Jumat, 30 Maret 2012

Perebutan Kursi Bos OJK


Perebutan Kursi Bos OJK
Iskandar Simorangkir, Doktor Ekonomi Moneter dan Perbankan, Pengajar Pascasarjana Universitas Pelita Harapan
SUMBER : SINAR HARAPAN, 30 Maret 2012



Minggu lalu, panitia seleksi (pansel) pemilihan calon Dewan Komisioner (DK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menyampaikan 21 nama calon DK OJK kepada Presiden SBY. Menilik semua calon, ternyata kental sekali nuansa perebutan kursi bos OJK antara Lapangan Banteng dan Thamrin.

Dari 21 calon, 14 nama berasal atau dekat dengan bos Lapangan Banteng, sementara enam calon merupakan petinggi dan mantan petinggi dari BI, dan hanya satu calon di luar kedua lingkaran kekuasaan tersebut.

Komposisi calon tersebut memberikan kekhawatiran dari pengamat bahwa Lapangan Banteng dan Thamrin ingin menancapkan pengaruhnya pada lembaga pengawas keuangan yang super power tersebut. Jika ego tersebut terbawa oleh pemimpin OJK terpilih maka dapat menimbulkan permasalahan koordinasi antara OJK dengan otoritas terkait di kemudian hari.

Jika itu terjadi, Republik ini harus siap menerima kegagalan krisis sistem keuangan seperti pernah dialami negara-negara lain yang gagal mendirikan OJK. Kegagalan tersebut akan dapat mengakibatkan negeri ini jatuh ke dalam krisis ekonomi dengan ujung-ujungnya harus dipikul oleh rakyat berupa peningkatan kemiskinan dan pengangguran.

Belajar dari pengalaman negara-negara yang mengalami kegagalan OJK, ternyata salah satu faktor utama kegagalan adalah salah memilih pemimpin OJK. Jika ditelisik lebih jauh, ternyata ada tiga faktor penyebab kesalahan memilih pemimpin.

Pertama, pemimpin yang kurang kompeten karena tidak mempunyai pengalaman di bidang pengawasan lembaga keuangan. Kedua, kelemahan koordinasi akibat pemimpin lebih mengedepankan ego sektoral. Ketiga, terdapat vested interest dari pemimpin OJK karena yang bersangkutan pernah terafiliasi dengan pihak yang diawasi.

Jika ditelusuri, persyaratan pertama kompeten di bidangnya, panitia seleksi patut diacungkan jempol karena telah memilih orang-orang yang tepat dan mumpuni di bidangnya masing-masing. Tetapi dalam dua persyaratan yang lain, ternyata masih terdapat calon yang belum memenuhi syarat.

Dilihat dari syarat perilaku koordinasi, masih ada calon yang tercatat lebih mementingkan lembaganya tanpa melihat kepentingan lembaga lainnya atau kepentingan masyarakat luas. Kepentingan luas diartikannya sebagai kepentingan lembaganya semata sehingga banyak kebijakan yang dikeluarkan merugikan kesejahteraan rakyat.

Faktor lainnya yang perlu menjadi perhatian adalah pemimpin OJK harus bebas vested interest. Dilihat dari kandidat ternyata masih terdapat orang-orang kunci yang diajukan merupakan pihak yang akan diawasi. Independensi seorang pengawas akan dipertanyakan ketika yang bersangkutan mengawasi pekerjaan yang pernah dilakukan.

Di negara-negara lain jarang ditemukan suatu lembaga mengangkat pengawas untuk mengawasi pekerjaan yang pernah dilakukannya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menerapkan tata kelola yang baik sehingga dapat dihindarkan kolusi antara pengawas dengan pihak yang diawasi. Kita berkeyakinan nantinya presiden dan DPR akan melihat seluruh kriteria tersebut.

Perangkat Hukum

Kunci sukses dari lembaga pengawas keuangan super power seperti OJK akan sangat ditentukan koordinasi yang baik antara OJK dengan otoritas moneter (BI) dan pemerintah. Tetapi koordinasi yang erat tidaklah cukup. Diperlukan perangkat hukum yang kuat dalam penanganan krisis. Saat ini belum ada payung hukum yang kuat untuk mengatasi krisis keuangan di Indonesia.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengamanan Sistem Keuangan (JPSK) masih dalam pembahasan yang panjang dan alot. Bahkan RUU amendemen BI dan RUU Perbankan tidak masuk dalam daftar prolegnas yang akan dibahas DPR pada tahun ini.

Krisis Eropa yang masih belum jelas akan berakhir dan masih rentannya perekonomian AS masih berpotensi mengancam perekonomian Indonesia dari krisis. Payung hukum yang berupa nota kesepahaman antara BI dan Kementerian Keuangan ataupun LPS tidak cukup untuk mengatasi krisis yang ada.

Trauma dari otoritas moneter, otoritas perbankan, dan pemerintah dalam menangani penyelesaian risiko sistemik dari Bank Century dapat memicu krisis keuangan di kemudian hari jika krisis keuangan global merambat kembali ke perekonomian karena ketidakpastian hukum. Dengan demikian penyelesaian RUU JPSK, RUU Perbankan, dan RUU BI merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar.

Tetapi yang tidak kalah pentingnya dalam mengawasi lembaga keuangan dan mengelola ekonomi negeri ini adalah moral yang sesuai hati nurani. Tidak jarang kebijakan yang dikeluarkan untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang mengatasnamakan rakyat.

Pentingnya moral tersebut ditekankan Adam Smith hampir tiga abad yang lalu dalam bukunya, The Theory of Moral Sentiments yang diterbitkan tahun 1759 atau 18 tahun sebelum buku terkenalnya, The Wealth of Nations. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar