Jumat, 27 April 2012

Perempuan dan Korupsi


Perempuan dan Korupsi
Toeti Prahas Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 27 April 2012


KECEWA? “Kecewa berat,“ jawab beberapa ibu pada lokakarya di awal minggu ini, yang membahas mengapa perempuan terlibat korupsi. Lokakarya diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI) bekerja sama dengan Kongres Wanita Indonesia (Kowani), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Ibu-ibu itu kecewa berat sebab ada `Kartini-Kartini' yang integritasnya dipergunjingkan lantaran diduga terlibat kasus korupsi. Chandra Motik, dalam kata sambutannya sebagai Ketua Umum Iluni UI, antara lain mengatakan lokakarya itu tidak sedikit pun bermaksud menghakimi siapa pun. Tujuannya untuk mencari pandangan apakah kesetaraan gender identik dengan keberanian mengingkari integritas; atau apakah kesetaraan gender belum mampu menegakkan integritas.

Chandra juga mengatakan, pernah suatu masa, hak-hak kaum perempuan dibatasi di sekitar pupur, dapur, dan (maaf) tempat tidur. Tersirat pertanyaan, mengapa sekarang sejumlah perempuan yang diduga koruptor itu merasa terpaksa korupsi?

Pikiran yang tebersit pada sejumlah peserta, mungkin kita keliru bila mengira semua ibu menjadi lambang integritas; walaupun memang diharapkan demikian. Sejak zaman dulu terdapat kisah-kisah tentang perempuan-perempuan pemberani, baik secara positif maupun negatif. Dalam hal karakter, laki-laki dan perempuan rasanya tidak jauh beda; artinya tidak ada yang jauh lebih istimewa. Fungsi mereka dalam hidup mungkin beda. Fungsi itu yang membuat perempuan diharapkan lebih berintegritas daripada laki-laki; terutama karena mereka yang menurunkan anak-anak manusia secara kontinu sehingga perlu sikap asah-asih-asuh yang positif dan kontinu demi masa depan. Chandra meyakini perempuan selalu menjadi panglima rumah tangga. Kenyataannya, terjadi banyak perkecualian di mana-mana.

Adnan Pandu Praja, pemimpin KPK, merujuk pada segitiga `Fraud' (penggelapan) yang dibangun Cassey (1958). Menurut segitiga itu: Yang pertama (1) adalah rasionalisasi, yakni pembenaran melakukan korupsi. Korupsi dilakukan untuk membahagiakan keluarga atau ia merasa berhak korup karena cukup lama mengabdi di suatu instansi. Kedua (2) pressure melakukan korupsi, yakni gaya hidup yang menimbulkan masalah finansial seperti utang yang menumpuk, hidup bermewah-mewah, keserakahan, dan narkoba. Ketiga (3) kesempatan/peluang yang timbul akibat kelemahan sistem.

Singkat kata, dalam mengelola kehidupan dan penghidupan, baik laki-laki maupun perempuan banyak terpengaruh oleh perkembangan peradaban dan budaya sekitar. Namun yang pasti, siapa pun yang berjiwa lemah dan menyerah kepada godaan justru akan kehilangan integritas. Karakteristik individu dan keadaan struktural berpengaruh.

Tegar, intar, dan Bergelar

Bila merujuk pada daftar nama perempuan-perempuan yang terlibat dalam kasus korupsi terkini, sebanyak 11 nama yang masuk catatan Iluni UI tergolong tokoh-tokoh tegar dan pintar. Beberapa di antara mereka masuk kelompok tokoh-tokoh pemegang kekuasaan dan paling terdidik di bidang masing-masing. Sayang seribu sayang bahwa mereka sekarang menjadi bulan-bulanan gosip yang merebak tentang segala jejak mereka, yang membuat perempuan umumnya sangat kecewa.

Padahal, bila merujuk pada rumusan-rumusan yang dipaparkan Iluni UI, tingkat partisipasi perempuan yang lebih tinggi di pemerintahan punya kaitan dengan lebih rendahnya tingkatan korupsi; bahwa perempuan memiliki standar perilaku etika yang lebih tinggi dan lebih peduli pada kebaikan bersama (Dollar, Fisman & Gatti, 2001). Menurut catatan itu, sesuai dengan teori psikologi dan sosiologi tentang penyimpangan: kecenderungannya perempuan lebih taat aturan daripada laki-laki.

Perspektif Teori dan Fakta

Berdasarkan statistik, perempuan memang kurang melakukan tindak korupsi jika dibandingkan dengan laki-laki. Namun, dia ikut bertanggung jawab dalam tiap korupsi yang dilakukan individu. Adnan Pandu Praja (KPK) menyarankan agar perempuan mendapat informasi tentang dampak dan bahaya korupsi; atau menerima sosialisasi antikorupsi. Selain itu, sistem penganggaran negara hendaknya memperhatikan perempuan agar dia mendapat kesempatan untuk maju; dengan demikian memberikan peran kontrol yang lebih baik dalam keluarga dan lingkungan. Faktanya, 70% penduduk hanya berpendidikan sekolah dasar. Itu pun harus menjadi perhatian bersama.

Lebih jauh Adnan menyarankan, advokasi publik hendaknya diselenggarakan organisasi-organisasi perempuan guna ikut mencegah dan memberantas korupsi. Terus menyuarakan bahaya korupsi akan berandil besar dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Dia juga menganjurkan untuk melibatkan perempuan dalam menjalankan sanksi sosial `naming and shaming' bagi pelaku korupsi; dan agar perempuan secara aktif memantau dan ikut melaporkan bila ada indikasi korupsi. Perempuan perlu bersikap kritis, mengingatkan dan mendidik anggota keluarga supaya tetap berintegritas.

Catatan Iluni UI menyebut empat strategi pemberantasan korupsi: 1) strategi terkait masyarakat--norma etika, pendidikan & kewaspadaan publik; 2) strategi terkait hukum--pengenaan aturan hukum terhadap tindak pidana korupsi yang diperkuat dengan keberadaan auditor/investigator independen, komisi khusus antikorupsi, dan peningkatan besaran hukuman; 3) strategi terkait pasar--mengurangi intervensi pemerintah dalam perekonomian dan mengurangi regulasi yang kompleks; 4) strategi terkait politik--kewenangan, akses terhadap proses politik dan reformasi administrasi.

Sebagai penutup, rumusan itu antara lain menyarankan agar diusahakan cara memperkuat strategi pemberantasan korupsi yang dapat menyentuh semua faktor penyebab korupsi, baik faktor langsung, tidak langsung, karakteristik individu, maupun pengaruh struktural yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Itu tentu terpulang pada usaha kita bersama untuk mewujudkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar