Selasa, 27 Maret 2012

Masukan Pemilu Mudah dan Murah

Masukan Pemilu Mudah dan Murah
Nadjib Hamid, Anggota KPU Jawa Timur
SUMBER : JAWA POS, 27 Maret 2012



SATU tugas DPR dalam rangka persiapan Pemilu 2014 telah diselesaikan Kamis pekan lalu, yaitu memilih anggota KPU dan Bawaslu yang baru. Kini ada satu lagi tugas yang harus diselesaikan segera, yaitu undang-undang pemilu.

Mengapa segera? Sebab, empat bulan lagi, tepatnya pada Agustus nanti, jadwal tahapan Pemilu 2014 sudah dimulai. Kita tidak ingin pengalaman pahit pada Pemilu 2009 terulang. Ketika itu regulasi pemilu (UU No. 10/2008) baru selesai dua bulan menjelang tahapan dimulai.

Parahnya lagi, di tengah jalan regulasinya mengalami beberapa kali revisi. Dampak paling signifikan adalah ketika sistem proporsional tertutup diubah menjadi propor­sional terbuka oleh Mahkamah Konstitusi. Akhirnya, Pemilu 2009 memperoleh nilai sebagai pemilu paling rumit dan mahal sepanjang sejarah kepemiluan di republik ini.

Kita belum tahu apakah sistem pemilu nanti lebih baik atau kacau lagi. Tetapi, kita sepakat bahwa regulasinya harus diperbaiki. Namun, dari pemberitaan yang mencuat di media saat ini, alotnya perdebatan para anggota perlemen itu sepertinya bukan didasarkan pada keinginan menciptakan pemilu yang lebih baik kecuali untuk mempertahankan kepentingan jangka pendek masing-masing fraksi. Hal itu tecermin dari sikap saling memberi harga mati.

Fraksi PDIP, misalnya, kukuh pada sistem proporsional tertutup dan dibalas oleh Demokrat dengan kukuh pada proporsional terbuka. Demikian pula Golkar yang ngotot dengan dapil besar, dibalas partai menengah dan kecil dengan mempertahankan dapil lama. Sikap ekstrem dan saling balas juga terjadi saat pembahasan parliamentary threshold atau ambang batas suara.

Sungguh patut disesalkan jika partai politik bukannya berlomba-lomba menyajikan regulasi terbaik bagi pelaksanaan Pemilu 2014 nanti, tetapi mengutak-atik pasal-pasal mubazir karena pasti akan digugat masyarakat. Seperti pengalaman UU No 15/2011 yang mengatur syarat keanggotaan KPU dan Bawaslu boleh diduduki aktivis partai dan UU No 10/2008 tentang sistem pemilu proporsional tertutup yang berujung pada kekalahan di Mahkamah Konstitusi. Saya khawatir kesempatan emas ini lewat begitu saja karena DPR masih asyik dengan dunianya sendiri.

Syarat Pemilu Bermutu

Saya sepakat dengan ide Arief Budiman, anggota KPU terpilih, yang mengusulkan agar desain pemilu ke depan bisa lebih mudah teknisnya, murah biayanya, dan aman risikonya. Untuk itu, menurut saya, perlu dipikirkan empat hal.

Pertama, menyederhanakan aturan pendaftaran pemilih dan cara pemilihan. Intinya bisa dilakukan di mana saja. Surat suaranya tidak terlalu besar dan cara membu­kanya sederhana. Tentu, ini terkait dengan sistem pemilu. Jika proporsional terbuka, semua nama calon harus dicantumkan. Konsekuensinya, surat suara menjadi besar. Solusinya, dapil (daerah pemilihan) harus diperkecil sehingga daftar calonnya tidak terlalu banyak. Partai menengah dan kecil mungkin tidak suka dengan dapil kecil, padahal justru lebih meringankan calon untuk membina konstituen asalkan mereka mau bekerja telaten. Ini memang susah karena kantor parpol hanya ramai menjelang pemilu, tidak rajin membina kader.

Selain itu, cara penanda­an antara pileg, pilpres, dan pilbup/pilwali harus disamakan. Jangan seperti selama ini, ada yang mencoblos dan ada yang mencontreng. Kalau DPR mau mempertimbangkan pemilihan berbasis elektronika (e-voting), akan lebih mudah dan murah lagi. Bahkan dapat mengatasi masalah DPT (daftar pemilih tetap) yang selama ini menjadi momok bersama.

Kalau menggunakan e-voting, bisa sejalan program e-KTP yang sedang dijalankan pemerintah sehingga bisa sinergis. Kalaupun ada yang diragukan validitasnya, tinggal dibenahi bersama. Tetapi, saya ragu, apakah DPR mau menyerahkan pengelolaan suara pemilih kepada mesin walau seratus persen sudah percaya uangnya dikelola ATM.

Kedua, pemilu cukup satu putaran dengan suara terbanyak. Tidak perlu ada putaran kedua. Sebab, dampak putaran kedua pada pembiayaan dan pengamanan sangatlah luar biasa. Maka, jika hanya satu putaran, biaya bisa dihemat dan konflik bisa diperkecil.

Ketiga, mengintegrasikan pelaksanaan pemilu atau pemilu serentak. Saat ini rata-rata pemilu diadakan empat kali selama lima tahun. Yaitu pileg, pilpres, pilgub, dan pilbup atau pilwali. Ke depan, cukup dua kali, yaitu pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. Atau pemilu nasional dan pemilu lokal. Dengan cara ini, dampaknya bagi penghematan biaya sangatlah signifikan, terutama pada biaya petugas penyelenggara. Sekaligus untuk menghindari kejenuhan pemilih dan mengurangi konflik.

Keempat, memperpanjang masa kampanye. Waktu kampanye pemilu eksekutif yang hanya 14 hari ternyata kerap mendorong konflik horizontal. Karena itu, perlu diperpanjang waktunya. Sudah terbukti, pemilu legislatif dengan waktu kampanye dimulai saat parpol mendaftar mampu meminimalkan konflik.

Sekali lagi tahapan Pemilu 2014 sudah di depan mata. Jangan sia-siakan kesempatan emas ini untuk menciptakan pemilu mudah, murah, dan bermutu. DPR pasti bisa asal tidak asyik dengan dunianya sendiri, tetapi asyik memikirkan rakyat! ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar