Kamis, 31 Mei 2012

Apa Hikmah di Balik Pembatalan Konser Lady Gaga?


Apa Hikmah di Balik Pembatalan Konser Lady Gaga?
Musa Maliki ; Dosen Hubungan Internasional
di Universitas Al-Azhar Jakarta dan UPN Veteran Jakarta
SUMBER :  SINAR HARAPAN, 30 Mei 2012


Konser Lady Gaga telah dibatalkan oleh manajemen pusat Amerika. Pupus sudah harapan para fans Lady Gaga. Ada bebepara poin penting yang akan ditafsirkan oleh banyak orang, baik di level nasional maupun internasional. Poin yang cukup mengkhawatirkan dari gagalnya konser Lady Gaga adalah bertambah buruknya citra demokrasi sekuler Indonesia di mata dunia internasional.

Setelah kontroversi dan perdebatan yang cukup panas, akhirnya pihak Lady Gaga sendiri yang membatalkan konser tersebut. Hal ini menguak kebenaran bahwa dunia saat ini melihat bangsa ini sudah tidak aman dan dalam kondisi kekerasan (berdasarkan kasus-kasus kekerasan sebelumnya). Citra buruk di mata dunia membuat grup musik U2 ikut-ikutan membatalkan konsernya. Lady Gaga dan U2 adalah seniman kelas dunia yang sangat populer, cukup berpengaruh secara politik dan berprestasi nomor wahid di bidang musik dan sosial-politik.

Menurut pihak kepolisian dan dinas pariwisata, masalah gagalnya Lady Gaga tidak akan berpengaruh pada citra Indonesia di mata dunia internasional. Argumen ini sangat lemah melihat pengaruh Lady Gaga di dunia.

Dengan kuatnya pengaruh Lady Gaga baik di AS maupun di dunia, citra Indonesia yang secara khusus dipromosikan oleh diplomasi publik kita telah gagal. Apa pun yang akan dijual dan dipromosikan Indonesia di dunia internasional akan mengalami begitu banyak hambatan, khususnya menyulitkan para diplomat kita yang bertugas di luar. Menurut salah satu sumber Kementerian Luar Negeri, mereka sudah mulai kesulitan apalagi yang harus dipromosikan dari Indonesia dengan citra buruk dalam negeri.

Dampak dari pengaruh Lady Gaga yang menjatuhkan citra Indonesia; pertama, pengaruh Lady Gaga terhadap media internasional seperti CNN, Reuters, BBC, Hollywood Reporter, USA Today, ABC News, Sun Star Australia, atau Herald Sun. Saat ini Gaga menempati urutan teratas selebritas yang paling banyak diincar media-media tersebut.
Gerak-geriknya sudah pasti dimuat di media-media tersebut. Selain memperoleh sumber dari manajemen Gaga, Media internasional tersebut juga menampilkan foto-foto keberingasan gerakan Islam (FPI) dalam menyuarakan penolakannya. Semua media internasional yang memberikan ketidakamanan Indonesia akan membuat para investor dan pengunjung berpikir ulang untuk pergi ke Indonesia.

Kedua, tidak hanya media internasional, Gaga memiliki 50 juta lebih penggemar di Facebook dan 20 juta lebih follower di Twitter sudah pasti cukup berpengaruh di dunia internasional sama dengan Presiden Obama. Popularitasnya sering kali mengalahkan isu-isu global seperti kemiskinan atau kriminalitas internasional (KONY). Para penggemar yang mengidentifikasikan dirinya seperti Gaga secara tidak langsung melihat Indonesia adalah negara tidak aman bagi mereka.

Ketiga, di bidang seni, pamor dan pengaruh pemikirannya begitu cepat melesat dengan menyabet lima Grammy Award. Hal ini merupakam prestasi seni yang luar biasa. Seninya tidak hanya lagu pop yang dangkal. Gaga sangat dipengaruhi tradisi avant-garde budaya populer Amerika, Andy Warhol. Sejak 1950, dia adalah ikon perkembangan seni populer (massal) Amerika.

Stefani Joanne Angelina Germanotta adalah nama lengkap Gaga sebelum terkenal seperti sekarang ini. Begitu menjiwai tradisi Warholian, teman senimannya berkomentar tentang wajahnya yang susah dibedakan apakah dia seorang laki-laki atau perempuan. Gaga ini justru senang dengan anggapan tersebut, karena pesannya tersampaikan. Pesan tentang isi dan tradisi budaya pop Amerika yang semakin merasuk ke dalam bangsa-bangsa di dunia.

Menolak Gaga artinya menolak budaya pop Amerika. Hal ini melukai masyarakat Amerika, khususnya para seninan dan artis Amerika. tindakan mereka adalah penghinaan terhadap budaya Amerika. Persepsi warga Amerika yang sebelumnya begitu positif, seperti dalam beberapa acara keindonesiaan yang digelar oleh Dubes Dino Patti Djalal menjadi tampak sia-sia.

Keempat, di bidang gerakan sosial-politik, pengagum Warholian ini memperjuangkan kaum homo dan lesbi di Amerika. Kuatnya pengaruh Gaga terhadap para fansnya maka di kongres Amerika, Gaga mempunyai suara untuk membuat hukum pro perkawinan sesama jenis yang diumumkan Presiden Obama. Indikator ini menunjukkan sejauh mana kekuasaan publik Gaga dalam memengaruhi kebijakan suatu negara dan mengubah citra Amerika.
Oleh sebab itu persepsi pemerintah dan kongres Amerika pun akan berubah terhadap Indonesia. Pemerintah Amerika akan kembali memperketat keamanan di Asia Tenggara, seperti penempatan tentara di Australia dan Singapura. Misalnya dengan menggunakan lembaga HAM untuk menekan Indonesia.

Bagi kita fenomena Gaga ini sebenarnya merupakan peluang yang baik. Pertama, Gaga bisa dijadikan lokomotif bagi bangsa ini untuk becermin setelah kasus-kasus kekerasan sebelumnya terjadi. Apakah benar bangsa ini konsisten dengan dialog, HAM, persamaan, toleransi, dan demokrasi? Ternyata bangsa ini memang tidak pernah belajar dari sejarah.

Setelah sekian banyak kejadian kekerasan dan batalnya konser Gaga, walaupun kita semua mati-matian bersuara tentang demokrasi dan dialog, tapi Barat (orientalis) dan masyarakat internasional justru semakin yakin apa yang mereka pikirkan (bayangkan) tentang Indonesia (Timur). Ini seorang menegaskan kesan barbar, tidak beradab, irasional, brutal, emosional, tiran, urakan, dan suka kekerasan, non-demokratis (lihat perilaku FPI). Indonesia (Timur) dalam hal ini masih perlu dididik, diajari, dan "disekolahi" Barat (Said, Orientalism, 1979). Dengan seperti itu, maka kolonialisasi terus langgeng di bumi Indonesia.

Kedua, rangkaian kekerasan yang berujung pada kegagalan Lady Gaga bisa menjadi pemicu penguakan kembali kasus-kasus HAM lama. Bagi bangsa Barat seperti Amerika, banyaknya kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang memang sudah masuk dalam forum UPR PBB ini bisa dimanfaatkan sebagai "kartu as" Amerika untuk menekan Indonesia. Misalnya, jika kepentingan Amerika di Papua dihambat atau dirugikan, maka Amerika bisa menekan Indonesia atas nama HAM. Oleh sebab itu, kasus seperti Timur Leste bisa jadi akan terjadi di Papua.

Indonesia memperoleh sorotan tajam di dunia internasional, khususnya masalah keamanan seperti untuk berwisata dan investasi. Realitas ini tidak mungkin dibendung sebab interpretasi publik internasional tidak mungkin dibantah hanya dengan ucapan kepala polisi atau segelintir pihak pemerintah di media nasional.

Sebutan negara auto-pilot dan failed state serta kritik masyarakat Internasional di forum HAM PBB tidak menjadikan pemerintah Indonesia membaik, tapi justru semakin menjadi-jadi, khususnya dalam pembangunan infrastruktur dan BBM yang semakin tidak jelas.
 
Harapan untuk mendapat pemimpin yang progresif dan tegas disuarakan oleh tokoh nasional dan cendekiawan seperti Syafii Maarif, Bahtiar Effendy, Anis Baswedan, dan Yudi Latif. Mereka berharap pemilu ke depan menjadi suatu reformasi sejati secara legal untuk menjadi bangsa yang sejajar dengan bangsa lainnya. Apakah harapan ini menjadi kekuatan positif untuk meman(?) berubah? Marilah kita terus berharap dan terus optimistis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar