Selasa, 27 Maret 2012

Membangkitkan Potensi Panas Bumi


Diskusi Panel “Ketahanan Energi Pasca-Kenaikan Harga BBM Bersubsidi” :
Membangkitkan Potensi Panas Bumi
SUMBER : KOMPAS, 27 Maret 2012



Berada pada jalur rangkaian gunung berapi, Indonesia menyimpan 40 persen dari cadangan potensi panas bumi dunia. Namun, akibat paradigma kebijakan energi saat ini yang masih didominasi pemakaian energi fosil, menyebabkan kekayaan alam itu kurang tergarap.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, saat ini total penyediaan energi nasional 1.177 juta setara barrel minyak. Dari jumlah itu, 95 persen di antaranya bersumber dari energi fosil, terutama minyak dan batubara. Padahal, produksi dan cadangan minyak terbukti terus turun. Sementara pembangunan pembangkit listrik tenaga uap batubara 10.000 megawatt (MW) berjalan lamban dan mayoritas produksi batubara diekspor.

Di sisi lain, berdasarkan data pemanfaatan energi selama 20 tahun terakhir, konsumsi energi nasional tumbuh 6 persen per tahun. Sebagian dipenuhi melalui impor minyak. Rasio elektrifikasi di sejumlah tempat yang belum mencapai 70 persen juga akan memicu pertumbuhan konsumsi energi pada masa mendatang.

Kondisi ini menjadi ancaman serius dalam pengelolaan energi nasional di tengah makin terbatasnya jumlah energi fosil dunia yang memicu kenaikan harga jenis energi tersebut. Jika kita semakin bergantung pada bahan bakar minyak, hal ini akan berdampak pada membengkaknya beban subsidi energi sebagaimana terjadi saat ini.

Terkait hal itu, potensi energi baru terbarukan harus digarap lebih serius. Saat ini, pemanfaatannya baru 5 persen dari total jumlah energi nasional. Ketua Harian Dewan Energi Nasional sekaligus Menteri ESDM Jero Wacik memaparkan, pada tahun 2025 pangsa energi baru terbarukan ditargetkan mencapai paling sedikit 25 persen dan pada 2050 minimal 40 persen.

Mengutip Organisasi Energi Berkelanjutan Internasional (International Sustainable Energy Organization/ISEO), biaya energi terbarukan, seperti energi surya, tenaga panas bumi, arus laut, dan hidrogen, akan turun pada masa depan. Sementara pembangkit listrik tenaga air akan naik meski biayanya relatif masih tetap rendah. Hal ini, menurut Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo, berbeda dibandingkan dengan biaya energi tidak terbarukan, seperti minyak, gas, dan batubara, yang akan naik pada masa depan.

Energi panas bumi di Indonesia mempunyai potensi 29.038 MW atau setara 1,1 juta barrel minyak per hari (sekitar 40 persen dari potensi dunia). Wilayah Indonesia yang terletak di lajur sabuk gunung aktif memiliki potensi panas bumi yang besar, tersebar di sepanjang jalur Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, hingga Halmahera. Namun, hingga kini baru dimanfaatkan 1.196 MW atau sekitar 4,1 persen dari total potensi.

Atas dasar itu, tenaga panas bumi merupakan pilihan energi masa depan. Selain memungkinkan kita mempunyai ketahanan dan kemandirian energi secara jangka panjang dan terbarukan, tenaga panas bumi juga ramah lingkungan dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak. Dengan percepatan pengembangan panas bumi, Indonesia dapat menjadi negara pemanfaat geotermal atau panas bumi terbesar di dunia pada 2015-2016 dengan kapasitas produksi lebih dari 4.400 MW.

PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), misalnya, telah menangkap peluang itu dan secara agresif mengembangkan energi geotermal. Mereka mulai meningkatkan kapasitas produksi dari sebesar 292 MW pada tahun 2011 menjadi 1.077 MW atau setara 43.000 barrel minyak per hari pada 2016. Hal ini sekaligus berarti akan menambah potensi di wilayah kerja saat ini, 855 MW. ”Jika target ini tercapai, kami akan menyumbang penurunan karbon 11,21 juta ton per tahun sejak 2016,” kata Slamet Riadhy, Presiden Direktur PGE.

Risiko Tinggi

Bisnis geotermal memang berisiko tinggi pada tahap eksplorasi dan pengembangan lapangannya. Menurut Slamet Riadhy, aktivitas hulu berupa pengeboran menghasilkan uap berisiko tinggi gagal atau tidak layak secara ekonomis. Selain itu, juga butuh dana besar.

”Kemampuan teknis dan bisnis serta kemampuan pendanaan jadi tantangan bagi pengembangan panas bumi. Pengembangan sulit mendapat pendanaan untuk kegiatan hulu,” ujarnya.

Kendala lain adalah aspek perizinan dari pemerintah pusat dan daerah. Sekitar 42 persen dari total luas wilayah yang memiliki potensi panas bumi terjadi tumpang tindih lahan dengan kawasan hutan. Sementara geotermal sebelumnya dianggap sebagai kegiatan tambang yang merusak lingkungan sehingga tidak boleh masuk hutan.

”Perlu satu pemahaman antara pemerintah pusat dan pemerintah di daerah mengenai kegiatan panas bumi sejak tahap eksplorasi. Kalau proses perizinan sampai dua tahun, ini berat bagi pengembang,” kata dia. Sebagai langkah awal, Kementerian Kehutanan dan Kementerian ESDM telah sepakat mempercepat perizinan 28 pengusahaan energi panas bumi pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi.

Harga jual listrik dan uap juga perlu diperbaiki untuk mempercepat pengembangan geotermal. Pemerintah telah menerbitkan regulasi yang menetapkan harga jual listrik dan uap dari panas bumi 9,7 sen dollar AS per kWh, jauh lebih murah dibandingkan dengan jika memakai BBM yang mencapai 26 sen dollar AS per kWh. Namun, untuk sejumlah pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang beroperasi sebelum aturan itu terbit, harganya masih 6 sen dollar AS per kWh.

Percepatan pengembangan geotermal juga terkendala keterbatasan kemampuan teknis. Sebagai contoh, pengadaan turbin PLTP harus diimpor, antara lain, dari Jepang, Afrika, dan Eropa. ”Mulai tahun ini kami menjajaki kerja sama dengan universitas. Harapannya, tahun depan pihak nasional sudah bisa bikin turbin berkapasitas 1-2 MW dan kapasitasnya akan terus ditingkatkan menjadi 25 MW,” ujar Slamet.

Terobosan kebijakan diperlukan untuk mengatasi sejumlah hambatan pengembangan panas bumi, misalnya penerbitan keputusan pemerintah terkait surat jaminan kelayakan usaha atas proyek PLTP Muaralaboh dan PLTP Rajabasa. Meski proses pemberian jaminan itu terbilang lamban, kebijakan itu telah memberi angin segar bagi para investor dan mendukung pemenuhan pembiayaan proyek pembangkit listrik. Jaminan ini diberikan kepada pengembang atas risiko gagal bayar PT PLN yang terjadi pada masa operasi proyek.

Penetapan harga jual listrik dari tenaga panas bumi juga semestinya memperhatikan aspek keekonomian proyek agar menarik minat investor. Karena itu, PLN dan pengembang sudah saatnya bersinergi untuk mendukung kelangsungan operasi proyek itu, termasuk membuka ruang negosiasi ulang kontrak penjualan listrik dari energi panas bumi yang masih di bawah harga keekonomian.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Kardaya Warnika menegaskan, pemerintah tengah merancang aturan penetapan tarif khusus untuk listrik dari tenaga panas bumi dengan besaran bervariasi, tergantung pada lokasi pembangkit listrik. Jadi, nantinya harga listrik yang bersumber dari energi panas bumi antardaerah beragam, sesuai keekonomian proyek. Aturan ini dibuat demi menarik minat investor. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar