Kamis, 26 April 2012

Wisatawan dari Senayan


Wisatawan dari Senayan
Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
SUMBER : KORAN TEMPO, 25 April 2012


Sudah menjadi rahasia umum setiap masa reses (libur sidang), sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat mendadak berstatus ganda sebagai “wisatawan” dengan memanfaatkan kegiatan studi banding atau kunjungan kerja ke luar negeri.

Pada masa reses DPR, April 2012 ini, sejumlah anggota Komisi di DPR melakukan studi banding ke berbagai negara. Komisi I DPR akan melakukan lawatan ke empat negara, di antaranya Jerman, Republik Cek, Polandia, dan Afrika Selatan. Studi banding dilakukan dalam rangka tugas pengawasan. Adapun Komisi VIII DPR akan melakukan studi banding ke dua negara Eropa, yaitu Denmark dan Norwegia. Kunjungan ini direncanakan dalam rangka merampungkan materi pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender. Total anggaran untuk kunjungan dua Komisi tersebut mencapai Rp 4,8 miliar. Sebelumnya, pada awal 2012, rombongan anggota Komisi III DPR melakukan kunjungan kerja ke Prancis dan Australia dalam rangka pembahasan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bukan kali ini saja, studi banding ke luar negeri yang dilakukan oleh anggota Dewan dari tahun ke tahun selalu memunculkan kontroversi. Meski dikritik dan mendapat penilaian negatif dari publik, rombongan politikus yang merangkap wisatawan dari Senayan tetap saja nekat ke luar negeri dengan alasan sudah direncanakan dan menambah wawasan. Sejak 2004 hingga saat ini, sedikitnya 163 perjalanan studi banding ke luar negeri telah dilakukan oleh anggota parlemen. Selain itu, staf dan bahkan anggota keluarga sering kali diikutsertakan dalam studi banding tersebut.

Apakah kegiatan studi banding ke luar negeri yang dilakukan sebanding dengan hasil yang didapat oleh anggota Dewan? Data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menunjukkan kinerja legislasi (penyusunan regulasi) DPR setiap tahun selalu tidak optimal dan jauh dari target yang direncanakan. Pada 2005, DPR hanya mampu membuat 14 dari target 55 undang-undang. Pada 2006, Dewan membuat 39 dari 76 undang-undang yang ditargetkan, pada 2007 membuat 40 dari target 78, pada 2008 membuat 61 dari 81 undang-undang yang ditargetkan, dan pada 2009 menghasilkan 39 dari target 76 undang-undang. Pada 2010, DPR menghasilkan 16 undang-undang dari target 70 (23 persen). Sementara itu, pada 2011 DPR-–dan pemerintah--hanya menghasilkan 24 undang-undang dari target 93 (26 persen). Kinerja legislasi yang tidak memuaskan ini diperburuk oleh banyaknya undang-undang yang diajukan untuk dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi.

Sebagai bagian dari evaluasi, setidaknya ada lima hal yang penting dicermati dari kegiatan studi banding ke luar negeri dari para politikus di Senayan. Pertama, metode studi banding. Sesungguhnya studi banding tidaklah selalu berupa kunjungan ke luar negeri sebagaimana yang dipraktekkan oleh DPR selama ini. Metode studi banding bahkan bisa dilakukan tanpa harus melakukan kunjungan ke luar negeri. Misalnya saja melakukan kajian melalui Internet ataupun menggunakan diskusi video teleconference dengan pihak yang berkompeten di luar negeri atau mengundang ahli dari dalam dan luar negeri untuk berbicara di hadapan anggota Dewan. DPR juga dapat memanfaatkan jalur diplomatik, dengan meminta bantuan pihak perwakilan negara asing atau kedutaan Indonesia di luar negeri untuk mendapatkan data yang dibutuhkan.

Kedua, transparansi kegiatan studi banding. Selama ini semua proses yang berkaitan dengan kegiatan studi banding ke luar negeri menimbulkan kesan sangat tertutup. Tidak ada inisiatif dari DPR ataupun fraksi atau anggota Dewan untuk mengumumkan tujuan studi banding, negara mana yang dikunjungi, siapa saja rombongan yang berangkat, jadwal kunjungan, dan siapa yang akan ditemui. Padahal agenda ini bisa saja diumumkan melalui website resmi DPR secara gratis.

Ketiga, anggaran studi banding. Tidak pernah ada penjelasan yang masuk akal tentang besaran biaya studi banding dan mengapa setiap tahun anggarannya selalu meningkat. Hal ini bisa dilihat dari anggaran studi banding DPR 2010 sebesar Rp 162 miliar atau terjadi kenaikan hingga 700 persen jika dibanding anggaran kegiatan serupa pada 2005 yang hanya Rp 23 miliar. Pada 2011, Rp 125 miliar disediakan untuk membiayai studi banding anggota Dewan. Jumlah anggaran sebesar itu dapat dikategorikan pemborosan keuangan negara. Jika digunakan dengan metode dan melalui seleksi ketat, anggaran studi banding yang disediakan bisa lebih hemat lagi.

Keempat, efektivitas. Kajian yang dibuat Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegak Citra DPR menyebutkan studi banding juga ternyata tidak diolah dan didesain untuk mampu menjawab kebutuhan data dan informasi terkait dengan pembahasan suatu RUU. Sering kali terjadi pengulangan kunjungan ke luar negeri untuk isu yang sama. Sebagai contoh, Komisi III sebelumnya telah melakukan studi banding ke Swiss dan Rusia pada 2009 dalam rangka pembahasan RUU Pencucian Uang. Karena status RUU tersebut tidak selesai pada DPR periode 2004-2009, pada 2010 kembali diprogramkan studi banding ke Prancis dan Australia.

Kelima, akuntabilitas. Sebagai bentuk akuntabilitas, suatu keharusan bagi anggota Dewan untuk mempublikasikan laporan hasil studi banding mereka. Sayangnya, dari ratusan kali kunjungan ke luar negeri tersebut, hanya sedikit laporan yang dipublikasikan oleh DPR. Itu pun laporan sederhana dan sangat tidak komprehensif. Dalam aspek anggaran, semua komponen biaya studi banding juga harus dapat dipertanggungjawabkan dari tiap anggota Dewan yang berangkat. Badan Pemeriksa Keuangan juga sebaiknya secara periodik melakukan audit mengenai anggaran studi banding DPR dan hasilnya diumumkan secara terbuka oleh publik.

Keinginan pemimpin DPR setahun lalu melakukan evaluasi atas pelaksanaan studi banding tampaknya sekadar peredam reaksi publik. Buktinya, Ketua DPR Marzuki Alie pada 5 April lalu menyatakan tidak melarang anggota Komisi I dan Komisi VII DPR melakukan kunjungan kerja ke luar negeri. Marzuki juga tidak sepakat jika studi banding dikatakan sebagai pemborosan uang negara, karena mereka melaksanakan tugas, yakni mencari masukan sebagai referensi untuk menyusun RUU yang akan dibahas di DPR.

Jika tidak ingin selalu dituding sebagai “Dewan Pemborosan Uang Rakyat”, lebih baik dilakukan moratorium (penghentian sementara) studi banding anggota Dewan ke luar negeri hingga diadakan evaluasi dan rekomendasi secara komprehensif. Dukungan dari pemimpin partai politik juga dibutuhkan untuk pembatasan atau penghentian studi banding yang menggunakan uang rakyat. Hal ini penting agar (jika terpaksa) studi banding DPR yang dilakukan di masa datang lebih berkualitas sekaligus memperbaiki citra institusi parlemen yang semakin buruk di mata publik.

Sulit kita percaya para politikus di Senayan memperjuangkan kepentingan rakyat jika setiap saat mereka justru menghabiskan uang rakyat. Jika mau menjadi wisatawan, sebaiknya gunakanlah duit pribadi, bukan uang yang berasal dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar