Kamis, 29 Maret 2012

The Presidential Look Sebuah Fenomena


The Presidential Look Sebuah Fenomena
Andreas Ambesa, Anggota Task Force Komunikasi Politik Partai NasDem
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 29 Maret 2012



SETELAH amendemen keempat UUD 1945 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres), yang semula dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), disepakati untuk dilakukan secara langsung oleh rakyat. Pilpres 2004 yang merupakan pelaksanaan amendemen UUD 1945 tersebut merupakan pesta demokrasi pertama di Indonesia dalam ajang pemilihan langsung presiden dan wakil presiden.

Pilpres 2004 memilih Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden pertama RI yang dipilih langsung oleh rakyat. SBY terpilih kembali sebagai presiden untuk masa jabatan kedua pada Pilpres 2009 berpasangan dengan Wapres Boediono dan akan berakhir pada 2014 mendatang.

Terpilihnya SBY sebagai presiden RI untuk masa jabatan kedua menurut pengamat politik, riset, dan rakyat yang memilihnya secara langsung karena dia memiliki presidential look jika dibandingkan dengan calon presiden (capres) lainnya.

Faktor-faktor presidential look yang dimiliki SBY ialah: tinggi, cakap, pintar, tenang, dan sopan. Namun pada akhirnya, sebagian besar pemilihnya sekarang kecewa karena kepemimpinan dia ternyata jauh dari harapan. SBY lebih mementingkan pencitraan diri, keluarga, dan kelompoknya daripada bertindak layaknya seorang presiden yang tegas dan memperjuangkan hak-hak rakyat.

Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Jenderal Purnawirawan Wiranto pada Pilpres 2009, walaupun tingkat kecerdasan, kewibawaan, dan pemikirannya melebihi capres lainnya, gagal menjadi presiden ketujuh RI karena dia bertubuh kecil, berkumis, dan tidak presidential look.

Presidential look ialah seorang yang memiliki sosok presiden yang ideal baik capres pria maupun capres perempuan. Para pengamat politik berpendapat sebagian besar voter (pemilih) adalah perempuan, bukan laki-laki. Pemilih perempuan lebih menyukai capres laki-laki yang tampan. Sebaliknya, pemilih laki-laki melihat kecantikan seorang kandidat perempuan lebih tepat untuk bidang lainnya. Menjadi presiden bukanlah pilihan mereka.

Pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk membenarkan asumsi tersebut. Dia menyebutkan kisaran di atas 50% pemilih perempuan pada Pilpres 2004 dan Pilpres 2009 memilih SBY. Angka itu masih melihat capres dari sisi presidential look. Untuk angka rasional, dia menilai sekitar 30%, tapi perlu survei yang lebih pasti pada saat ini.

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Pilpres 2004 dan 2009 menunjukkan peningkatan jumlah pemilih. Pada 2004 pemilih yang terdaftar sebanyak sekitar 145 juta jiwa, meningkat menjadi sekitar 176 juta lebih pemilih. Sekitar 51% adalah pemilih perempuan.

Lalu, siapakah calon presiden RI pada Pilpres 2014? Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani, hasil survei LSI soal calon presiden ideal pada Pilpres 2014 masih memunculkan nama-nama politisi tua yang sudah berkiprah sejak era reformasi bergulir.

Hasil survei LSI yang dipublikasikan Februari lalu di Jakarta menemukan beberapa dari 10 nama calon presiden paling populer. Mereka antara lain Megawati Soekarnoputri dipilih 22,2% responden, Prabowo Subianto (16,8%), Aburizal Bakrie (10,9%), dan Wiranto (10,6%). Doktor ilmu politik tersebut mengakui, selama lima tahun terakhir, masih sulit menemukan calon presiden yang ideal sesuai dengan harapan masyarakat. Kultur politik di Indonesia, menurut dia, pemimpin yang menghadapi suatu persoalan tetap menduduki jabatannya hingga selesai.

Mujani juga menyatakan kekecewaannya karena sampai saat ini belum muncul nama-nama politisi muda sebagai calon presiden alternatif. Jika politisi muda tidak berbuat sesuatu dan popularitas mereka tidak naik hingga akhir 2012, Mujani memperkirakan politisi tua yang tetap lebih poputisi muda sebagai calon presiden alternatif. Jika politisi muda tidak berbuat sesuatu dan popularitas mereka ti dak naik hingga akhir 2012, Mujani memper kirakan poitisi tua yang tetap lebih populer hingga 2014.

Bagi kaum muda Indonesia, mereka mempunyai kriteria sendiri tentang capres mendatang yang cocok dengan presidential look. Menurut mereka, presidential look memiliki bobot minimal sebagai berikut: karisma, keberanian, kemampuan memengaruhi orang lain, mampu membuat strategi, moral yang tinggi, mampu menjadi mediator, mampu menjadi motivator, dan memiliki rasa humor.

Pada Pemilu 2014 yang tidak lama lagi, sulit bagi kita untuk mencari pemimpin muda yang presidential look di luar hasil survei LSI Februari lalu. Akankah wajah-wajah baru dan wajah-wajah muda muncul dalam dua tahun ini? Jawabannya, mungkin masing-masing parpol sebaiknya sejak saat ini sudah melakukan kaderisasi pemimpin untuk jangka 10 tahun ke depan sehingga kita tidak krisis kepemimpinan.

Krisis kepemimpinan hampir terjadi di Amerika Serikat ketika Ronald Reagan, presiden ke-40 AS (1981-1989), digantikan George HW Bush (Bush Senior) karena masa jabatan keduanya berakhir.

Rakyat AS menghendaki Reagan terpilih kembali untuk ketiga kalinya karena menganggap Reagan sosok presidential look yang mereka idamkan. Ia ganteng, berani, tegas, visioner, inovatif, humoris, penuh program ke depan, punya sikap kepemimpinan mumpuni, sekaligus mampu bersikap pragmatis dalam menanggapi keinginan mayoritas publik. Dengan kata lain, rakyat AS menginginkan presiden yang mampu memimpin sekaligus mendengarkan.

Indonesia hampir memiliki sosok presidential look idaman ketika Try Sutrisno terpilih sebagai wapres keenam RI (1993-1998). Pasar menghendaki dia sebagai the next president yang menggantikan Presiden Soeharto. Try Sutrisno menurut pasar memiliki wajah tampan, bersih seperti Elvis Presley, negarawan yang jujur, bersahaja, loyal, berdedikasi tinggi, dan berpendirian teguh. Sebagian besar penggemarnya adalah ibu-ibu dan perempuan dewasa.

Tidak mengherankan jika kemunculan Pak Try di publik dan siaran televisi selalu dinanti-nantikan mereka. Namun, Pak Harto ternyata lebih memilih BJ Habibie sebagai wakil presiden berikutnya yang kemudian menggantikan dia sebagai presiden ketika mengundurkan diri 21 Mei 1998.

Thomas E Cronin dan Michael A Genovese dalam The Paradoxes of the American Presidency (1998) mengatakan setidaknya diperlukan presidential look yang punya bakat lahir dalam improvisasi. Hal itu terutama untuk menghadapi berbagai hal yang bersifat kontradiktif. Namun diingatkan, semakin seorang presiden coba menyenangkan setiap orang dan hanya memberikan respons karena desakan sesaat, ia justru akan tersingkir.

Siapa presiden RI berikutnya yang akan menggantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Apakah dia seorang presidential look? Kita tunggu. And believe it or not, people still aim for presidential look. Presidential look adalah sebuah fenomena.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar