Kamis, 31 Mei 2012

Bujuk Rayu Industri Tembakau


Bujuk Rayu Industri Tembakau
Awaluddin Abdussalam ; Epidemiologis dan Sanitarian,
Kabid Bina Program RSUD Kabupaten Brebes
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 31 Mei 2012


"Sisi paradoksal muncul ketika dana bagi hasil cukai hasil tembakau digunakan untuk meningkatkan mutu industri hasil tembakau"

KONTROVERSI hilangnya ayat tembakau dalam RUU Kesehatan menjadi tanda tanya besar. Menghilangnya Ayat (2) pada Pasal 113, yang berbunyi, ’’Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/ atau masyarakat sekelilingnya’’, menjadi preseden buruk proses legislasi yang sekarang menjadi UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Apakah menghilangnya ayat tembakau semata-mata karena kelalaian atau pengaruh kuat dari industri tembakau? Niat kuat pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Tembakau tidaklah mudah karena kalangan industri tembakau pasti menolak jika aturan itu merugikan.

Regulasi itu akan mengatur larangan penayangan iklan rokok, sponsor acara, kegiatan tanggung jawab sosial, larangan penjualan rokok secara eceran, larangan penjualan rokok pada orang di bawah usia 18 tahun dan wanita hamil. Maka tepat jika Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dalam memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia (World No Tobacco Day) pada 31 Mei 2012 mengangkat tema ’’Tobacco Industry Interference’’. Kita patut mewaspadai bujuk rayu industri tembakau.

WHO melaporkan bahwa epidemi tembakau global akan membunuh hingga 8 juta orang pada 2030, dan dari 80% kematian itu ada di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Sementara di Indonesia, Komisi Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau melaporkan jumlah laki-laki perokok berusia di atas 15 tahun mencapai 66%, sedangkan perokok perempuan perokok 4%. Diperkirakan terjadi peningkatan jumlah perokok dari tahun ke tahun. Itulah sebabnya WHO menerapkan regulasi The World Health Organization (WHO) Framework Convention on Tobacco Control’’.

Kebijakan Paradoks

Konvensi Kerangka Kerja WHO dalam Pengendalian Tembakau (WHO FCTC) dikembangkan untuk menanggapi globalisasi epidemik tembakau dan merupakan perjanjian berbasis bukti yang menegaskan kembali hak semua orang untuk mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya. Konvensi ini merupakan tonggak bagi promosi kesehatan masyarakat dan memberikan dimensi hukum baru dalam menggalang kerja sama kesehatan internasional.

Indonesia merupakan negara yang tidak termasuk dari 172 negara yang dirilis WHO (20/01/11) ikut meratifikasi WHO FCTC. Pembatasan konsumsi tembakau belum menemukan bentuk ideal, walaupun sebenarnya ada kebijakan pemerintah yang dapat ditemui dalam Peraturan Menkeu Nomor 20/PMK.07/ 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menkeu Nomor 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.

Dana bagi hasil cukai hasil tembakau merupakan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2%. Peraturan itu sebenarnya sebagian telah mengakomodasi instrumen dalam WHO FCTC, walaupun belum secara komprehensif membatasi peredaran tembakau. Dana itu dialokasikan di samping untuk mengatasi masalah dampak sosial terhadap akibat asap rokok, juga dapat dipakai untuk memperbaiki sistem produksi tembakau.

Dana itu justru makin menegaskan adanya kelonggaran bahwa dampak yang ditimbulkan oleh tembakau begitu gampangnya dikompensasikan dalam bentuk dibangunnya ’’area untuk merokok’’ dan layanan ’’klinik berhenti merokok’’. Sisi paradoksal muncul ketika dana bagi hasil cukai hasil tembakau juga digunakan untuk meningkatkan mutu industri hasil tembakau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar