat hanya dianggap `angka' yang mudah dibeli. Perpolitikan dijalankan oleh kalangan elite, termasuk anggota-anggota DPR dari partai politik. Ada kalanya kepentingan pribadi/partai lebih mengemuka dari kepentingan bersama.

Yang mengusik pikiran, apakah mindset bahwa elite yang paling berhak mengatur mengakibatkan terbangunnya sistem yang tidak mengharuskan transparansi? Bertalian dengan penaikan harga BBM, misalnya, dalam acara Bedah Editorial minggu ini ada keluhan dari penonton bahwa tidak ada transparansi. Memang patut disayangkan bahwa sosialisasi untuk mengantisipasinya bukan sejak jauh-jauh hari dilakukan. Mungkinkah mahasiswa akan ribut berdemo seperti sekarang bila alasannya masuk akal? Namanya `maha'-siswa. Mereka tentu tidak bodoh. Para pemangku jabatan hendaknya retrospeksi.

Dalam demo 1997 memang ada kecurigaan bahwa faktor politislah yang melengserkan Pak Harto. Kegaduhan sekarang beda. Amat mungkin inilah akibat kurangnya transparansi dan sosialisasi. Curhat tentang ancaman tidak ada manfaatnya. Melihat ke depan, meskipun pemerintahan sekarang hanya tinggal 2 tahun lagi berkuasa, mungkin krusial untuk membentuk satgas penerangan yang mumpuni, yang peranannya tentu lebih penting daripada satgas pornografi. Bukan untuk menjaga citra, melainkan untuk menjamin komunikasi terbuka dengan rakyat sebagai penyandang kedaulatan negara.

Berkaitan dengan itu, patut dikaji ulang peran birokrasi yang sedianya menjamin organisasi pemerintahan berjalan tertib dan lancar. Menurut sosiolog Jerman Max Weber, birokrasi terbentuk sebagai cara paling efisien untuk meng organisasi banyak orang untuk tugas-tugas yang kompleks. Sayangnya, bila orang mendengar `birokrasi', yang muncul adalah konsep tentang organisasi besar, tertutup, dingin, dan tidak efisien. Ini terjadi di mana-mana. Tidak mengherankan SBY berprakarsa membentuk banyak satgas karena reformasi birokrasi jauh dari jangkauan. Ketidakefisienan menjaga ketertiban layanan timbal balik antara pemerintah dan rakyat turut mengakibatkan sulitnya membangun kebersamaan demi persatuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar