Selasa, 27 Maret 2012

Menggugat Politik Anggaran


Diskusi Panel “Ketahanan Energi Pasca-Kenaikan Harga BBM Bersubsidi” :
Menggugat Politik Anggaran
SUMBER : KOMPAS, 27 Maret 2012



Rencana pemerintah mengurangi subsidi energi harus dibuka dalam perspektif yang lebih luas, yaitu bagaimana sebenarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditentukan.
Maka, pertanyaannya kemudian adalah: apakah negara akan tetap memberi subsidi walau angka subsidi sudah mendekati Rp 200 triliun? Apabila ya, berarti harga bahan bakar minyak bersubsidi, yaitu bensin Premium dan solar, tidak naik. Pada pilihan ini, politik anggaran mengarahkan alokasi anggaran untuk subsidi. Politik anggaran yang lain adalah menjadikan BBM bersubsidi sebagai komoditas sehingga harus mendekati harga keekonomiannya. Ini berarti mengurangi subsidi karena sesuai dengan harga minyak internasional.

Kenyataannya, pemerintah lalai menggarap pekerjaan rumahnya, seperti diversifikasi energi dan lambat mengembangkan infrastruktur, sehingga masyarakat cenderung resisten terhadap kebijakan yang diambil.

Apabila pemerintah sejak awal sudah mengalokasikan anggaran pengurangan subsidi untuk infrastruktur, misalnya, masyarakat relatif akan menerima argumentasi kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut.

Subsidi Terus Meningkat

Faktanya, subsidi BBM cenderung meningkat. Pada 2008, subsidi BBM mencapai Rp 139,106 triliun. Tahun 2009 turun drastis tinggal Rp 45,039 triliun. Tahun 2010, subsidi BBM naik lagi menjadi Rp 82,351 triliun. Pada 2011, subsidi BBM meningkat lagi menjadi Rp 129,723 triliun, bahkan realisasinya jauh lebih tinggi: Rp 165,2 triliun.

Dalam APBN 2012, subsidi BBM dianggarkan Rp 123,599 triliun tanpa kenaikan harga BBM bersubsidi. Namun, dalam Rancangan APBN Perubahan 2012, pemerintah menganggarkan subsidi BBM Rp 137,379 triliun, plus kenaikan harga bensin dan solar menjadi Rp 6.000 per liter.

Bambang Wuryanto mempersoalkan argumentasi pemerintah yang berubah-ubah mengenai perlunya pengurangan subsidi BBM ini. Argumentasi pertama adalah kenaikan harga minyak mentah dunia. Dalam APBN 2012, asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) baru 90 dollar AS barrel. Namun, harga minyak mentah dunia yang terus melejit membuat pemerintah mengajukan asumsi ICP 105 dollar AS per barrel. Apabila tidak dinaikkan, APBN 2012 akan jebol.

Argumentasi kedua adalah sasaran subsidi BBM yang tidak tepat. Hasil survei pemerintah menunjukkan, 77 persen masyarakat kelas menengah ke atas yang menikmati BBM bersubsidi. Namun, survei Badan Penelitian dan Pengembangan PDI-P menunjukkan hal sebaliknya: justru 65 persen warga menengah ke bawah yang menggunakan BBM bersubsidi.

Argumentasi ketiga adalah jika harga BBM tidak dinaikkan, defisit APBN 2012 bisa mencapai 3 persen produk domestik bruto.

Bambang Wuryanto mencatat, argumentasi harga BBM mendekati harga keekonomian, yaitu harga yang terbentuk oleh keseimbangan permintaan dan penawaran, dimulai saat krisis 1998 sesuai dengan saran Dana Moneter Internasional (IMF).

Pri Agung Rakhmanto sepakat harga BBM sesuai dengan harga keekonomian. Ia mengartikan harga BBM murah tidak melalui angka nominal, melainkan secara relatif. Artinya, ketika daya beli masyarakat sudah baik, tidak masalah membeli bensin Rp 9.000 per liter, misalnya. Karena daya beli masyarakat belum cukup, menaikkan harga BBM bersubsidi tetap jadi soal.

Penolakan terhadap kenaikan harga BBM lebih karena argumentasinya salah. Jika pemerintah mengatakan hasil menaikkan BBM akan dipakai untuk mengelola infrastruktur transportasi publik, orang pasti menerima.

Maka, yang penting sekarang adalah bagaimana mengomunikasikan pengurangan subsidi dengan menaikkan harga BBM itu. Inilah tanggung jawab pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat bersama-sama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar