Senin, 30 April 2012

Mbah Surip Lokal untuk Garuda


Mbah Surip Lokal untuk Garuda
Dahlan Iskan, Menteri BUMN
SUMBER : JAWA POS, 30 April 2012


AKAN ada hiruk pikuk lagi di BUMN beberapa hari mendatang. Di samping soal interpelasi, akan ada heboh soal penjualan saham Garuda dan susunan direksi baru perusahaan penerbangan itu. Akan ada juga heboh-heboh soal gula dan tebu. Lalu, segera menyusul kehebohan soal direksi Telkom. Tentu itu belum semuanya. Kehebohan-kehebohan lain bisa saja akan terus menyusul.

Mengapa soal saham Garuda akan heboh? Ini boleh dikata merupakan "heboh turunan". Sejak penjualan perdana saham Garuda ke publik setahun yang lalu memang sudah heboh: Rp 750 per lembar saham dianggap terlalu mahal. Akibatnya, tiga perusahaan grup BUMN yang harus membeli 10 persen saham Garuda waktu itu langsung kelimpungan. Sebab, sesaat setelah IPO, harga saham Garuda nyungsep menjadi hanya Rp 570 per lembar. Bahkan, pernah tinggal Rp 395 per lembar!

Tiga perusahaan sekuritas milik BUMN itu (Danareksa, Bahana, Mandiri Sekuritas) tiba-tiba harus menanggung kerugian ratusan miliar rupiah. Lebih parah lagi, uang yang dipakai untuk membeli saham itu adalah uang pinjaman. Sudah rugi, harus membayar bunga pula. Tentu tiga perusahaan BUMN itu tidak akan kuat lama-lama memegang "saham panas" tersebut. Kalau terlalu lama digenggam, saham panas itu akan membakar tubuh mereka: kolaps.

Itulah sebabnya, ketika menjabat menteri BUMN, saya langsung mengizinkan keinginan tiga perusahaan tersebut untuk segera melepas saham Garuda. Dalam bisnis, selalu ada prinsip ini: Rugi Rp 200 miliar masih lebih baik daripada rugi Rp 400 miliar. Rugi Rp 400 miliar lebih baik daripada rugi Rp 600 miliar.

Yang terbaik tentu jangan sampai rugi. Tapi, hanya orang yang tidur seumur hidupnya yang tidak pernah rugi.

Kalau saham panas itu harus segera dijual, kepada siapakah dilepas? Saya setuju dengan ulasan Kompas Jumat lalu: dijual kepada partner strategis. Yakni, perusahaan penerbangan internasional yang reputasinya baik, yang seperti lagunya Mbah Surip, akan bisa menggendong Garuda ke mana-mana.

Tiga perusahaan sekuritas tersebut tentu sudah melakukan itu. Bahkan, mereka sudah menawar-nawarkan ke berbagai investor internasional. Hasilnya nihil. Ada memang yang menawar, tapi maunya macam-macam: Harganya harus murah, tidak mau hanya 10 persen, dan banyak permintaan lain lagi.

Kalau itu dipenuhi, pasti menimbulkan kebisingan yang luar biasa: Mengapa dijual begitu murah?  Mengapa jatuh ke tangan asing?

Waktu untuk menunggu datangnya partner strategis juga terbatas. Kian lama menunggu, kian termehek-meheklah napas tiga perusahaan sekuritas BUMN tersebut: megap-megap. Itulah sebabnya, saya berinisiatif menghubungi lima perusahaan besar nasional. Saya kirimkan SMS kepada mereka berlima dengan bunyi yang sama (hanya saya ganti nama pengusahanya):

"Mohon pertolongan, berminatkah grup perusahaan Anda membeli saham Garuda yang dikuasai tiga sekuritas BUMN dengan harga pasar saat ini? Kasihan tiga sekuritas tersebut. Kalau tidak ada pengusaha dalam negeri yang ambil, tentu akan dibeli asing. Saya tahu ini kemahalan dan kurang menarik. Tapi, siapa tahu bisa bantu. Mohon gambaran berminat atau tidaknya. Salam." SMS itu saya kirim ke Nirwan Bakrie, CT, Sandiaga Uno, Rahmat Gobel, dan Anthony Salim.

Begitulah bunyi SMS saya kepada lima pengusaha itu. Saya tahu, tidak mudah bagi mereka untuk bisa membantu tiga perusahaan sekuritas BUMN tersebut. Dalam dunia bisnis pernah ada pemeo begini: “Untuk jadi jutawan itu mudah. Jadilah miliarder dulu, lalu belilah perusahaan penerbangan, Anda akan segera jadi jutawan!"

Saya juga merasa, pasti akan ada permintaan macam-macam dari para calon investor itu. Sebuah permintaan yang dalam dunia bisnis memang sudah menjadi standar praktik sehari-hari: Diskon! Apalagi, mereka tahu bahwa tiga perusahaan sekuritas tersebut dalam posisi lemah: Help! help! help!

Dari lima penawaran saya itu, tiga pengusaha menyatakan berminat membantu. Lalu, kepada mereka saya sampaikan: Silakan hubungi langsung ke korporasi masing-masing. Tugas saya sebatas mencarikan calon pembeli. Setelah ada peminatnya, saya serahkan sepenuhnya agar mereka melakukan transaksi sendiri: Bagaimana caranya, seperti apa prosedurnya, berapa harganya, dan bagaimana cara memutuskannya. Silakan lakukan sesuai dengan prinsip yang diperbolehkan.

Tentu saya mengharapkan keajaiban. Saya tahu bahwa "tokoh membawa berita" adalah salah satu doktrin jurnalistik. Karena tiga tokoh telah menyatakan minat membeli 10 persen saham Garuda yang ada di tiga sekuritas itu, berita di sekitar saham Garuda menjadi hangat. Tiba-tiba saja harga saham Garuda di lantai bursa seperti digoreng: melonjak menjadi Rp 650-an dan terus terbang sampai Rp 720 per lembar.

Tiba-tiba saja nilai perusahaan Garuda bertambah triliunan rupiah. Garuda sangat diuntungkan! Namun, tokoh-tokoh yang telanjur berminat itu menjadi empot-empotan. Tiba-tiba mereka harus membeli saham Garuda jauh lebih mahal daripada yang mereka bayangkan. Mereka tentu mengira akan membeli saham Garuda dengan harga Rp 570 per lembar seperti yang saya tawarkan.

Tapi, dengan kenaikan harga saham Garuda di bursa yang begitu tinggi, masih maukah mereka membeli? Atau sebaliknya, masih maukah tiga sekuritas tersebut menjual? Bisa saja para pengusaha yang semula berminat tiba-tiba mengurungkan keinginannya. Sebaliknya, bisa saja justru tiga sekuritas kita yang tidak mau melepas, misalnya, menunggu siapa tahu harga saham tersebut masih terus menanjak.

Di sinilah kontroversi akan terjadi. Kehebohan akan muncul. Tiap-tiap pihak melontarkan pandangannya sendiri-sendiri.

Kalau dilepas sekarang dan kemudian harga saham ternyata masih naik, para pengamat akan mengecam habis-habisan: Kok dijual murah! Tapi, kalau tidak dilepas sekarang dan ternyata harga saham turun lagi (batalnya transaksi ini bisa saja memukul balik harga saham), para pengamat juga akan menggebuki tiga sekuritas tersebut.

Saya memilih untuk tidak mencampuri pilihan mana yang terbaik. Direksi tiga perusahaan tersebut adalah orang-orang yang sudah malang melintang di bidang itu. Mereka adalah orang-orang yang hebat. Yang penting: Putuskan! Risiko dikecam adalah bagian dari kehidupan yang sangat indah! Ambillah keputusan terbaik dengan fokus tujuan demi kejayaan perusahaan!

Kalau Anda menunda keputusan hanya karena takut heboh, perusahaanlah yang sulit. Kalau perusahaan menjadi sulit, banyak yang akan menderita. Orang-orang yang dulu mengecam itu (atau memuji itu) tidak akan ikut bersedih! Jadikan kecaman-kecaman itu bahan mengingatkan diri sendiri agar jangan ada main-main di sini. Takutlah pada permainan patgulipat!

Lalu, bagaimana dengan heboh pembentukan direksi baru Garuda? Itu pun rupanya juga heboh turunan. Bahkan, pergantian direksi Garuda beberapa tahun lalu bisingnya melebihi mesin 737-200.

Di setiap pergantian direksi memang akan selalu muncul pertanyaan: Mengapa si A dipilih dan mengapa si B tidak? Padahal, keduanya sama-sama hebat. Tentu yang terbaik adalah semua calon yang terbaik itu duduk di dalam satu tim direksi. Itu akan menjadi tim yang kuat.

Namun, adakalanya tidak semua orang hebat bisa duduk bersama-sama dalam satu tim yang hebat. Kalau dipaksakan pun, hasilnya bisa tidak baik. Orang Surabaya sering bergurau begini: Soto yang paling enak dicampur dengan rawon yang paling enak, rasanya justru jadi kacau!

Para star yang dipaksakan bergabung dalam satu tim belum tentu bisa memenangkan tujuan. Bahkan, bisa saja justru terjadi perang bintang di dalam tim itu. Setidaknya bisa terjadi perang dingin di bawah selimut. Energi terlalu banyak terbuang untuk perang bintang (yang kelihatan maupun yang tersembunyi). Bahkan, lantaran yang bersitegang itu adalah atasan, bawahan mereka bisa-bisa ikut terbelah.

Dalam hal seperti itu saya mengutamakan terbentuknya sebuah tim yang kompak, serasi, saling melengkapi, dan solid. Toyotomi Hideyoshi bisa menjadi panglima yang menyatukan Jepang pada abad ke-16 dengan modal utamanya: kekompakan. Bahkan, dia sendiri mengakui bahwa dirinya bukan seorang yang ahli memainkan pedang. Karena itu, Hideyoshi mendapat gelar Samurai tanpa Pedang.

Tim direksi Garuda yang baru ini dibentuk dengan semangat itu. Juga dengan semangat menampilkan yang lebih muda. Presiden SBY sangat mendukung konsep pembentukan dream team di setiap BUMN.

Munculnya tim yang kuat di Garuda itu dan terjadinya transaksi 10 persen saham Garuda di tiga sekuritas BUMN mendapat sambutan yang luar biasa dari pasar modal. Saham Garuda hari itu bukan lagi naik, tapi meloncat. Bayangkan, berapa triliun rupiah pertambahan aset Garuda hari Jumat minggu kemarin itu.

Lantas, bagaimana dengan orang-orang hebat yang tidak semuanya bisa masuk tim? Saya akan terus mengamati apakah mereka memang benar-benar hebat. Orang hebat adalah orang yang tetap hebat ketika gagal jadi direksi sekalipun. Orang yang benar-benar hebat adalah mereka yang mementingkan peran melebihi jabatan.

Kalau mereka bisa membuktikan diri tetap hebat dalam suasana duka sekalipun, saya harus memperhatikan orang-orang hebat dengan kepribadian hebat seperti itu: dijadikan direktur di tempat lain! Tapi, ketika orang hebat itu tiba-tiba menjadi orang yang frustrasi saat menjalani ujian hidup, berarti ternyata dia belum benar-benar hebat. Ingat: Atasan yang baik adalah atasan yang pernah menjadi bawahan yang baik!

Kini tim baru Garuda Indonesia dengan Dirut-nya yang tetap Emirsyah Satar harus bisa membuat Garuda terbang lebih tinggi. Garuda yang di Singapura kini sudah dipercaya menggunakan terminal 3 yang mewah itu harus tetap kerja, kerja, kerja dengan kreatif.

Tiga perusahaan sekuritas itu pun, yang sudah lebih setahun lamanya menderita, tidak terlalu galau lagi. Saya yakin "Mbah Surip lokal" juga akan bisa menggendong Garuda ke mana-mana. ●

UU KKG, Tubuh Perempuan, dan Pasar


UU KKG, Tubuh Perempuan, dan Pasar
Iva Wulandari, Pegiat Kajian Wanita Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta, Analis Pusat Kajian dan Advokasi (Pusaka)
SUMBER : JAWA POS, 30 April 2012


SOSOK "nabi pemasaran" Philip Kotler (1931) di dalam buku Principles of Marketing membuat formula klasik untuk merebut hati pelanggan. Formula itu disebut marketing mix atau bauran pemasaran yang terdiri atas 4P. Yakni, kualitas produk (product) yang kompetitif, harga (price) yang terjangkau, lokasi (place) yang strategis, dan promosi (promotion) yang berkesinambungan.

Namun, kerasnya persaingan memaksa formula 4P direvisi menjadi 5P; dengan "P" tambahan yang berarti "perempuan". Menyeret perempuan ke tengah pusaran pasar melibatkan banyak komponen yang terintegrasi dalam satu desain komunikasi pemasaran audio, visual, atau audio-visual. Dalam kajian feminisme dan keadilan gender, menempatkan perempuan sebagai stimulus pasar merupakan satu bentuk soft discrimination. Diskriminasi terhadap perempuan namun tanpa kekerasan fisik.

Telaah transmisi feminisme oleh Joanne Hollows (2000) mengungkapkan bahwa posisi perempuan di sini sebagai bagian dari lintasan produksi ke mediasi. Barang yang diiklankan bergerak di antara rezim nilai yang mereproduksi paradigma baru untuk memikat hati konsumen.

Kita ambil contoh iklan otomotif yang tidak ada kaitannya langsung dengan perempuan dijual dan ditawarkan melalui perempuan seksi berpakaian mini. Sang model (sales promotion girl) menjadikan tubuhnya sebagai medium magnetis dalam menjual produk otomotif.

Dengan demikian, terjadi integrasi antara otomotif dan tubuh perempuan dalam mainstream pasar. Hal ini layak kita baca sebagai diskriminasi. Ia merupakan soft violence (kekerasan secara halus) yang dikendalikan dengan kesadaran paradigmatis logika bisnis.

Ada juga pengemasan iklan otomotif yang memajang wanita sebagai object of men's desire (objek hasrat pria). Ini seperti diilustrasikan pada iklan motor merek kenamaan, yakni seorang wanita lebih tertarik kepada pria bermotor keluaran terbaru tersebut ketimbang dengan pria bermotor butut. Perempuan pun terlabeli materialistik.

Urgen Diatur di UU KKG

Menjadi menarik kita telaah dalam kaitannya dengan rancangan undang-undang keadilan dan kesetaraan gender yang saat ini diperdebatkan. Pasal 3 ayat 1 (f) RUU KKG menyatakan bahwa penyelenggaraan kesetaraan gender bertujuan untuk menghapus prasangka, kebiasaan, dan segala praktik lain yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peran stereotipe bagi perempuan dan laki-laki.

Labelisasi materialistik dan sensualitas perempuan jelas merupakan bagian dari diskriminasi seperti "prasangka" yang dimaksud oleh pasal 3 ayat 1 (f) di atas. Inilah yang disebut Aquarini Priyatna P. dalam bukunya Kajian Budaya Feminis (2006) sebagai komodifikasi sensualitas perempuan. Banyak sekali produk yang tidak ada hubungannya dengan tubuh perempuan, menampilkan tubuh perempuan sebagai selling point bagi produk itu.

Dalam membaca kecantikan wanita yang dikonstruksi oleh pasar, oleh iklan, pikiran kita akan dibawa kepada wacana bahwa cantik itu putih. Pemutih tidak hanya muncul dalam bentuk krim, tetapi juga pada facial wash, lotion, sabun, sampai bedak. Bahkan yang terakhir, sebuah brand deodoran ternama menawarkan sensasi putih pada ketiak!

Obsesi putih ini, sebagaimana yang dinyatakan Aquarini dari Bell Hooks, dapat dikategorikan sebagai suatu colonial nostalgia, bahkan colonial traumatic. Kulit putih telah berhasil mewacana sebagai desirable (menarik) dan desired (diinginkan). Meski, citra putih memang telah bergeser dari putih ras Eurasia ke putih khas Jepang dan Korea. Karena itu, tampillah iklan sabun pemutih dengan slogan "seputih wanita Jepang."

Putih atau menjadi putih seakan menjadi keharusan bagi wanita Indonesia untuk dikatakan cantik. Putih telah menjelma dari pertanda ras menjadi pertanda femininitas global. Menjadi cantik dalam perspektif masyarakat global. Kini pasar beramai-ramai mengindoktrinasi perempuan untuk memiliki kulit putih versi Asia Timur.

Kejahatan rasial ini tentu sangat menyakitkan bagi perempuan Indonesia pada umumnya yang berkulit sawo matang atau lebih gelap di Indonesia Timur. Kulit putih direpresentasikan sebagai modern dan bersih, sementara kulit gelap atau hitam dianggap kuno. Permainan pasar yang kapitalis telah menggiring opini publik tentang wanita menjadi kejahatan diskriminasi mengerikan, yang justru tidak disadari oleh wanita. Wanita telah menjelma menjadi komoditas pasar industri dengan sensualitas yang dijajakannya dan diperbudak doktrinasi "putih" yang diciptakan pasar.

Untuk melindungi perempuan, tafsir diskriminasi pada Bab I pasal 1 ayat 4 draf RUU KKG harus dipertegas. Disebutkan bawah diskriminasi adalah "segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lain terlepas dari status perkawainan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki."

Selayaknya, RUU KKG juga tidak hanya menyoroti diskriminasi langsung secara fisik yang diderita perempuan. Perlindungan dari kejahatan pasar yang menempatkan perempuan sebagai komoditas dan korban ideologi pasar yang rasialis tak kalah mendesaknya. Jangan sampai, di satu sisi UU itu menciptakan panggung perayaan kebebasan dan keadilan perempuan di ruang publik, di sisi lain gagal membaca soft discrimination eksploitasi tubuh perempuan. Hak dan perlindungan negara terhadap perempuan dari kekejaman kapitalisme globallah yang mendesak dirumuskan dalam RUU KKG.

Sudah saatnya praktik-praktik diskriminasi terhadap perempuan di dunia industri dihentikan. Selamatkan perempuan dari jerat pasar. Pemerintah harus mengontrol iklan-iklan nakal yang menempatkan tubuh perempuan bak barang dagangan. ●

Teologi dan Politisasi Buruh


Teologi dan Politisasi Buruh
M Hadi Shubhan, Doktor dan Dosen Hukum Perburuhan Fakultas Hukum Unair,
Pernah Jadi Santri "Kalong" pada Salah Satu Pesantren Salaf di Jogjakarta
SUMBER : JAWA POS, 30 April 2012


SALAH satu penyebab sering terjadinya konflik antara pengusaha dan buruh dalam hubungan industrial adalah pengusaha sering memosisikan buruh sebagai "orang" luar. Buruh dianggap bukan bagian dari keluarga besar perusahaan. Bahkan, tidak sedikit pengusaha yang menganggap buruh sebagai musuh. Hal ini menyebabkan buruh membalas sikap pengusaha tersebut. Hubungan industrial pun senantiasa dalam suasana yang tidak kondusif dan penuh saling kecurigaan.

Penyebab lain adalah banyaknya upaya pengusaha untuk mereduksi hak-hak normatif buruh. Mereka menabrak ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan atau menyalahgunakan dan menyelundupkan aturan ketenagakerjaan. Bahkan, pengusaha juga menghambat pendirian serikat pekerja. Padahal, pengusaha bebas berorganisasi dan tak dihambat oleh buruh.

Pada sisi lain, buruh pun dalam bekerja sering tidak segenap jiwa raga atau dalam bahasa yang lagi populer adalah tidak bekerja dengan hati.

Teologi Perburuhan

Di sinilah pentingnya aspek spiritual baik bagi pengusaha maupun buruh dalam konteks hubungan industrial. Penyelesaian perselisihan atau perbedaan kepentingan antara pengusaha dan buruh jika hanya mengacu pada hukum normatif positif ansich tentu sampai kapan pun, dan bahkan mungkin sampai hari kiamat kurang dua hari, tidak pernah akan ada habisnya. Hal ini karena antara pengusaha dan buruh sering, meskipun tidak selalu, memiliki kepentingan yang berbeda, bahkan bertolak belakang.

Bekerja mencari nafkah tidak boleh dimaknai semata-mata untuk bertahan hidup di dunia. Tetapi, juga harus dimaknai sebagai salah satu pengabdian dan ibadah kepada Sang Khaliq. Dalam perspektif ini, baik pengusaha maupun buruh harus mendahulukan sifat tasamuh (toleran) dalam setiap memahami situasi yang sering berujung pada pertentangan pendapat atau pertentangan kepentingan.

Salah satu hak normatif yang sering dilanggar pengusaha adalah upah buruh. Berbagai modus pelanggaran terhadap normatif hak upah buruh, misalnya terlambatnya membayar upah, membayar upah di bawah ketentuan upah minimum, dan mem-PHK buruh tanpa pemberian pesangon. Pelanggaran upah ini tentu sangat dilarang oleh agama.

Dalam salah satu sabdanya, Nabi menyatakan, "Bayarlah upah buruh sebelum kering keringatnya." Pesan tersirat dari sabda Nabi tersebut adalah untuk tidak memperlambat dalam membayar upah buruh, untuk tidak mengurangi hak yang menjadi upah buruh, serta larangan mengemplang upah buruh. Dalam praktik sering terjadi pengusaha malah mengisap keringat buruh sebelum keringat buruh itu kering. Ini berarti pengusaha bukan hanya melanggar hukum positif ,melainkan melanggar pula norma agama.

Politisasi Buruh

Buruh di Indonesia juga sering dijadikan kambing hitam atas nama iklim investasi. Buruh dituduh oleh negara dan pengusaha sebagai biang keladi buruknya investasi di Indonesia. Namun, ketika kini Indonesia dipuji sebagai daerah tujuan investasi prospektif, buruh tidak dianggap berjasa dalam menciptakan kondisi itu.

Kalaupun iklim investasi suram, itu lebih karena ada persoalan di kalangan pemerintah dan pengusaha. Pengusaha yang tidak mampu membayar upah buruh bukan karena upah buruh terlalu tinggi, tetapi karena pengusaha ingin mendulang margin keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mereduksi sebesar-besarnya hak buruh.

Studi World Bank pada beberapa tahun terakhir ini menemukan penggangu iklim investasi di Indonesia adalah banyak faktor, dan faktor perburuhan hanya menempati peringkat ketujuh. Faktor-faktor lain penghambat investasi yang justru lebih determinan daripada soal perburuhan, antara lain, buruknya infrastruktur, sulit dan rumitnya perpajakan, birokrasi perizinan yang korup, serta ketidakpastian hukum. Intinya, persoalan ada pada pemerintah!

Mengapa pemerintah justru berkutat pada persoalan hubungan industrial ini untuk memperbaiki iklim usaha dan iklim investasi Indonesia ini? Ketika hubungan industrial diutak-atik, kerap tujuannya bukan untuk menyamankan buruh yang hidupnya susah, tapi fokusnya meng-entertaint investor. Inilah bentuk politisasi buruh oleh negara atas nama investasi. Mestinya, untuk menyamankan investor, pemerintah memperbaiki kinerja dan perilakunya sendiri.

Sementara itu pula, pemerintahan SBY dalam dua periode ini selalu menunjuk menteri yang membidangi ketenagakerjaan bukan dari kalangan profesional melainkan dari salah satu partai politik yang merupakan anggota koalisi. Ini menunjukkan bahwa visi pemerintah dalam menangani permasalahan perburuhan lebih mengedepankan aspek politis daripada aspek profesionalitas.

Padahal, benang kusut masalah perburuhan itu sangat membutuhkan penanganan dari aspek regulasi dan aspek pengawasan dan bukan aspek politis. Aspek regulasi sangat mendesak untuk dibenahi karena banyak kebijakan yang saling bertentangan serta terjadi kekosongan pedoman normatif bagi pelaksanaan hubungan industrial. Di sinilah, pemerintah seharusnya menata regulasi ketenagakerjaan dengan cara meninjau ulang secara komprehensif baik mengharmonisasi, mensinkronisasi, maupun membuat regulasi baru.

Demikian pula aspek pengawasan ketenagakerjaan oleh pemerintah sangat lemah. Banyaknya pelanggaran hak buruh akibat implementasi norma ketenagakerjaan yang menyimpang. Penyimpangan dalam implementasi norma perburuhan itu sering dibiarkan oleh pengawas ketenagakerjaan sebagai lembaga yang memiliki otoritas pengawasan hubungan industrial.

Jadi, mengurai benang kusut masalah perburuhan di negara ini dengan membenahi dua hal, yakni aspek regulasi dan pengawasan. Jika dua hal ini dilakukan, negeri ini akan menjadi surga bagi pengusaha, buruh, dan investor asing yang pada gilirannya menjadi surga bagi rakyat Indonesia semua.

Selamat Hari Buruh besok, rayakan Hari Buruh (Mayday) dengan segenap suka cita tanpa membuat anarki yang bisa merugikan masyarakat umum. Bukan menjadi Mayday... Mayday... Mayday... yang artinya telanjur dianggap tanda bahaya. ●

Pembangunan Pendekatan Budaya


Pembangunan Pendekatan Budaya
Daoed Joesoef, Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
SUMBER : KOMPAS, 30 April 2012


Maksud pemerintah meningkatkan kemampuan ekonomi nasional melalui realokasi pemanfaatan anggaran belanja ke arah pembangunan infrastruktur pasti gagal mencapai sasaran kalau tidak dilakukan sebagai bagian integral dari pembangunan.

Namun, pembangunan nasional yang bagaimana? Selama ini ia diperlakukan sebagai pembangunan ekonomi menurut ”a narrow Western capitalist ideology of development”. Picik, karena pembangunan sektoral ini dianggap sinonim dengan keseluruhan pembangunan itu sendiri. Picik, berhubung pembangunan ekonomi an sich merujuk pada suatu proses selama suatu masyarakat mampu memproduksi barang/jasa berjumlah kian besar. Kemampuan ini dinyatakan berupa kenaikan pendapatan, seperti produk nasional bruto (GNP), produk domestik bruto (GDP), dan pendapatan per kapita. Namun, ukuran kuantitatif ini fiksi murni statistik yang tidak menginformasikan pembagian kekayaan yang dihasilkan masyarakat. Jadi, rujukan ini jelas mengenai means (cara/ jalan), bukan aims (tujuan/finalitas).

Kalau pertumbuhan kuantitatif berupa kenaikan pendapatan itu dianggap mencerminkan perbaikan kualitatif berupa perkembangan modernisasi means, apakah modernisasi ini telah membantu kenaikan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan? Ini terutama terkait dengan pengembangan budaya politik demokratis, peningkatan kesadaran berpolitik warga, pengukuhan eksistensi individu otonom, dan kebebasan individual dan kolektif yang lebih besar. Ternyata jawabnya tidak! Jauh panggang dari api.

Di balik krisis multidimensi yang kini mengancam eksistensi    NKRI—akibat kekeliruan pendekatan pembangunan—ada jutaan rakyat yang resah menunggu kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara sebagai perwujudan makna human mereka sebagaimana yang digambarkan dulu oleh revolusi kemerdekaan. Sebagian mereka bisa saja dibohongi untuk, bisa dikecoh untuk sementara waktu, tetapi tidak mungkin ditipu untuk selama-lamanya.

Kecenderungan tersebut dibuktikan kebenarannya oleh pemberontakan rakyat Arab di Timur Tengah dan Afrika Utara, serta kemenangan Aung San Suu Kyi pada pemilu sela di Myanmar. Menurut Belanda, rakyat Indonesia ”het zachtste volk der aarde” (bangsa terlembut di dunia), tetapi kalau sudah ”ontwaakt” (terjaga), mampu mencetuskan ”revolusi”. Apakah ini yang kita kehendaki?

Jangan Ulangi Kesalahan

Maka, jangan buat kesalahan yang sama dua kali. Sebelum terlambat, mari kita ubah pendekatan pembangunan nasional dari ”ekonomi” ke ”budaya”. Bukan berarti kita abaikan (sektor) ekonomi dan kekuatan penalaran ilmiahnya. Pembangunan ekonomi tetap bagian logis pembangunan nasional, tetapi bukan lagi pendikte final keseluruhan pembangunan.

Kita wujudkan pembangunan nasional dengan pendekatan budaya. Selain sejalan dengan kecenderungan masa depan kehidupan human yang kian berpembawaan budaya, ia pun secara eksplisit berurusan dengan manusia. Sejauh budaya adalah ”sistem nilai yang dihayati”, manusia—sebagai makhluk maupun individu otonom— adalah pembuat nilai itu ”ada” dan sekaligus pemberi ”makna” padanya.

Nilai ini sudah kita bubuhi dengan ”Pancasila”, suatu kebajikan kolektif, yang ternyata hanya digunakan sebagai jargon politik, bukan jargon pembangunan. Bahkan, sebagai jargon politik saja, Pancasila sudah diabaikan. Pada nilai itu sudah kita cangkokkan demokrasi tanpa menggubris keadaannya. Demokrasi ini jadi malaise begitu diterapkan secara tidak langsung. Sejak itu yang dikembangkan malah ”demokrasi-demokrasi” berupa ”demokrasi politik”, ”demokrasi ekonomi”, ”demokrasi pendidikan”, ”demokrasi berketuhanan”, dan lain-lain, dengan kriteria keberhasilan yang berbeda.

Maka, sebelum terlambat perlu kita integrasikan ke dalam sebuah perspektif holistik aneka pembangunan—ekonomi, politik (khususnya demokrasi), sosial, pendidikan, pancasilaisme—dan diproses selaku nilai-nilai vital bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jika pembangunan nasional ditetapkan berpendekatan budaya, ia dinyatakan tidak lagi dalam termpendapatan”, tetapi ”ruang sosial”.

Ruang sosial adalah suatu ruang hidup manusia yang konkret, diciptakan dalam konteks (pembangunan) suatu komunitas, berskala lokal maupun nasional. Dalam dimensi obyektif, material, kultural, dan spiritualnya, ruang sosial ini merupakan produk transformasi alam melalui kerja dan pikiran manusia. Ia juga merupakan sebuah pementasan dari hubungan-hubungan sosial dan direkayasa penduduk setempat dalam berbagai derajat intervensi/perubahan, dari modifikasi berskala terkecil (pembangunan desa, masyarakat adat, gedung sekolah, tempat ibadah) hingga modifikasi berskala besar (pembangunan daerah, provinsi, pulau).

Secara filosofis ia diformulasikan sebagai ”gerakan komunitas”, selama proses mana komunitas yang bersangkutan menjadi lebih adil secara ekonomis dan politis, lebih diterima secara manusiawi bagi warga. Inilah kiranya yang dimaksudkan oleh Bung Hatta sebagai ”kedaulatan rakyat”, yaitu ”negara harus dibangun dari rangkaian komunitas terkecil, di atas prinsip desentralisasi sejauh mungkin” dan ”komunitas rakyat otonom yang fundamental haruslah menjadi pusat kekuasaan dari struktur negara”.

Ketimbang pembangunan dalam term abstract statistical figure (GNP), pembangunan dalam term ruang sosial bisa lebih berpeluang menciptakan pembangunan bernuansa benar-benar human. Berkat pemahaman hubungan-hubungan sosial, melalui dialog interaktif warga lokal sendiri dan direkayasa dalam berbagai derajat interval/perubahan, ruang sosial berkembang menjadi suatu ”learning community organization”. Artinya, organisasi di mana orang terus meningkatkan dan memperluas kapasitasnya untuk menciptakan hasil yang benar-benar didambakan. Opini individual ditempa menjadi opini kolektif melalui ”musyawarah”, di mana pola pikir baru dan ekspansif disuburkan, di mana aspirasi kolektif dibenarkan berkembang dari dalam komunitas itu sendiri, dan di mana anggotanya terus belajar saling memberdayakan jadi individu otonom.

Bukankah ada taksiran bahwa demi menjamin demokrasi diperlukan setidaknya satu persen dari semua warga negara dewasa sebagai individu otonom yang memimpin di semua lini kehidupan dan di setiap simpul jaringan teknostruktur.

Maka, apabila dipupuk terus-menerus, organisasi ini dapat bermuara pada perwujudan masyarakat sipil, bagai Agora di zaman Yunani Purba, di mana demokrasi masih berlaku secara langsung.

Pendekatan pembangunan nasional seperti ini jelas tidak mengabstrakkan bumi tempat berpijak, bahkan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang mengelompok di situ dengan segala masalah yang mereka geluti dan nilai yang mereka hayati. Dengan ruang sosial berpeluang mengintensifkan interaksi berbagai budaya secara konstruktif: budaya komunikasi, budaya politik, budaya ekonomi, budaya hukum, budaya demokrasi, budaya artistik, budaya keilmuan, dan lain-lain. Interaksi kultural ini, pada gilirannya, membuat ruang sosial menjadi tempat hidup bersama yang berada tidak di luar manusia (dichtung), tetapi realitas pada masa manusia bergabung (wahrheit).

Proses Partisipatif

Mengingat pembangunan ekonomi dilakukan dalam rangka pembangunan nasional berpendekatan ruang sosial, ia menjadi suatu participatory development, bukan proses pembangunan yang mereduksi rakyat menjadi sekadar ”penonton pembangunan”. Berhubung di ruang sosial ini para warganya diajak membahas bersama-sama opsi-opsi penting untuk kemudian diambil keputusan yang menjadi komitmen bersama, terwujud pula ”participatory democracy”, yang tidak mereduksi rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara merdeka ini, menjadi sekadar ”penonton demokrasi”, menjadi sekadar ”angka”, tidak ”diwongke”.

Bukankah kebijakan pemerintah pusat seperti itu yang dulu memicu Aceh bergolak dan kini mulai menggejala di Papua, Ambon, dan di kalangan suku Dayak. Yang merasa tidak puas bukan lagi individu, melainkan suku yang sudah mapan sebelum NKRI terbentuk.
Jadi, pembangunan nasional berpendekatan budaya berpeluang untuk membuktikan bahwa Pancasila bisa berfungsi, demokrasi-tak-langsung dapat berjalan, warga diakui bermartabat (nguwongke wong) dan mampu membantu orang tidak hanya memiliki lebih banyak (to have more), tetapi lebih-lebih menjadi lebih luhur (to be more), pendek kata menjadi ”bahagia”. ”Happiness matters,” kata Amartya Sen, sejalan dengan pikiran Bung Hatta, ”because it is not irrelevant to the meaning of life”. Ternyata kedua tokoh ekonom tersebut, yang belum pernah bertemu satu sama lain, tanpa menyebut dirinya ”budayawan”, adalah ”man of culture”, tidak sekadar ”well cultured man”.

Dalam perspektif ini kebebasan dan otonomi individu tidak hanya tampil sebagai ”the ultimate aims”, tetapi sebagai ”the principal means” dari pembangunan nasional. ●