Kamis, 26 April 2012

Nasib Radio Komunitas di Era Konvergensi


Nasib Radio Komunitas di Era Konvergensi
Firdaus Cahyadi, Knowledge Manager for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia
SUMBER : KORAN TEMPO, 25 April 2012


Perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika (telematika) begitu pesat terjadi akhir-akhir ini. Perkembangan teknologi itu mengarah pada konvergensi (penyatuan) antara ranah penyiaran, telekomunikasi, dan informatika. Perkembangan teknologi telematika yang makin konvergen itu menjadi peluang bagi penggiat multimedia, baik dari perusahaan maupun komunitas.

Dengan kemajuan teknologi telematika, misalnya, kini kita bisa menonton televisi melalui teknologi streaming. Kita pun bisa mendengarkan radio melalui streaming di Internet. Streaming radio di Internet ini menjadi peluang baru bagi penggiat radio komunitas yang selama ini terhambat persoalan perizinan dan jangkauan siaran. Dengan kemajuan teknologi telematika ini pula, para penggiat radio komunitas memiliki banyak pilihan. Pilihan pertama, bersiaran secara konvensional (menggunakan spektrum frekuensi radio). Pilihan ini memiliki jangkauan yang terbatas, sekitar keberadaan stasiun radio komunitas.

Pilihan kedua, siaran radio komunitas hanya ditayangkan melalui streaming di Internet. Dan pilihan ketiga, selain bersiaran secara konvensional, menayangkan siarannya melalui streaming di Internet. Pilihan ketiga ini membuat jangkauan pendengar radio komunitas semakin luas. Dengan kemajuan teknologi telematika ini pula, definisi radio komunitas pun berubah. Radio komunitas tidak bisa hanya didefinisikan berdasarkan jangkauan wilayah siar. Radio komunitas harus didefinisikan berdasarkan persamaan kepentingan dan juga minat.

Radio komunitas Suara Buruh Migran, Yogyakarta, dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Radio ini dapat didengar oleh para pekerja Indonesia yang ada di Singapura, Arab Saudi, Hong Kong, dan Cina. Radio Suara Buruh Migran sejak awal memang didesain agar mudah diakses oleh buruh migran. Pendengar cukup mengakses portal http://buruhmigran.or.id untuk mendengarkan siaran radio ini. Selain itu, para pendengar pun dapat memberikan umpan balik melalui Facebook.

Namun tampaknya para penggiat radio komunitas harus terus berjuang memanfaatkan peluang yang sudah ada di depan mata itu. Pasalnya, Rancangan Undang-Undang Konvergensi Telematika yang akan menggantikan UU Telekomunikasi tidak memberikan jalan yang mulus bagi penggiat radio komunitas. Dalam draf RUU Konvergensi Telematika, misalnya, penyelenggara telematika dibagi menjadi dua, yaitu penyelenggara komersial dan non-komersial. Salah satu penyelenggara telematika adalah penyelenggara layanan aplikasi. Sementara itu, yang dimaksud dengan penyelenggara telematika layanan aplikasi adalah penyebaran konten dan informasi. Radio komunitas yang menayangkan siarannya secara online di Internet tentu masuk dalam penyelenggara telematika aplikasi ini.

Nah, pertanyaannya kemudian apakah radio komunitas yang menayangkan siarannya secara online masuk dalam kategori penyelenggara telematika non-komersial. Jika melihat pasal dalam draf RUU Konvergensi Telematika, radio komunitas tidak termasuk dalam penyelenggara telematika non-komersial. Dalam RUU Konvergensi Telematika, penyelenggara telematika non-komersial adalah penyelenggara telematika untuk keperluan pertahanan dan keamanan nasional, kewajiban pelayanan universal, dinas khusus, dan perorangan.

Namun, andai kata radio komunitas yang menayangkan siarannya secara online dikategorikan sebagai penyelenggara telematika non-komersial pun, tetap saja memberatkan aktivitasnya. Pasalnya, para penggiat radio komunitas harus tetap membayar biaya hak penyelenggaraan (BHP) telematika dan mendapat izin dari menteri.

Bagi radio komersial yang berorientasi profit dan juga berafiliasi dengan media konglomerasi, ketentuan ini mungkin tidak menjadi sebuah persoalan besar. Namun, bagi radio komunitas, ketentuan ini bisa jadi merupakan persoalan yang serius. Pilihan untuk menayangkan siaran radio komunitas secara online bukan hanya untuk memperluas jangkauan pendengar, tapi juga menghemat biaya operasional. Namun, jika itu kemudian harus dikenai kewajiban membayar BHP telematika, tentu daya hidup radio komunitas akan semakin lemah.

Tekanan yang lebih besar lagi menimpa para penggiat radio komunitas yang memilih melakukan siaran secara konvensional (menggunakan spektrum frekuensi radio) dan juga menayangkan siarannya secara online melalui streaming di Internet. Bagi para penggiat radio komunitas yang memilih cara ini, mereka harus mendapatkan dua izin dari menteri: izin penggunaan spektrum frekuensi radio dan izin penyelenggara telematika. Selain itu, radio komunitas yang memilih bersiaran secara konvensional dan online harus membayar BHP telematika dan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio.

Keberadaan radio komunitas (dan juga televisi komunitas) yang hendak memanfaatkan kemajuan teknologi telematika perlahan tapi pasti akan lemah dan kemudian mati dengan sendirinya. RUU Konvergensi Telematika ini memang sejak semula tidak memberikan ruang yang cukup layak bagi kepentingan publik. RUU ini lebih mengutamakan kepentingan bisnis multimedia.

Pembagian penyelenggara telematika dengan label komersial dan non-komersial sejatinya menunjukkan keberpihakan RUU ini kepada penyelenggara telematika komersial. Ibarat pelabelan pria dan non-pria, maka sejatinya yang menjadi mainstream (arus utama) adalah pria. Begitu pula pelabelan komersial dan non-komersial dalam RUU Konvergensi Telematika ini.

Dengan demikian, tidak salah bila RUU Konvergensi Telematika ini justru dinilai akan lebih memperkuat struktur bangunan konglomerasi media yang telah ada. Sebab, hanya media milik konglomerat media yang bisa memenuhi ketentuan dalam RUU ini. Jika itu yang terjadi, dominasi opini publik dari media konglomerasi tidak terhindarkan lagi. Dan itu berarti kebijakan publik yang akan dibuat pemerintah pun akan berpihak pada kepentingan para konglomerat media itu.

Masih ada sedikit waktu bagi pemerintah untuk meninjau ulang RUU Konvergensi Telematika ini. Tidak ada salahnya bila waktu yang tersisa ini digunakan pemerintah untuk lebih mendengar dan memperhatikan kepentingan publik secara lebih luas, bukan hanya kepentingan industri multimedia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar