Selasa, 27 Maret 2012

Pajak, Subsidi BBM, dan Kebijakan Energi


Pajak, Subsidi BBM, dan Kebijakan Energi
Sunarsip, Ekonom The Indonesia Economic Intelligence, pemilik situs www.sunarsip.com
SUMBER : KORAN TEMPO, 27 Maret 2012



Dalam sebulan terakhir ini, ada dua isu yang saya kira menyita perhatian publik: rencana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi dan isu perpajakan. Saya kira wajar saja bila sejumlah pihak mencoba mengaitkan kedua hal ini. Sebab, kebetulan kedua aspek ini merupakan penghuni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sayangnya, di tengah isu rencana kenaikan harga BBM, muncul pendapat masyarakat di jejaring sosial seperti, "Saya kan membayar pajak, sudah sepantasnya bila ikut menikmati BBM bersubsidi." 

Celetukan ini mirip keluhan para pengusaha besar terkait dengan pajak yang mereka bayar dengan tuntutan infrastruktur, yang pernah saya dengar beberapa tahun lalu, seperti, "Para pengusaha ini kan membayar pajaknya juga besar. Ya, sudah semestinya pajak yang dibayar tersebut dikembalikan ke kami dalam bentuk infrastruktur jalan dan sejenisnya yang dekat dengan usaha-usaha kami."

Sepintas tidak ada yang keliru dengan celetukan di atas. Saya kira itu adalah sebuah harapan yang sah-sah saja sebagai warga negara yang menuntut hak-haknya diperhatikan. Namun, dalam kacamata ilmu keuangan negara (public finance), celetukan tersebut jelas keliru. Kenapa? Pertama, tentu harus dipahami apa itu pajak. Pajak adalah iuran wajib kepada negara karena kita telah menikmati manfaat ekonomi (economic benefit) tinggal di Indonesia dan tidak ada kompensasi langsung yang akan diberikan kepada pembayarnya, bahkan bisa saja pembayarnya tidak menerima kompensasi apa-apa. Itulah esensi pajak: iuran wajib yang sifatnya memaksa karena kita merasakan manfaat ekonomi tinggal di Indonesia.

Kedua, pajak itu iuran yang dipaksakan bagi masyarakat yang telah mampu (wajib pajak) yang difungsikan sebagai instrumen distribusi pendapatan agar terjadi pemerataan pendapatan dan kesejahteraan. Jadi pajak itu sesungguhnya bukan hak pembayar pajak, tapi hak seluruh rakyat, terutama rakyat miskin. Negara hanya memainkan peran sebagai agen distribusi kemakmuran dari si kaya kepada si miskin. Maka pembayar pajak tidak pada tempatnya meminta kompensasi atas pajak balik kepada mereka secara langsung. Subsidi BBM (termasuk subsidi lainnya) diciptakan pemerintah bukan karena kita membayar pajak, tapi diberikan kepada yang berhak menerimanya: masyarakat tidak mampu.

Kesimpulannya, subsidi (termasuk subsidi BBM) bukan merupakan bentuk kompensasi langsung yang didesain bagi pembayar pajak. Subsidi adalah salah satu instrumen distribusi pendapatan (khususnya dari sisi alokasi) kepada pihak yang berhak menerimanya, yang diambil dari dana yang dapat dikumpulkan negara, antara lain melalui pajak. Namun ini tidak berarti pemerintah boleh mengabaikan kepentingan pembayar pajak. Sebenarnya, kenapa subsidi BBM perlu dikendalikan, ini lebih karena kita menghadapi kelangkaan sumber daya (scarcity of resources), sehingga pemerintah harus membuat pilihan (choice) dan konsekuensinya akan menimbulkan trade-off. Dalam konteks subsidi BBM, trade-off biasanya tidak menguntungkan pembayar pajak (penduduk kaya), karena itu mereka dituntut rela tidak menerima manfaat atas kebijakan tersebut.

Penerimaan perpajakan kita dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Sementara pada 2006 (sebelum reformasi birokrasi digulirkan), penerimaan perpajakan mencapai Rp 409,2 triliun, pada 2011 mencapai Rp 878,8 triliun dan pada 2012 ditargetkan mencapai Rp 1.019,2 triliun atau telah meningkat dua setengah kali lipat dari posisi pada 2006, dengan rata-rata pertumbuhan 17 persen per tahun. Penerimaan perpajakan 2011-2012 tumbuh 17,5 persen.

Sayangnya, dari sisi alokasi, tampaknya banyak hal yang perlu diperbaiki pada APBN kita. Selain realisasi belanjanya yang sering tidak sesuai dengan target, dari sisi kuantitas, apalagi kualitas, komposisinya belum sepenuhnya mencerminkan "keseimbangan" yang tepat. Sebagai ilustrasi, pada APBN 2012, anggaran kemiskinan Rp 99,2 triliun dan anggaran kesehatan Rp 48 triliun. Anggaran pertanian (baik pusat maupun transfer ke daerah, termasuk subsidi pangan) hanya Rp 53,9 triliun, dan anggaran infrastruktur Rp 161,5 triliun. Adapun subsidi BBM mencapai Rp 123,6 triliun.

Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ternyata subsidi BBM dinikmati oleh sebagian besar masyarakat menengah-atas. Data Kementerian ESDM 2010 menunjukkan 89 persen pengguna BBM bersubsidi adalah transportasi darat. Sementara itu, 59 persen pengguna BBM bersubsidi berada di Jawa-Bali, yang 30 persen berada di Jawa dan 18 persen di Jabodetabek. Yang mengejutkan, penikmat BBM bersubsidi ternyata 53 persen pemilik mobil pribadi, 40 persen pengguna sepeda motor, serta hanya 4 persen pemilik mobil barang dan 3 persen kendaraan umum.

Kebijakan subsidi BBM yang berlebihan tentunya tidak menguntungkan bagi perekonomian. Bagi pemerintah, pembengkakan subsidi BBM pasti akan membebani belanja APBN. Tidak hanya itu, subsidi BBM juga telah menciptakan ketidakadilan, karena penikmat subsidi BBM adalah kelompok masyarakat menengah ke atas (individu pemilik kendaraan bermotor, terutama mobil, di perkotaan). Di sisi lain, alokasi subsidi BBM yang besar menyebabkan anggaran belanja untuk sektor lainnya (termasuk bagi kelompok miskin) menjadi kecil.

Kebijakan subsidi BBM yang berlebihan juga menimbulkan efek negatif lainnya yang tak kalah berat. BBM bersubsidi telah menimbulkan pemborosan dalam hal konsumsi energi tak terbarukan. Kondisi ini sejatinya sama saja mempercepat proses terjadinya kelangkaan energi. BBM bersubsidi juga telah menjadi insentif bagi masyarakat untuk berkendaraan pribadi, yang justru menimbulkan persoalan pelik bagi sistem transportasi darat, khususnya di kota-kota besar. Akibatnya, industri transportasi massal menjadi tidak menarik, yang justru sebenarnya diharapkan dapat memecahkan masalah keruwetan transportasi darat.

Saat ini Indonesia tercatat sebagai pengimpor neto BBM. Karena itu, mempertahankan subsidi BBM berlebihan sama saja dengan memberikan subsidi bagi kilang minyak di luar negeri, yang sudah pasti dampak multiplier-nya terhadap ekonomi kita akan negatif. Hal yang berbeda bila subsidi dialihkan ke anggaran kemiskinan, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, yang pasti akan memberikan dampak multiplier positif.

Jelas bahwa mempertahankan kebijakan subsidi BBM yang berlebihan lebih banyak efek negatifnya dibanding manfaatnya. Maka kebijakan pengurangan subsidi BBM (apakah melalui pembatasan penggunaan BBM bersubsidi atau kenaikan harga BBM bersubsidi) semestinya direalisasi secara konsisten. Tujuannya agar terjadi alokasi subsidi yang tepat sasaran. Hasil pengurangan subsidi BBM ini kemudian dialihkan untuk memperbesar subsidi bagi program jaring pengaman sosial, ketahanan pangan, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya yang diperlukan masyarakat. Termasuk pula untuk memperbesar anggaran bagi pembangunan infrastruktur transportasi dan infrastruktur migas. Kebijakan pengurangan subsidi BBM juga merupakan langkah yang bijak untuk menjaga ketahanan energi di masa mendatang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar