Jumat, 30 Maret 2012

Ulat Bulu, Tomcat, Lalu…


Ulat Bulu, Tomcat, Lalu…
Toto Subandriyo, Alumni IPB; Bergiat di Lembaga Nalar Terapan (LeNTera)
SUMBER : KOMPAS, 30 Maret 2012



Warga Kota Surabaya dan sekitarnya beberapa hari belakangan ini dibuat heboh dengan kehadiran serangga berukuran tidak lebih dari 1 sentimeter berwarna oranye-hitam dalam jumlah tidak biasa.

Kehadiran serangga yang belakangan dikenal dengan sebutan tomcat itu ternyata menyebabkan sebagian warga menderita iritasi kulit (dermatitis). Gejala diawali dari rasa gatal pada kulit, tak lama kulit menjadi memerah dan melepuh seperti terbakar.

Tomcat (Paederus fuscipes) masuk dalam Ordo Orthoptera dan Famili Staphylinidae. Dalam bahasa Inggris sering disebut rove beetle atau kumbang penjelajah atau pengelana karena selalu aktif berjalan-jalan. Disebut tomcat karena bentuknya sepintas menyerupai pesawat tempur Tomcat F-14. Ledakan (outbreak) populasi tomcat pernah dilaporkan terjadi di Okinawa, Jepang, (1966); Iran (2001); Sri Lanka (2002); Pulau Pinang, Malaysia, (2004, 2007); India Selatan (2007); dan Irak (2008).

Para ahli menyebutkan, sekitar 20 jenis dari 600 jenis tomcat yang dikenal dikaitkan dengan penyakit dermatitis. Meski tomcat tak menggigit atau menyengat, kulit yang kontak dengan tomcat akan mengalami iritasi akibat racun pederin yang menyebabkan bengkak di hemolimf. Beberapa literatur menyebutkan bahwa racun pederin ini tidak diproduksi oleh tomcat, tetapi merupakan endosimbion antara tomcat betina dan beberapa spesies bakteri Pseudomonas.

Sebagaimana fenomena ulat bulu, berbagai macam tanggapan masyarakat segera menyeruak ke wacana publik via jejaring sosial. Sebagian menduga ini bentuk teror biologis (bioterorism) untuk mengacaukan ketahanan pangan Indonesia. Ada pula yang berpendapat ini bagian dari skenario untuk memuluskan rencana inovasi benih transgenik yang beberapa waktu lalu digagas pemerintah. Bahkan, ada yang menduga ini upaya pengalihan isu politik yang sedang mendera pemerintah, termasuk isu kenaikan harga BBM.

Monokultur

Ledakan tomcat menurut penulis merupakan fenomena alam yang sangat mungkin terjadi karena berbagai faktor. Ledakan populasi tidak hanya bisa terjadi pada tomcat, tetapi juga jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) lain, seperti wereng batang coklat, tikus, sundep, xanthomonas, belalang, dan OPT utama tanaman pangan lain. Fenomena ledakan ulat bulu, tomcat, wereng batang coklat, dan OPT lain tak terlepas dari anomali iklim dan cuaca ekstrem. Tahun 2010, misalnya, hujan turun sepanjang tahun. Secara sosiokultural, jika melihat jumlah air melimpah, yang ada dalam benak petani Indonesia adalah bertanam padi, lain tidak. Akibatnya, petani selalu mengusahakan tanaman monokultur, yaitu dominan padi.

Kondisi seperti ini menjadi sangat optimal bagi berkembangnya OPT tanaman pangan karena siklus hidupnya tak pernah terputus. Tanaman monokultur menurunkan keanekaragaman hayati lingkungan. Dampaknya, hewan dan tanaman yang secara alami berperan sebagai pengendali spesies tertentu musnah serta perkembangan hama dan penyakit tidak terkendali.

Eksplosi serangan OPT yang lebih dahsyat daripada ulat bulu dan tomcat pernah terjadi di Pulau Jawa tahun 1986, yaitu wereng batang coklat. Kala itu, jutaan hektar tanaman padi milik petani mengalami hopper burn, gagal panen karena serangan wereng batang coklat. Pada tahun itu, pemerintah membuat terobosan dengan mengeluarkan Inpres No 3/1986 tentang Pengendalian Hama Terpadu (PHT).

Komitmen politik pemerintah terhadap pelaksanaan PHT saat itu sangat kuat. Tak kurang dari 57 jenis pestisida untuk pertanaman padi dilarang karena punya spektrum luas. Pestisida jenis itu di samping membunuh OPT sasaran, juga membunuh musuh alami. Komitmen politik mengalami lesu darah seiring era globalisasi, reformasi, dan otonomi daerah.

Revitalisasi

Pada era globalisasi sekarang ini perdagangan tidak menciptakan perkampungan global (global village), tetapi lebih mirip penjarahan global (global pillage). Benih transgenik dan pestisida merusak yang di negara asal perusahaan transnasional dilarang, di negara berkembang seperti Indonesia masih dijual bebas (Anthony Giddens, Runaway World, 1999: 11)

Agar fenomena ledakan ulat bulu dan tomcat tak lagi terjadi, mau tak mau, suka tak suka, pemerintah dan seluruh masyarakat harus melakukan revitalisasi PHT. Sistem PHT merupakan cara pengendalian yang didasarkan pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang bertanggung jawab.

Prinsip PHT, antara lain, pengendalian sesuai kearifan lokal yang memungkinkan tetap berfungsinya berbagai agensia hayati secara maksimal. Kultur budidaya dilakukan dengan pengelolaan ekosistem yang mendukung, antara lain pemilihan varietas tahan, pergiliran varietas, sanitasi lingkungan, pola tanam yang teratur, dan memanfaatkan tanaman perangkap.

Pengendalian sedapat mungkin dengan cara-cara fisik dan biologis, jika terpaksa menggunakan pestisida harus dilakukan secara bijaksana dari jenis insect growth regulator (IGR).

Bukan hanya itu, pola hidup antroposentrisme yang telah merasuk jauh pada diri masyarakat perlu dicerahkan. Menurut Aristoteles, paham antroposentrisme memandang bahwa tumbuh-tumbuhan di planet bumi disediakan untuk binatang, sedangkan binatang disediakan untuk keperluan manusia. Akibatnya, manusia berlomba-lomba menaklukkan dan mendominasi alam. Mereka menempatkan alam sebagai sumber eksploitasi,

Atas nama kesulitan ekonomi, atas nama kemiskinan, dan atas nama pembangunan, masyarakat menjadi sangat permisif terhadap tindak perusakan lingkungan. Demi uang ratusan ribu dan agar dapur keluarga tetap mengepul, perburuan predator hama dilakukan secara masif. Ular sawah, burung pemangsa ulat dan pemangsa tomcat, burung hantu, katak, kroto semut rangrang, serta predator lain diburu.

Fritjof Capra (2001) mengingatkan, dunia ini bukanlah kumpulan obyek-obyek yang terpisah, tetapi satu kesatuan jaringan kehidupan (web of life) yang saling berhubungan dan saling tergantung satu sama lain secara fundamental. Jika satu spesies yang ada, karena satu atau beberapa faktor kemudian tercerabut dari jejaring ini, akan memicu terjadinya kondisi katastropis. Saat ini yang terjadi ledakan populasi ulat bulu, tomcat, dan wereng batang coklat, besok tak tertutup kemungkinan terjadi ledakan populasi OPT lain. Maka, waspadalah ! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar