Selasa, 27 Maret 2012

Sulitnya Bertahan jika Kebijakan Energi Minim


Diskusi Panel “Ketahanan Energi Pasca-Kenaikan Harga BBM Bersubsidi” :
Sulit Bertahan jika Kebijakan Energi Minim
SUMBER : KOMPAS, 27 Maret 2012



Setiap kali harga minyak dunia naik, pemerintah dan parlemen heboh. Respons yang muncul selalu pro dan kontra akibat minimnya implementasi kebijakan energi jangka panjang. Sumber energi baru dan terbarukan tidak dieksplorasi, sementara sumber daya alam yang tidak bisa diperbarui sudah semakin menipis.

Seiring dengan semakin meningkatnya kualitas kebutuhan penduduk, tuntutan keperluan energi setiap orang juga meningkat. Permintaan daya setiap orang terus naik rata-rata 3,2 persen setiap tahun selama 10 tahun terakhir, padahal jumlah penduduk di negeri ini terus bertambah.

Dalam waktu lima dekade, penduduk Indonesia telah meningkat hampir 100 persen, dari 119 juta jiwa tahun 1971 menjadi 238 juta jiwa tahun 2010. Hasilnya, kebutuhan energi Indonesia melonjak drastis.

Selain itu, aktivitas ekonomi yang semakin kompleks dan kompetitif turut menyumbang peningkatan hajat energi. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini dibanggakan harus dibayar dengan kebutuhan energi yang kian besar.

Sebenarnya, peningkatan konsumsi energi tidak akan menjadi masalah seandainya Indonesia tidak bergantung pada sumber energi fosil, khususnya minyak bumi. Saat ini konsumsi bahan bakar minyak (BBM) masih paling besar, 36,4 persen, dibandingkan dengan total energi final. Jika biomassa dikeluarkan dari hitungan, proporsi BBM semakin besar dan mencapai 51,19 persen. Ketergantungan akan BBM ini dirasakan oleh banyak sektor, terutama industri, rumah tangga, dan transportasi.

Produksi Minyak Turun

Ketika permintaan dalam negeri meningkat, cadangan minyak bumi justru kian menipis. Produksi minyak bumi dan kondensat pun terus menurun 17,7 persen pada tahun 2011 dibandingkan dengan tahun 2004. Dengan kondisi ini, impor untuk memenuhi kebutuhan domestik sulit ditekan.

Akibatnya, upaya pemenuhan kebutuhan daya Indonesia tak bisa dilepaskan dari harga minyak di pasar dunia. Padahal, harga komoditas ini terus berfluktuasi, dipengaruhi oleh situasi politik dan ekonomi global.

Guncangan ataupun ketegangan di suatu kawasan akan terus membuat khawatir banyak pihak, termasuk Pemerintah Indonesia. Subsidi untuk mempertahankan harga BBM agar tetap terjangkau bagi kalangan tertentu akan semakin melonjak kala harga minyak dunia naik.

Selama ini harga BBM di Indonesia relatif lebih rendah dibandingkan dengan di negara-negara tetangga karena adanya subsidi. Harga premium bersubsidi yang dikenal nama dunia internasional sebagai RON 88 hanya Rp 4.500 per liter di Indonesia. Negara lain, seperti Malaysia, menghargai BBM jenis ini lebih tinggi, Rp 5.753 per liter. Demikian pula harga di Thailand dan Filipina, yang mencapai Rp 12.000 per liter. Di negeri mungil Singapura, harga premium bahkan lebih mahal lagi, yakni Rp 15.995 per liter.

Tekanan peningkatan harga minyak dunia terhadap subsidi kemudian melahirkan polemik panjang mengingat kenaikan harga BBM di Indonesia dikaitkan dengan banyak masalah lain, termasuk di antaranya politik. Hasilnya, debat panjang tentang kenaikan harga BBM selalu berulang setiap harga minyak dunia melonjak tajam.

Kebijakan Energi Minim

Pro dan kontra kenaikan harga BBM bersubsidi selalu terjadi. Ini sebenarnya bisa ditinggalkan seandainya Pemerintah Indonesia sudah memiliki kebijakan energi nasional komprehensif dan terpadu. Berbagai regulasi dari berbagai departemen yang ada kini hanya berorientasi jangka pendek dan bersifat sektoral. Akibatnya, peraturan-peraturan yang ada tumpang tindih.

Strategi ketahanan energi yang sudah pernah dirintis tidak terdengar lagi. Ini terjadi karena elemen pelaksana negara tidak ada niat untuk melaksanakannya. Ada dua aturan strategi yang telah dibuat, yaitu Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM). Keduanya sebagai acuan pembangunan juga sudah menekankan pentingnya ketahanan energi dan mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak bumi dan BBM.

Keduanya memang sudah berjalan, tetapi isinya belum menunjukkan adanya sensitivitas bahwa Indonesia sudah mulai memasuki tahap krisis energi. Selain itu, implementasi dari kebijakan-kebijakan ini sulit ditemukan. Akibatnya, pemerintah selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan jangka pendek dalam mengatasi ketertinggalan harga minyak bumi.

Ketidakkonsistenan dalam menaati acuan telah menyuramkan masa depan diversifikasi energi di Indonesia. Buktinya, bahan bakar gas (BBG) yang sudah dikembangkan sejak 1995 hanya didukung oleh sembilan stasiun BBG. Sementara itu, Pakistan yang baru mulai mengembangkan BBG pada 1999 saat ini sudah memiliki 3.000-an stasiun pengisian.

Demikian pula dengan perkembangan kendaraan yang memanfaatkan bahan bakar ini. Ketika semakin banyak alat transportasi yang menggunakan BBG di belahan dunia lain, jumlah angkutan kendaraan pengguna BBG di indonesia justru terus turun 3,33 persen per tahun.

Meskipun sudah terlambat, pemerintah harus memiliki kebijakan energi nasional yang menyeluruh, terpadu, dan berorientasi jangka panjang. Mengingat pentingnya ketahanan energi saat ini dan masa mendatang, kebijakan jangka panjang ini harus dilaksanakan dengan konsisten. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar