Selasa, 27 Maret 2012

Krisis Ekonomi dan UKM


Krisis Ekonomi dan UKM
Achmad Deni Daruri, President Director Center for Banking Crisis
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 27 Maret 2012



Keberanian pemerintah untuk menjaga stabilitas harga energi karena dampak kenaikan harga energi sangatlah berpengaruh kepada struktur biaya sektor UKM."

SAAT ini subsidi bagi sektor usaha kecil dan menengah (UKM) di seluruh dunia bukanlah hal yang tabu. Untuk itu, pemerintah Indonesia juga tak perlu ragu untuk memberikan subsidi bagi sektor itu, misalnya melalui subsidi suku bunga mengingat krisis perekonomian dunia masih terus mengancam. UKM merupakan katup pengaman bagi perekonomian ketika krisis mendera. Sektor tersebut menjadi harapan utama sebagai penyerap tenaga kerja ketika perekonomian mengalami penciutan.

Sektor itu juga menampung banyak tenaga kerja informal akibat terkena pemutusan hubungan kerja di sektor formal. Krisis ekonomi menyebabkan permintaan agregat mengalami penurunan yang sangat cepat dan sistematis.  Akibatnya, selain usaha besar, usaha menengah dan kecil juga terpukul. OECD (2009) mengatakan, ‘There are costs to exporting, however, that may fall disproportionately on small fi rms—limiting their ability to participate in global trade’.

Namun pada krisis ekonomi 2008-2009, penelitian International Labour Organization (ILO) pada 2009 memperlihatkan koperasi merupakan kelembagaan yang paling sedikit terkena dampak dari krisis ekonomi. Itu memperlihatkan koperasi memiliki permintaan agregat yang captive dan/atau memiliki struktur biaya yang paling efisien.

Dengan kata lain, koperasi di Uni Eropa memiliki kemampuan yang sangat cepat dalam merespons krisis yang terjadi. Berdasarkan penelitian ILO tersebut, pembuat kebijakan publik juga harus melakukan kebijakan yang mampu membawa sektor UKM untuk mampu mengurangi dampak dari krisis, misalnya dengan memberikan kesempatan bagi Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk menjalin kerja sama dengan koperasi. Pertama, pemerintah harus memiliki sistem yang cepat dalam melakukan evaluasi terhadap segala hambatan yang akan dialami UKM. Kedua, memberikan bantuan dalam mengelola kredit. Ketiga, memberikan kesempatan bagi UKM untuk mendapatkan kemudahan dalam procurement dana anggaran pendapatan dan belanja negara. Keempat, melakukan pelatihan bagi jasa business development. Kelima, membantu asosiasi UKM untuk lebih aktif lagi memberikan bantuan dan saran bagi UKM. Langkah tersebut bukanlah langkah yang mudah apalagi jika pemerintah tidak memiliki peta dan cetak biru pembangunan sektor UKM. Ketiadaan data akan menyebabkan formulasi kebijakan menjadi lebih sulit, apalagi untuk diimplementasikan dan dievaluasi.

Secara makroekonomi pemerintah harus menerapkan kebijakan antisiklis dengan memperbesar defi sit anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai kompensasi atas penurunan permintaan agregat. Untuk mengantisipasi masalah likuiditas, bank sentral harus menurunkan tingkat suku bunga dan membuka akses perbankan.

Kesehatan perbankan juga harus diperkuat. Bank-bank yang memiliki keahlian khusus dalam berhubungan dengan sektor UKM seperti BRI harus mendapatkan perhatian yang sangat khusus dalam desain pembangunan sektor ini guna menghadapi krisis ekonomi.

Kondisi krisis situasi yang dihadapi UKM di negara maju dan di negara sedang berkembang relatif sama dalam konteks kesulitan keuangan. Bank pada umumnya akan menurunkan akses keuangan bagi sektor ekonomi mana pun termasuk UKM. Hal itu wajar karena dengan terjadinya krisis, kondisi kesehatan perusahaan yang sebelumnya stabil bisa jadi tidak sehat. Selain penurunan permintaan agregat, peningkatan biaya menjadi penyebab terjadinya kondisi ketidakstabil an perusahaan.

Dengan demikian, penurunan cost of capital menjadi sangat penting, tetapi akses terhadap dana bank juga jauh lebih penting lagi. Akses itu hanya dapat diperoleh jika ada dana yang menjamin pinjaman dari sektor UKM. Pemerintah Inggris pada 2008 mengucurkan 1 miliar pound sterling khusus bagi UKM mereka. Jelas pemerintah harus turun tangan. Program dana jaminan pinjaman juga harus segera dilaksanakan secepatnya dan subsidi bunga kredit perbankan harus segera dapat berjalan.

Yang lebih penting lagi ialah keberanian pemerintah untuk menjaga stabilitas harga energi karena dampak kenaikan harga energi sangatlah berpengaruh kepada struktur biaya sektor UKM. Kenaikan harga energi juga akan memangkas daya beli perekonomian domestik sehingga permintaan agregat justru akan semakin turun.

Kebijakan kaum neolib justru berbeda, yaitu dengan menghapus subsidi bahan bakar minyak agar permintaan agregat terus melemah. Itulah yang menjadi resep International Monetary Fund (IMF) di Asia pada saat krisis ekonomi 1997 dan krisis Uni Eropa saat ini. Dengan kebijakan itu, pertumbuhan ekonomi akan semakin negatif, sedangkan efisiensi anggaran pendapatan dan belanja negara digunakan untuk membayar utang luar negeri dan bunganya. Berbeda dengan Uni Eropa, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Obama justru ingin menghidupkan permintaan agregat.

Masalahnya, Obama terkendala oleh menguatnya kekuatan Partai Republik di badan legislatif. Kekuatan neolib memang sangat dahsyat karena mereka mendapatkan dukungan dari kekuatan kapitalisme internasional. Tidaklah mengherankan jika dengan kebijakan IMF tidak ada yang berupaya memperkuat sektor UKM. Inggris berani mengucurkan bantuan bagi sektor UKM karena mereka tidak dalam cengkeraman IMF. 
Ketakutan terhadap adanya krisis ekonomi seperti di Uni Eropa saat ini ialah bangkrutnya usaha besar mereka yang kemudian akan digantikan usaha besar dari luar negeri.

Dengan munculnya usaha besar baru dari luar negeri, mereka akan mencari rantai penawaran usaha kecil dan menengah yang baru yang berasal dari luar negeri juga. Ketakutan itulah yang menyebabkan UKM menjadi seksi secara politik ekonomi. Hancurnya UKM merupakan indikator hancurnya kedaulatan ekonomi negara.  OECD (2007) menyebutkan, ‘A large fi rm may be able to fi nance such costs internally and to reduce its risk by diversifying its overseas customers. However, an SME may have to find external financing, which may be particularly costly due to its relatively small sales volumes and limited overseas customer base, particularly during periods of tightened credit markets'.

Jika orientasi pembangunan ekonomi ialah penguatan permintaan domestik, tidak ada alasan bagi negara mana pun untuk takut dalam memberikan bantuan bagi sektor UKM. Mengingat sektor itu strategis, akan sangat tepat jika segala bentuk liberalisasi terhadap sektor tersebut dicegah sedini mungkin.

Sejarah di Inggris memperlihatkan liberalisasi yang dulu dicanangkan PM Inggris Margareth Thatcher terbukti gagal total. Inggris justru semakin kehilangan daya saing mereka, bukan hanya di sektor manufaktur, melainkan juga di sektor keuangan. Jerman yang masih mengandalkan perbankan yang dimiliki negara justru mampu menciptakan produktivitas yang tinggi di sektor riil. Hong Kong, yang dahulu dijajah Inggris, saat ini bahkan menjadi lokomotif keuangan dunia mengalahkan New York. Hong Kong dapat unggul karena dukungan sektor UKM yang sangat produktif berkat talenta-talenta sektor UKM yang terlatih dan teruji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar