Sabtu, 31 Maret 2012

Subsidi BBM dan Subsidi Ristek


Subsidi BBM dan Subsidi Ristek
Nyoto Santoso, Staf Pengajar Institut Pertanian Bogor (IPB)  
SUMBER : SINDO, 31 Maret 2012



Demo dan ingar-bingar memprotes kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) melupakan kita untuk memikirkan perkembangan riset dan teknologi (ristek) di Indonesia. Betapa tidak.

Saat ini dunia ristek masih tetap menjadi anak tiri dalam konstruksi APBN. Padahal iptek dan ristek merupakan tulang punggung kemajuan sebuah negara. Jika saat ini masyarakat Indonesia gundah terhadap kenaikan harga BBM, sesungguhnya hal itu terjadi karena pemerintah selama ini mengabaikan ristek tentang pengembangan energi alternatif. Bandingkan dengan Brasil, negeri tropis mirip Indonesia, yang mampu mengembangkan energi alternatif nonfuel oil sehingga Negeri Samba ini punya ketahanan terhadap gejolak harga BBM internasional.

Indonesia sebenarnya bisa seperti Brasil mengingat potensi kekayaan biodiversitasnya yang luar biasa banyak yang bisa dipakai untuk memproduksi bahan bakar alternatif. Sayangnya, potensi itu terabaikan sehingga timbul masalah besar bila harga BBM internasional naik. Hal yang sama terjadi pada SDM. Banyak sekali putra-putri Indonesia yang cerdas dan berprestasi ilmiah di tingkat internasional, tapi di dalam negeri mereka juga terabaikan.

Akibatnya, banyak di antara mereka hijrah ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan penghargaan yang setimpal atas prestasinya. Prof Dr Ryoji Noyori, nobelis Kimia (2001) asal Jepang, menyatakan bahwa kecerdasan dan prestasi orang-orang Indonesia sangat tinggi. Sayangnya, potensi putra-putri Indonesia yang luar biasa itu tidak mendapatkan dukungan pemerintah. Iklim dan atmosfer Indonesia tak mendukung para ilmuwan yang brilian tersebut untuk berkarya dan melakukan inovasi teknologi energi di negerinya sendiri.

Berani Inovasi

Salah satu kelemahan Pemerintah Indonesia dari tahun ke tahun dalam membuat APBN adalah ketidakberanian nya dalam berinovasi untuk mengembangkan dunia ristek secara besar-besaran. Dari tahun ke tahun dana ristek ini hanya sekitar 1% APBN.Padahal negaranegara maju menginvestasikan danauntukristeknya sekitar5% dari GDP-nya. Dengan asumsi besaran GDP lima kali APBN, dana ristek negara maju seperti Jerman dan Jepang bisa mencapai 25% dari APBN-nya.

Bagaimana Indonesia? Tiap tahun dana ristek hanya sekitar 1% APBN. Jika RAPBN Indonesia 2012 mencapai Rp1.418 triliun,dana risteknya hanya sekitar Rp14,18 triliun. Jika Indonesia ingin mengembangkan teknologi agar tidak menjadi negara pengimpor teknologi,dana risteknya idealnya minimal 1% GDP atau 5% APBN (Rp70,9 triliun). Biaya riset dan pengembangan teknologi memang mahal.

Namun,hasilnya di masa depan akan jauh lebih mahal dari modal yang dikeluarkannya karena implikasinya sangat luas. Meski hasilnya lebih, “jangan dihitung dulu” secara ekonomi akuntansi ansich untung-rugi pendanaan ristek yang besar tersebut.Kalau dihitung secara ekonomi akuntansi ansich,bisabisa pemerintah tidak punya keberanian untuk membiayai ristek di atas.

Karena itu, para pemimpin negara maju berani mengalokasikan dana besar-besaran untuk pengembangan ristek tanpa menghitung-hitung kapan kembalinya dana tersebut. Para pemimpin bangsa harus punya keyakinan dan keberanian untuk menyatakan bahwa investasi itu amat penting dan akan mendapatkan yield yang amat besar.

Fakta menunjukkan,pendapatan negara- negara yang menginvestasikan ristek besar-besaran ternyata terus meningkat dan akan makin meningkat seiring dengan ditemukannya teknologi- teknologi baru. Contohnya Taiwan dan China.Kedua negara ini menginvestasikan dana untuk ristek besarbesaran, mencapai sekitar 20% APBN-nya.Hasilnya,kedua negara tersebut tumbuh menjadi negara raksasa ekonomi dan teknologi.

Dr Yanuar Nugroho, putra Indonesia yang menjadi peneliti inovasi teknologi di Manchester University, Inggris, menyatakan bahwa bangsa Indonesia telah melakukan kesalahan sangat serius dalam melihat teknologi.Menurut Yanuar, teknologi bukan sekadar alat atau instrumen yang karenanya bisa diperoleh secara gampang dengan cara mengimpornya.

Namun, teknologi adalah sebuah kesatuan berpikir, cara berbudaya,cara berperilaku, cara merasa, bahkan cara bersosialisasi. Di Indonesia masyarakat dan pemerintah tampaknya masih berpikir absurd: teknologi hanya sekadar instrumen dan komoditas. Akibatnya, pemerintah tidak punya perhatian besar— kalau tak bisa dikatakan tidak berminat—mengembangkan teknologi.

Jangan heran jika jiwa sebagian masyarakat Indonesia sebetulnya masih sangat jauh dari “ruh”teknologi maju meski mereka sudah hidup di tengah teknologi tersebut. Ini misalnya terlihat dari rendahnya kedisiplinan, transparansi anggaran, dan manipulasi dana pembangunan. Maraknya korupsi yang sulit sekali dibendung misalnya merupakan dampak tersingkirnya ruh teknologi dalam kehidupan masyarakat kita.

Contohnya dalam pemakaian energi surya.Di Eropa,yang sinar mataharinya cuma pada sudut 27 derajat, ternyata dijadikan energi alternatif masa depan.Tahun 2030 Eropa menargetkan pemakaian energi terbarukan secara massif. Rumah-rumah yang menggunakan panel surya diberi insentif, pinjaman bebas bunga,dan pemotongan pajak. Pengembangan panel energi surya (solar energy) dilakukan secara luar biasa dengan dana amat besar.

Pemerintah pun mau berinvestasi dalam pengembangan ristek solar energy ini secara besar-besaran. Konsep dan implementasinya juga sangat terintegrasi,yaitu mulai dari inovasi teknologi di photovoltaics sampai reformasi perpajakan. Bandingkan dengan di Indonesia. Di Indonesia matahari jatuh 90 derajat, tapi pemerintah tidak punya insentif dan inovasi untuk memanfaatkan potensi energi surya yang melimpah tersebut.

Mobil dengan mesin hibrida (antara lain menerima campuran sumber energi minyak dan sinar matahari) misalnya dianggap mobil mewah sehingga pajaknya tinggi. Padahal seharusnya mobil yang hemat BBM dan ramah lingkungan tersebut mendapat subsidi.Dengan demikian,program pemerintah untuk andil dalam pengurangan emisi karbon global dan pemakaian bahan bakar kendaraan bermotor bersinergi.

Sayangnya, hal itu tidak terjadi. Persis seperti spanduk di pom-pom bensin Pertamina yang berbunyi: terima kasih tidak memakai bahan bakar bersubsidi! Padahal, siapa pun tahu, 99% lebih kendaraan yang datang ke pom-pom bensin tersebut membeli premium yang disubsidi tanpa sedikit pun pemerintah mau menolaknya.

Kenapa tak bisa menolak? Karena belum ada kebijakan integratif yang membuat orang datang ke pom bensin untuk membeli bahan bakar nonsubsidi. Itulah dampaknya jika pemakaian teknologi terpisah dari ruhnya karena minimnya riset dan pengembangan iptek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar